Wednesday, December 30, 2015

My Dreams, Sebuah Novel Kisah Nyata




Sarang Manusia Kecil

Rumah mungil berlantai dua itu tampak sangat sederhana. Lantainya yang berwarna kuning hanya merupakan ubin yang terbuat dari semen. Sedang dindingnya−yang dipoles dengan cat merah muda, tidaklah terlalu tinggi. Teras dan jalanan dipisahkan oleh pagar besi coklat tua.
Rumah itu terletak di sebuah gang yang tidak terlalu besar. Hanya becak saja yang bisa melaluinya.
Suasana di rumah tersebut selalu ramai. Bahkan seolah tak pernah mengenal kata sunyi. Baik di teras maupun di dalam rumah, bermacam-macam permainan digelar. Anak-anak dari berbagai lapisan umur datang silih berganti. Dari yang belum sekolah sampai yang sudah masuk SD.
Congklak, bekel, lompat tali, sapintrong, simseu, sondah, anyang-anyangan, mengadu jengkrik, serta bermain gambar menjadi pemandangan sehari-hari. Belakangan, permainan kartu, monopoli, ular tangga, bahkan catur menjadi permainan yang juga lajim ditemui.
Teras yang tak begitu luas disulap menjadi arena permainan yang menyenangkan. Anak-anak perempuan akan menguasai teras bila mereka bermain tali, sondah, congklak, dan bekel. Sedang permainan boneka biasanya dilakukan di dalam rumah.
Bila teras sedang ditempati anak-anak lelaki, anak- anak perempuan akan bergeser ke luar pagar. Mereka bermain anyang-anyangan. Bermain masak-masakan. Alat masak yang digunakan tidak selalu mereka beli. Tak jarang barang-barang bekas dipakai juga.
Selain itu, di luar pagar, anak-anak perempuan sering membuat cairan penghasil gelembung busa. Mereka membuatnya dari bunga dan daun kembang sepatu yang diremas-remas dan dilarutkan ke dalam air. Alat untuk  menghasilkan gelembung pun mereka buat sendiri.
Mereka membuat alat tersebut dari seutas kawat. Kawat ditekuk pada ujung-ujungnya, lalu kedua tekukan dipertemukan untuk mendapat bentuk lingkaran sebesar kelereng. Lingkaran seolah memiliki ekor karena tekukan pada ujung-ujung kawat bertemu di luar lingkaran. Kawat pun dililiti benang wol. “Ekor kawat” dimasukkan ke dalam sedotan. Untuk mencegah kawat terlepas, sedotan juga diikat dengan benang wol.
Walaupun cairan dan alat penghasil gelembung yang mereka buat sangat sederhana, namun gelembung busa yang dihasilkan cukup banyak.
Kecuali kucing-kucingan dan monopoli, biasanya anak lelaki dan perempuan bermain terpisah dalam kelompok masing-masing. Tapi ada seorang anak perempuan yang sering terlihat di antara kerumunan anak-anak lelaki. Anak itu rajin menjajal kepiawaiannya memilih kojo–dalam permainan gambar.   Bahkan ia sering
terlihat sedang mengadu jengkrik. Setelah ia mahir membaca, ia pun mulai belajar bermain kartu dan catur.
Sekilas, anak yang baru duduk di permulaan Sekolah Dasar itu tidak berbeda dengan anak perempuan lain. Bila saja ada yang beda, mungkin karena ukuran tubuhnya yang sedikit di-zoom. Itupun masih dalam batas normal. Seperti anak perempuan pada umumnya, ia juga selalu mengenakan rok.
Namun, bila sudah mengenal keseharian anak tersebut, akan tampak ia tidak sama dengan anak-anak perempuan yang lain.
Tari. Begitu ia dipanggil. Ia adalah putri dari pemilik rumah–yang  dijadikan sarang bermain manusia-manusia kecil.





Tari oh Tari

Tari adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya laki-laki. Orang tuanya tidak mengistimewa- kan Tari hanya karena ia putri satu-satunya. Bahkan, pola asuh yang didapat Tari hampir mirip dengan kedua saudaranya. Ia mendapatkan permainan fisik yang sama seperti kakak dan adiknya.
Bermain gerobak-gerobakan dapat melatih ke- kuatan tangan. Bapak akan memegang kedua kaki Tari dan membiarkan Tari  berjalan dengan menggunakan tangan. Tari baru akan berhenti bergerak bila ia sudah merasa lelah.
Melak cau melatih keseimbangan. Kali ini arena permainan ada di atas tempat tidur. Tari berdiri menggunakan tangan dan kepalanya. Kakinya dipegangi oleh bapak atau Aa−kakak Tari. Setelah itu, pegangan dilepaskan. Tari harus mempertahankan posisi berdirinya. Tapi biasanya, tak lama kemudian ia akan segera ambruk.
Arena permainan masih di atas tempat tidur. Tiga kakak beradik itu bisa bermain roll depan dan belakang sepuasnya. Atau kadang mereka membangun rumah- rumahan menggunakan bantal, guling, boneka, serta selimut.
Permainan yang satu ini harus menggunakan kekuatan tangan dan kaki serta keseimbangan tubuh. Kali ini Tari memanjat kusen pintu dengan cara menempelkan kaki dan tangan kanan di salah satu sisi kusen, sedangkan kaki dan tangan kiri di sisi yang lain. Lalu ia merayap naik sampai atas. Terakhir, bergelantungan di bagian atas kusen–yang merupakan lubang udara. Tari baru melepaskan pegangannya bila ia merasa lelah. Ia akan meloncat dari posisinya bergelantungan.
Di antara semua permainan, ada satu yang sangat disukai oleh gadis kecil berpipi tomat itu. Ia senang sekali dipunggu di atas pundak bapaknya. Bila sedang dipunggu, Tari selalu tertawa kegirangan sambil tidak lupa ber- pegangan pada kepala bapak.
Selain itu, Tari selalu menyempatkan diri me- naklukkan pepohonan. Hal ini ia lakukan bila ikut bersama bapak ke garasi mobil. Letak rumah yang berada di gang sempit membuat bapak harus menitipkan mobil di rumah orang lain. Kebetulan salah seorang kenalan bapak berbaik hati mengizinkan bapak menyimpan mobil di pekarangan rumahnya. Pekarangan yang ia miliki cukup luas. Pemilik tanah tidak pernah menarik sewa atas pemakaian lahan tersebut. Hanya pemberian ala kadarnya dari bapak sebagai ucapan terima kasih. Letak garasi agak jauh dari rumah. Jarak antara rumah dan garasi sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Di sebelah garasi, pemilik tanah menanam ber- bagai jenis  tanaman.  Di  antaranya ada  pohon jambu biji.
Pohon itulah yang selalu dijadikan “korban penyaluran hobi” Tari.
Pohon lain yang selalu diincar oleh Tari–kali  ini dengan teman-teman lelakinya, adalah pohon yang berada tak begitu jauh dari garasi. Pohon itu tumbuh di halaman sebuah rumah.
Bila sedang berbuah, Tari dan kawan-kawannya kerap menyelinap untuk memanjat pohon tersebut. Mereka baru turun dari pohon setelah saku mereka penuh dengan buah-buah ilegal. Anak-anak yang nakal!
Suatu hari terjadi sedikit keributan di depan sarang manusia-manusia kecil. Mama “dikeroyok” oleh empat orang tetangga. Mereka memarahi mama. Kala itu mama tidak melawan. Hanya diam sambil berurai air mata. Seperti kata pepatah, tak ada asap bila tak ada api. Empat orang tersebut “mengeroyok” mama karena anak salah satu dari mereka terluka oleh Tari.
Sebenarnya Tari tidak sembarangan melukai orang lain. Ia hanya membela diri dari keroyokan teman- temannya. Tari bahkan tidak tahu kenapa ia dikeroyok. Padahal ia tidak pernah mencari masalah.
Keempat anak yang mengeroyok Tari beberapa tahun lebih tua dari Tari. Postur tubuh mereka tentulah lebih besar. Jadi, selain kalah jumlah, Tari pun kalah besar!
Tapi sebelum tangan jahil mereka menyentuh tubuh Tari, terlebih dulu Tari menancapkan kuku-kukunya ke wajah salah seorang anak. Tapi bagaimanapun keras- nya usaha Tari untuk melawan, Tari tetap mendarat juga di dalam got. Got kotor dengan air yang hitam legam dan berbau busuk.
Ternyata si anak yang terkena sabetan kuku Tari mengadu kepada ibunya. Mendengar pengaduan anaknya −tanpa cek and recek lagi,  sang ibu langsung mengumpul-
kan pasukan. Tak lama berselang, ibu, kakek, nenek, dan bibi si anak sudah menyerbu ke rumah Tari.
Setelah tragedi pengeroyokan tersebut, mama dimusuhi oleh keluarga si “korban”. Terlebih ibunya. Bahkan bila ibu si “korban” berpapasan dengan mama di gang, sang ibu menempelkan dirinya rapat-rapat ke tembok–mirip bunglon yang mencoba berkamuflase. Takut bersentuhan dengan mama. Maklumlah namanya juga gang kecil, selalu ada peluang untuk bersenggolan ketika berpapasan.
Permusuhan itu berlangsung cukup lama. Lebih dari satu tahun. Mereka berbaikan kembali setelah bapak dan ayah si “korban” membangun kerja sama bisnis kecil- kecilan. Ternyata, uang meluluhkan hati ibu si “korban”.
Peristiwa yang baru terjadi berbeda dengan tragedi pendaratan di got. Kali ini Tari yang pulang sambil menangis. Mengadu kepada bapak. Ia dikeroyok oleh “orang lapang”. Orang lapang yang dimaksud adalah kakak beradik anak-anak tukang becak yang tinggal dekat lapangan voli. Kulit mereka hitam. Jauh lebih hitam dari Tari. Perangai mereka sangat kasar.
Aa juga pernah mengalami hal serupa. Menjadi korban pemukulan anak-anak tersebut. Bahkan, selain dipukul, uang Aa untuk belanja ke warung pun dirampas.
Bila sedang berselisih, mereka selalu mengatakan, “Dasar orang kaya!” seolah menandakan mereka dididik dalam kecemburuan yang besar terhadap orang-orang yang mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih baik dari orang tua mereka.
Pemukiman tempat Tari tinggal memang sedikit kumuh. Ditandai dengan letak rumah yang berdempetan. Pergaulan masyarakat di sana kurang baik. Kadang terjadi kekerasan antara para pemudanya. Minuman  keras sudah lajim tersedia di warung-warung. Jadi tidak terlalu mengherankan bila didapati orang-orang mabuk di pinggir jalan. Bahkan ada juga yang mabuk di depan masjid!
Namun, alih-alih membela, bapak malah me- nyuruh Tari kembali ke lapang dan menantang penge- royoknya untuk berduel satu lawan satu. Tentunya Tari lebih suka menangis daripada kembali ke tempat pertarungan.
Mungkin garis takdir Tari selalu menjadi pusat “masalah”. Semenjak Tari dalam kandungan saja sudah menunjukkan anomali. Tari dilahirkan setelah mendekam di perut mama selama sebelas bulan.
Ketika dilahirkan pun, Tari menyedot banyak perhatian. Saat itu seorang bidan dibuat kesal. Sekesal- kesalnya. Sang bidan terkena marah oleh bapak.
Sewaktu bapak mengantar mama ke klinik, bidan menyarankan agar mama dibawa pulang kembali karena prediksi kelahiran masih agak lama. Tapi bapak bersikeras untuk tetap tinggal. Dan betul saja, tak lama berselang, Tari sudah bisa melihat dunia untuk pertama kalinya. Bapak pun murka karena  bidan  menyarankan  sesuatu  yang  bisa membahayakan mama dan si kecil Tari.
“Bu, kok anaknya hitam ya?” komentar bidan yang membantu persalinan Tari. Jadilah Tari sasaran kekesalan sang bidan.
“Ah, Bu bidan... mau putih ikut ke siapa? Ibu bapaknya hitam!” mama mencoba mencairkan suasana dengan mengiyakan ejekan sang bidan. Mendengar jawaban mama yang diplomatis, hati sang bidan luluh. Akhirnya ia tidak lagi memberengut.
Tari memang berbeda dengan kedua saudaranya. Bukan hanya karena ia perempuan dan kedua saudaranya lelaki, tapi kulitnya yang hitam berbeda dengan kakak dan
adiknya yang putih.  Selain itu,   hidung  pesek  Tari  seolah  “terbenam” di antara pipi tembemnya. Sedang hidung kedua saudaranya cukup mancung.
Postur tubuh Tari yang gemuk, kulit yang hitam, dan rambutnya yang hanya tumbuh di ubun-ubun serta sisi kiri dan kanan kepalanya, menyebabkan ia terlihat seperti celengan semar.
Setelah agak besar, Tari tak bisa merangkak. Ia hanya menyeret tubuhnya untuk berpindah tempat–mirip dengan suster ngésot. Tari baru bisa berjalan tegak pada usia dua tahun.
Bukan hanya itu, sifat Tari kecil pun sangat berlainan dengan saudara-saudaranya. Ia begitu keras hati. Bila keinginannya tidak tercapai, bisa terjadi perang bintang: piring terbang dan gelas melayang. Tari akan mengamuk!












Sekolah Alam

Pagi-pagi Tari sudah bersiap. Seragam putih merah lengkap dengan dasi dan topi melekat di tubuh gempal Tari. Tidak ketinggalan tas mungil terselempang di bahunya. Setelah sarapan, ia pun bergegas pergi ke sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumah. Lebih jauh dari garasi. Hari ini adalah hari pertama Tari masuk sekolah.
Tari menyusuri jalan bersama mama. Ia terlihat sangat riang. Tari senang sekali bisa bersekolah. Selama pelajaran berlangsung, tak ada hal luar biasa yang terjadi. Namun, ketika mama menjemput Tari sepulang sekolah, ia berkeras tidak mau pulang bersama mama. Ia memilih pulang sendiri. Bahkan ketika mama membujuknya, dengan seketika benda-benda beterbangan sebagai tanda penolakan Tari.
Di lain hari ketika mama menjemput lagi, Tari sudah pulang bersama teman-teman lelakinya. Mereka tidak   langsung   pulang  ke  rumah   masing-masing   tapi malah pergi ke sebuah lapangan. Tari dan teman- temannya bermain sepak bola di sana. Akhirnya mama tak pernah lagi menjemput Tari.
Kebiasaan Tari menyelesaikan masalah dengan perkelahian ternyata terbawa ke dalam pergaulannya di lingkungan sekolah. Sehingga pada suatu ketika mama dipanggil untuk menghadap guru wali kelas.
“Anak Ibu sering berkelahi dengan teman- temannya. Ini bagaimana Bu?” sang wali kelas me- nyampaikan keluhannya kepada mama. Mendengar keluhan tersebut, mama tidak kaget.
 “Aduh Bu guru, kalau di rumah, saya bisa jagain anak saya. Tapi kalau di sekolah, saya minta tolong sama Bu guru.” Mama hanya bisa menjawab seperti itu. Mama tahu, pada dasarnya Tari berkelahi hanya untuk membela diri. Hanya saja Tari hampir selalu menang melawan temannya. Padahal, lawan yang dihadapi Tari hampir semuanya adalah anak lelaki. Hal ini menyebabkan seolah-olah Tari yang memulai keributan karena teman- nya yang kalah akan menangis.
Energi Tari seolah tak pernah habis. Ia selalu punya cadangan energi yang sangat besar untuk menunjang semua aktifitasnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhan gizinya terpenuhi dengan baik.
Walaupun keuangan keluarga terbatas, mama selalu menyediakan hidangan bergizi–yang enak. Daging, telur, atau ikan selalu tersedia di meja makan. Masih juga dilengkapi dengan sayur dan buah-buahan.
Sebelum Tari  memasuki usia sekolah, ia tidak mau menyentuh nasi. Ia lebih tertarik memakan lauk-pauknya saja. Tari hanya memakan sedikit sekali nasi. Daging atau ikan harus memenuhi porsi yang ia inginkan. Porsi yang lebih  banyak  dari   saudara-saudaranya.   Walau  tak  suka nasi, tapi Tari sangat menyukai sayur dan buah. Terlebih kembang kol. Mama pun tak kalah jurus menghadapi gaya makan si pipi bapau. Mama mengganti nasi dengan kentang, ubi, singkong, atau bahkan biskuit dan roti.
Selain itu, Tari sangat menyukai susu. Di tahun pertama sekolah pun ia masih minum susu dalam dot. Ketika istirahat sekolah, Tari akan menyempatkan diri pulang ke rumah. Untuk ngedot susu buatannya sendiri.
Prestasi Tari pada catur wulan pertama tidaklah bagus. Ada beberapa nilai yang bahkan tidak melampaui rata-rata kelas. Namun walaupun begitu, Tari tidak mendapat tekanan dari mama dan bapak untuk memper- baiki nilai. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada Tari. Semua berjalan sewajarnya.
Tapi bukan berarti mama dan bapak tidak peduli terhadap pendidikan Tari kecil. Mama tetap membimbing si pipi tembem di sela kesibukannya mengajari Aa dan mengasuh adik Tari. Mama masih sempat mendampingi Tari belajar membaca. Bukan hanya membaca buku teks pelajaran, majalah pun ikut dilahap oleh Tari.  Kebetulan  bapak berlangganan majalah anak-anak.
Majalah tersebut disajikan dengan menarik: full color. Di dalamnya ada cerpen, cerita lucu, rubrik pengetahuan dan banyak cerita bergambar. Selain itu, bapak juga berlangganan majalah berbahasa Sunda.
Bila majalah edisi baru tiba, Tari langsung membawanya ke hadapan mama. Tari akan memaksa mama untuk membacakan majalah tersebut untuknya.
Sambil mendengar mama membaca majalah, Tari akan duduk manis di samping mama sambil melihat-lihat tulisan serta gambar-gambar dalam majalah tersebut. Tari akan meminta mama terus membaca sampai ia merasa bosan. Setelah itu, baru mama boleh berhenti.
Bila majalah anak-anak sudah selesai dibaca, ia akan merengek minta dibacakan juga majalah bahasa Sunda.
Hasil dari kegiatan membaca memberi dampak positif terhadap prestasi Tari di sekolah. Pada pembagian rapot cawu kedua, Tari berhasil menjadi juara pertama di kelasnya−yang “padat penduduk”. Jumlah siswa di kelas Tari mencapai lima puluh dua orang.
Sebenarnya ada kegiatan lain yang sangat membantu Tari memperbaiki prestasinya. Tari senang bermain di rumah tetangga sebelah. Bersama dengan putri tertua tetangganya, Tari sering bermain sekolah- sekolahan.
Umur Elas−begitu nama teman Tari, terpaut empat tahun di atas Tari. Elas seumur dengan Aa. Ketika bermain sekolah-sekolahan, Elas menjadi guru dan Tari menjadi muridnya.
Ketika mereka bermain, disulaplah ruang tamu yang sempit menjadi sebuah kelas. Pintu coklat muda menjelma menjadi papan tulis besar. Ada bangku kecil tersedia di depannya. Bangku itu untuk “menyambung tinggi” sang guru cilik. Kursi dan meja tamu dijadikan bangku sekolah, tempat sang murid menuliskan pelajaran yang diterimanya.
Selain bermain sekolah-sekolahan, Tari senang sekali membantu Elas meramu adonan gorengan: mencampur tepung terigu serta bumbu dengan air, mengupas wortel lalu memotong-motongnya, dan mengiris kol. Mama Au–panggilan mama Elas, membuka warung di rumah mereka. Salah satu dagangan yang selalu laris adalah gorengan.
Setelah selesai mengadon, Tari sering ikut me- layani   pembeli.   Padahal   tak    ada    seorang    pun   yang memintanya melakukan hal tersebut. Ia melakukan semuanya dengan sukarela.
Ternyata, dengan melayani pembeli−secara tak langsung, Tari belajar penjumlahan dan pengurangan. Lengkap sudah pelajaran yang didapat Tari dari “alam”.





























Mengasah Kreativitas

Tari kecil sangat menyenangi pelajaran keterampil- an. Menggambar, mewarnai, mencetak bentuk, serta meronce, semuanya dilakukan dengan senang hati.
Di rumah pun, Tari selalu mencari cara agar dapat menyalurkan kreativitasnya. Tangan mungil Tari tidak pernah bisa diam.
Seringkali Tari menggambari agenda atau buku saku bekas. Setelah bosan menggambar sendiri, ia akan mencari bapak. Ia akan meminta bapak menggambarkan berbagai bentuk untuknya. Menggambar manusia, bunga, ikan, atau burung. Bapak cukup jago menggambar. Gambarnya lumayan bagus. Bila bapak sedang tidak di rumah, Tari akan meminta a Agus–tetangga yang sering mengajak adik Tari bermain, menggambar untuknya. Ia tidak meminta tolong kepada mama karena gambar mama tidak terlalu bagus.
Majalah anak yang dibaca Tari pun membantu Tari mengembangkan kreativitasnya.  Majalah   tersebut sering
menyertakan bonus berupa mainan kreatif. Kebanyakan merupakan kegiatan merakit. Misalnya, untuk mendapat- kan burung dalam bentuk tiga dimensi, Tari harus menggunting sesuai pola yang tersedia. Lalu menekuk bagian-bagian tertentu serta menyatukannya dengan lem. Begitu juga untuk mendapat bangunan rumah dalam bentuk tiga dimensi.
Tari sangat lihai menggunakan gunting. Kadang ia tidak hanya mengguntingi kertas, kursi di ruang tamu pun menjadi sasaran gunting Tari.
Tari bahkan telah membuat “maha karya” di kamarnya. Jemarinya yang mungil sangat mahir mengerik tembok. Ia melakukan hal itu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Sedikit demi sedikit. Tari sangat konsisten dengan “pekerjaannya”. Hingga lama kelamaan tembok yang terkelupas menjadi semakin luas. Bata penyusun tembok pun menjadi terlihat dari luar.
Tari memang tidak seperti kebanyakan anak seusianya. Tari selalu ingin tahu dengan banyak hal. Bahkan ia bisa duduk manis di depan televisi hanya karena ingin tahu bagaimana cara pembuatan kayu lapis atau gerabah dari tanah liat. Ia bahkan bisa terkagum-kagum melihat ban berjalan dalam proses pembuatan kayu lapis atau putaran tanah liat dalam pembuatan gerabah. Di lain kesempatan, Tari pun akan terlihat sangat terhibur ketika menonton aneka satwa dalam acara flora fauna.
Tari selalu “mengganggu” para tukang yang kebetulan sedang memperbaiki rumahnya. Ia akan membuntuti sang tukang yang sibuk bekerja.
Tari dengan serius memperhatikan tangan sang tukang yang cekatan menyusun batu bata atau memahat kayu untuk dijadikan kusen pintu atau jendela. Ia selalu mencoba melakukan pekerjaan para tukang:  mengangkat cangkul untuk mengaduk adonan semen dan pasir atau mencoba mengambil kuas dan mencat dinding.
Di siang hari Tari selalu “sibuk”. Sehingga ia tak pernah sempat tidur siang. Kegiatan harian si pipi tomat memang menguras tenaga. Sehingga tak heran bila ia sering tertidur di masjid ketika mengaji. Jadwal pengajian memang cukup malam. Selepas magrib. Biasanya sampai solat Isya Tari masih bertahan. Selepas solat, ia sudah tidak sadarkan diri. Bila sudah begini, guru mengaji Tari terpaksa membopongnya pulang. Untung letak mushola tidak terlalu jauh dari rumah. Kalau sudah bosan, sang guru akan mengutus salah seorang muridnya untuk memberitahu mama atau bapak agar menjemput Tari.





















Kesenangan Tersendiri

Hari ini tak secerah biasanya. Awan gelap ber- gelayutan menutupi wajah sang mentari. Langit mendung. Menjelang siang, hujan mulai turun. Awalnya hanya rintik-rintik, namun lama kelamaan air seperti dikucurkan dari langit. Hujan menjadi sangat lebat.
Permainan kelereng yang digelar oleh Tari bersama teman-teman lelakinya terpaksa dibubarkan. Sebagian anak memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sebagian lagi–termasuk Tari, malah bermain hujan-hujanan. Mereka baru pulang setelah tubuh mereka menggigil kedinginan.
Setiap kali hujan lebat, bisa dipastikan pemukiman padat penduduk itu diterjang banjir. Tidak adanya lahan penyerapan air dan saluran air yang sangat kecil serta tersumbat oleh sampah, menjadi penyebab banjir selalu datang.
Ketinggian banjir bisa mencapai lutut orang dewa-sa.  Bila hujan mulai lebat,  penduduk sudah memiliki ritual tetap: membangun tanggul di depan pintu rumah masing-masing. Tanggul dibangun untuk mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam rumah.
Biasanya bila banjir telah surut, Tari dan kedua saudaranya ikut “membantu” membersihkan rumah. Mereka membantu mengeluarkan air dan lumpur dari dalam rumah. Namun kegiatan itu merupakan kesenang- an tersendiri bagi Tari. Setelah semua lumpur dikeluarkan dari rumah, ia akan bermain seluncuran di atas teras dengan menggunakan kain pel.
Tari baru akan berhenti bermain-main bila sudah dilarang oleh orang tuanya. Itupun setelah bajunya basah semua atau bila sapu telah mendarat di pantatnya. Baru kemudian Tari pergi ke kamar mandi. Mandi air hangat yang dicampur dengan PK–serbuk antiseptik berwarna merah keunguan.
Mandi pun merupakan kesenangan bagi Tari. Ia akan masuk ke dalam baskom−yang sebenarnya sudah terlalu kecil untuknya, lalu bermain-main sampai air di dalam baskom hampir habis.
Bila banjir melanda pemukiman itu, Tari tidak akan pergi mengaji. Pasalnya mushola tempatnya mengaji sudah pasti terendam banjir juga.











Rumah Baru

Ketika Tari duduk di bangku kelas empat SD, bapak mengajak keluarga Tari pindah rumah. Rumah baru yang mereka tempati lebih luas dari rumah sebelumnya. Jalannya pun bukan lagi berupa gang sempit. Namun gang yang dapat dilalui sebuah mobil. Bahkan mereka mempunyai garasi sendiri. Dan yang terpenting, rumah baru mereka bebas banjir.
Rumah itu berada di sebuah kompleks perumahan yang baru saja dibangun. Orang menyebutnya kompleks Pos Giro karena banyak pegawai PT. Pos yang membeli rumah di sana melalui KPR.
                Lingkungan di sekitar kompleks masih berupa pesawahan. Bahkan di belakang rumah keluarga Tari mengalir sebuah sungai kecil. Sungai hanya terhalang oleh beberapa petak sawah.
Di lingkungan baru ini, Tari seolah mendapat ruang yang seluas-luasnya untuk menyalurkan semua kreati- vitasnya.
Mencari anak katak di sawah, begitu juga belut. Atau menyusuri sungai untuk mencari ketam. Tari pun mendapat pasokan tanah liat yang berlimpah. Di rumahnya yang dulu, ia harus membeli tanah liat tersebut. Ia senang membuat patung dari tanah liat. Patung yang ia buat adalah patung penari balet. Tari senang melihat para penari balet memperlihatkan kelenturan tubuhnya. Bukan
hanya penari balet, ia pun senang melihat kelincahan para pesenam ritmik.
Rumah kosong juga tak luput dari penjelajahan Tari bersama teman-temannya. Mereka biasanya memanjat kayu-kayu penopang beton balkon untuk bisa masuk ke dalam. Jalan masuk ke rumah kosong hanyalah melalui lubang angin di atas pintu. Sementara pintu depannya terkunci.
Di sini pun Tari bisa bersepeda sepuasnya.  Jalan utama kompleks cukup besar. Bisa memuat dua buah mobil sekaligus. Sehingga Tari tak usah khawatir menabrak apapun. Jalan utama di rumah yang lama cukup sempit. Hanya memuat sebuah mobil saja. Bila ingin bermain sepeda, Tari harus pergi ke sekolah yang letaknya dekat rel kereta api. Ia bisa bersepeda di lapangan upacara atau mengitari pemukiman di sekitar sekolah. Jalanan di sana lebih sepi.
                Bila Tari bosan bermain di luar, ia biasanya bermain di rumah. Bermain tali, boneka, atau bekel. Sendirian. Kadang ia berkunjung ke rumah teman-temannya yang masih berada dalam satu kompleks. Tetangga sebelah rumah pun mempunyai putri yang sebaya dengannya. Malah mereka satu kelas di sekolah.
                Kebetulan tetangga sebelah juga membuka warung. Tari pun sering berada di warung melayani pembeli.  Kadang-kadang  ia  membantu  membuat es bul- bul. Dua potong pepaya sebesar dua ruas jari dimasukkan ke dalam plastik, lalu disiram dengan air gula dan plastik pun diikat. Setelah itu tinggal dimasukkan ke dalam freezer. Bagian yang paling mengasyikkan adalah mencicipi es bul-bul buatan kemarin yang sudah beku. Nyam… manis-manis dingin!
Namun, mushola tempat Tari mengaji jauh dari rumah. Tari harus berjalan sampai ujung kompleks. Setelah itu ia masih harus melewati beberapa petak sawah dan menyusuri sedikit jalan menanjak. Biasanya Tari pergi mengaji bersama tiga orang temannya. Mereka tinggal di kompleks yang sama. Untungnya jadwal mengaji di sana lebih sore. Bada Asar.
                Kebiasaan Tari memanjat pepohonan masih belum berhenti. Sekarang yang menjadi target pemanjatannya adalah pohon jambu biji di depan mushola.
Sebenarnya guru mengaji Tari selalu memper- ingatkan agar anak-anak perempuan tidak menaiki pepohonan. Bukan Tari namanya bila menurut hanya karena peringatan seperti itu. Bila hendak memanjat pohon, ia akan datang lebih awal dari waktu mengaji yang seharusnya. Agar ia punya cukup waktu untuk memanjat dan memakan jambu tanpa ketahuan sang guru.










Akhir Sebuah Petualangan

Seperti biasa, setelah bermain di rumah Rika, Tari meminta izin untuk memanjat pohon kersen yang ada di pekarangan rumah.
                Tari selalu kegirangan bila dapat mengambil sendiri buah kersen di pohonnya. Sudah terbayang rasa buah sebesar-besar kelereng yang akan menjadi santapannya.
Buah kersen muda sepintas mirip leunca muda. Hanya saja kulit leunca lebih tipis dan terlihat mengkilap. Warnanya−yang hijau, pun sedikit lebih tua dari kersen. Kulit kersen muda cukup tebal dengan bagian dalam yang terdiri dari biji yang banyak sekali. Setelah masak, kulit kersen menjadi sedikit lebih tipis dan berubah warna menjadi merah mengkilap.
                Tari mendongak ke atas. Menyusun “strategi”. Ia memilih “jalan” mana yang akan dilaluinya. Setelah tergambar rute pemanjatan yang akan ditempuhnya, Tari mulai menaiki pohon yang terletak di pinggir balong. Balong adalah kolam ikan tanpa  tembokan  di  pinggir dan
dasarnya. Semakin ke atas, dahan-dahan pohon semakin kecil. Sehingga Tari harus lebih jeli memilih dahan yang bisa dipijak. Dengan hati-hati ia memijakkan kaki kanan ke dahan yang lebih tinggi dari posisinya sekarang. Sementara tangan kiri berpegangan pada dahan yang sejajar dengan bahunya. Tangan kanan Tari hendak meraih dahan yang ada beberapa senti di atas kepalanya.
Baru saja tangannya terjulur, Tari melihat ada yang aneh pada dahan yang akan diraihnya. Ia pun mengurung- kan niatnya. Ia memperhatikan dahan di atas kepalanya baik-baik. Ya ampun! Ternyata di dahan itu bertengger bunglon yang cukup besar. Ukurannya hampir sebesar lengan Tari. Sejenak Tari tertegun.
“Wua!!! Londok!!!” teriak Tari kemudian. Kakinya terasa kaku untuk sesaat. Setelah keberaniannya ter-kumpul kembali, ia pun beringsut turun dengan perlahan. Baru kali ini ia melihat bunglon secara langsung. Dengan ukuran yang besar pula. Semenjak kejadian itu Tari tak pernah lagi memanjat pohon. Kapok!















Jebakan

Tari bersama teman-temannya sedang sibuk menggali tanah dengan bilahan bambu yang mereka temukan di kebun tetangga. Mereka tak menghiraukan teriknya sinar mentari yang menyengati kulit mereka.
Lahan tempat mereka bermain adalah sepetak tanah kosong di ujung jalan. Lahan yang memisahkan jalan dengan pesawahan itu letaknya lebih tinggi. Sehingga untuk menuju ke lahan tersebut harus menaiki beberapa anak tangga. Anak tangga yang dimaksud hanyalah berupa tanah yang disengked.
“Ayo! Mana airnya!” seru Tari berlaga mengoman- do. Tangan mungilnya menghamparkan plastik ke dalam galian tanah. Ujung-ujung plastik dibiarkan menjulur keluar dari galian. Tari meletakkan batu di atas plastik yang terjulur tadi. Lalu menimbuni juluran tersebut dengan tanah.
Setelah selesai dibuat, “kolam” diisi dengan air yang didapat dari sungai. Sebagai penghuninya,  beberapa
anak katak−berudu, dimasukkan ke dalam “kolam”. Berudu-berudu tersebut hasil buruan teman-teman Tari dari sawah.
Dimulailah pesta pengejaran berudu. Tangan- tangan mungil itu bergantian masuk ke dalam “kolam”. Mengejar berudu. Para berudu berenang tunggang langgang menghindari tangan anak-anak jahil itu. Sesekali tawa anak-anak tersebut pecah. Mereka asyik dengan mainan barunya.
Setelah agak lama bermain dengan para berudu, mereka menyudahi petualangan hari itu. Mereka sepakat akan bertemu kembali esok hari. Sepulang sekolah. Lalu mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka harus pergi mengaji.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Tari langsung menyerbu meja makan. Ia memburu makan siang. Seperti biasa, ia makan dengan sangat lahap. Di sekolah, energinya digunakan habis-habisan. Selain digunakan untuk berpikir, aktifitas Tari sebelum masuk kelas dan ketika istirahat cukup menguras tenaga. Ia dan teman- temannya masih sempat bermain loncat tinggi, galah jidar, pris-prisan, atau kucing-kucingan. Sesekali Tari masih menekuni kebiasaan lamanya. Berkelahi. Namun, semakin bertambah usia, Tari sudah sangat jarang terlibat adu tinju.
Selesai makan, Tari berganti baju dan mencuci piring-piring kotor. Tak lama kemudian, setelah ia  selesai mencuci, teman-temannya datang mengajak bermain.
“Jangan sore-sore pulangnya!” seru mama.
Tari mengiyakan pesan mama sambil berlari ke pintu depan. Beriringan mereka menuju ke tanah kosong−yang hanya terhalang satu rumah dari rumah keluarga Tari.
Sesampainya di sana, mereka sangat terkejut. Para berudu sudah bergelimpangan tak bernyawa dalam “kolam” buatan mereka. Ternyata “kolam” tersebut bocor! Akhirnya mereka mengubur berudu-berudu yang telah tewas itu.
Setelah selesai “pemakaman”, bocah-bocah kecil itu berkerumun mengelilingi “kolam” yang sudah kering. Entah siapa yang memberi ide, namun tak berapa lama kemudian mereka sibuk membuat jebakan.
Tari sibuk memperdalam “kolam”. Sedang teman- temannya yang lain berpencar mencari ranting-ranting kecil dan lidi. Kemudian mereka mengumpulkan hasil pencarian mereka di pinggir “kolam”. Dengan serius, mereka menyusun kerangka dari ranting dan lidi untuk menutupi “kolam”. Menyisakan ruang kosong di bawahnya.
Tari lalu menutup kerangka tersebut dengan plastik bekas “kolam” berudu. Ujung-ujung plastik dibiarkan menutupi tanah di sekitar galian. Tari lalu menimbuni plastik di sekitar bibir “kolam”. Setelah itu, teman-temannya menimbuni kerangka ranting dengan sangat hati-hati agar jebakan tidak jebol.
“Selesai! Kita tungguin orang lewat yuk!” Tari tersenyum melihat jebakan yang sudah jadi. Selanjutnya tinggal menunggu mangsa. Tak banyak orang yang melalui jalan ini. Jadi, mereka harus sedikit bersabar. Bocah-bocah jahil itu duduk-duduk di undakan tanah yang lebih tinggi−yang jaraknya beberapa meter dari jebakan.
Setelah cukup lama menunggu, dari kejauhan terlihat rombongan anak remaja pulang bermain bola. Mereka melintasi sawah sambil bersenda gurau. Sesekali mereka tertawa gelak. Semakin lama rombongan itu semakin mendekat.
Anak yang berjalan paling depan telah meng- injakkan kakinya di anak tangga pertama. Ia menapaki anak tangga itu satu per satu. Diikuti oleh teman- temannya. Sampailah ia di anak tangga terakhir. Tari dan teman-temannya menunggu dengan harap-harap cemas. Satu langkah saja, maka anak itu akan menginjak jebakan.
Satu…dua… tiga… Brus! Si anak terperangah. Jebakan itu hanya memuat satu kakinya. Dalamnya pun hanya satu jengkal saja. Tapi ia cukup kaget karena tak menyangka sebelumnya kalau tanah yang diinjaknya bakal amblas. Ia melihat ke bawah, lalu melihat ber- keliling.
Ia hanya mendapati bocah-bocah ingusan yang sedang terpingkal-pingkal mentertawakannya. Pasti pe- kerjaan anak-anak kecil ini, pikirnya. Kena juga ia dikerjai mereka. Tanpa banyak bicara, ia pun berlalu diam-diam.
Setelah semua rombongan anak-anak itu berlalu, Tari dan teman-temannya pun ikut meninggalkan tanah kosong.















Musim Layang-layang

Sore hari. Di langit yang cerah tampak banyak sekali layang-layang. Ada yang terbang dengan tenang. Ada pula yang berkejaran.
Setelah seharian bermain, Tari tinggal di rumah sore itu. Ia tidak mengaji karena hari Minggu pengajian libur. Setelah mandi ia pergi ke halaman belakang. Ia lalu naik ke tempat jemuran melalui tangga besi.
Tempat jemuran terhubung dengan atap rumah. Hanya dibatasi oleh tembok setinggi paha orang dewasa. Tari menaiki tembok pemisah itu. Kemudian ia mulai menapaki atap yang terbuat dari asbes. Sebagian atap rumah keluarga Tari memakai asbes, sebagian lagi memakai genteng. Perlahan tapi pasti, diinjaknya bagian asbes yang berpaku. Paku menandakan di bagian bawah asbes terdapat tulang-tulang kayu. Sehingga ia yakin tidak akan terjerumus jatuh.
Akhirnya ia sampai ke tembok pembatas atap rumahnya dengan atap rumah  tetangga.  Ia pun terus ber-
gerak naik menuju “puncak” atap. Setelah sampai di sana, Tari mengambil posisi duduk. Pemandangan di sini indah pikir Tari. Ia sangat menikmati keberadaannya di atas sana. Sementara di bawah sedang terjadi keributan. Para tetangga khawatir melihat Tari berada di atas atap. Sendirian.
Sebenarnya Tari ingin bermain layang-layang juga. Namun ia tak bisa menerbangkannya. Ia tak bisa mempertahankan posisi layangan agar tetap di langit. Layangannya selalu saja menukik ke bawah. Sementara ia tak tahu harus menarik atau mengulur benang layangan- nya.






















Bukan Pilihan

“Eh, kenapa kamu dikerudung? Botak ya?” mimik Evi sangat serius. Tak ada tanda-tanda bila ia sedang bergurau. Tari sempat terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Bukannya langsung menjawab pertanyaan Evi, Tari malah bengong. Sibuk kembali bertanya dalam hati. Masa iya dia ga tahu? Apa dia ga ngaji?
“Emh… perempuan kan wajib menutup aurat. Jadi, kita harus pake kerudung!” akhirnya Tari memberi penjelasan kepada Evi. Gadis berambut pendek itu hanya mengerutkan dahi untuk menanggapi jawaban Tari.
Bila Tari mendapat pertanyaan itu dua tahun yang lalu, sudah bisa dipastikan jawabannya akan ngawur. Ia memakai kerudung karena disuruh guru mengajinya. Pasti jawaban itu yang akan terlontar dari mulut Tari. Kala itu ia belum mengerti bahwa berkerudung adalah kewajiban setiap muslimah. Wajibnya berkerudung setara dengan wajibnya solat. Jadi berkerudung bukanlah sebuah pilihan, tapi keharusan.
Tari memutuskan untuk menutup auratnya tanpa meminta persetujuan mama dan bapak. Kedua orang tua Tari  baru tahu mengenai keputusannya setelah melihat seragam yang dibagikan oleh sekolah. Kala itu Tari baru saja duduk di bangku SMP. Mama bahkan menyangka seragam Tari tertukar dengan temannya. Namun, keputusan Tari tidak ditentang oleh mama dan bapak.
Waktu itu langkah yang diambil Tari bukanlah langkah populer di kalangan remaja seusianya.
Jumlah siswa yang mengenakan kerudung di sekolah Tari bisa dihitung dengan jari.
Bahkan selama dua tahun pertama, hanya Tari seorang yang berkerudung di kelasnya. Baru setelah tahun ketiga, ada dua temannya yang menemani Tari ber- kerudung.
Dalam masyarakat pun sangat jarang dijumpai pemudi yang mengenakan kerudung. Kebanyakan, pemakai kerudung adalah nenek-nenek yang sudah banyak beruban.
Kala itu, banyak hal yang merintangi seorang muslimah ketika akan menutup aurat. Perempuan yang berkerudung sering mendapat perlakuan yang tidak layak dari orang-orang di sekitarnya.
Dalam dunia pendidikan, beberapa sekolah mempersulit keberadaan mereka. Para muslimah itu dilarang memakai kerudung yang menutup nama dan lambang OSIS yang terjahit dalam kemeja mereka.
Dengan kata lain, kerudung yang dikenakan oleh para siswanya haruslah super pendek. Padahal–menurut al-Quran, kerudung seharusnya menutupi dada.
Mereka pun harus menanggalkan kerudungnya ketika pengambilan foto ijazah. Foto siswa dalam ijazah harus terlihat telinga. Sebuah peraturan yang absurd!
Dalam dunia kerja, berlaku deskriminasi yang tidak kalah kejam. Beberapa perusahaan bahkan tidak sudi menerima pegawai yang mengenakan kerudung.
Para orang tua pun menyumbang peran yang tidak sedikit dalam pembatasan gerakan berkerudung ini. Pada umumnya mereka melarang anak-anaknya berkerudung karena takut anak-anaknya sulit mencari kerja dan sukar mendapat jodoh.
Hal ini terjadi pada salah seorang kenalan Tari. Ia sampai tidak ditegur oleh bapaknya dan tidak diberi uang jajan selama satu bulan karena keputusannya untuk berkerudung tidak disetujui oleh sang bapak.
Syukurlah, walau pada awalnya orang tua Tari tidak terlalu mendukung keputusannya untuk ber- kerudung, namun Tari tak mendapat reaksi keras seperti yang dialami oleh kenalannya.


















Paling Cantik

Hari ini adalah hari pertama Tari mengendarai motor sendiri. Kemarin ia baru saja mendapatkan SIM, Surat Izin Mengemudi. Biasanya ia memakai angkutan umum ke manapun ia pergi. Termasuk ke sekolah.
Jarak sekolah Tari cukup jauh dari rumah. Lama perjalanan dengan menggunakan angkutan umum sekitar empat puluh lima menit sampai satu jam. Itu sudah termasuk macet di perjalanan dan jadwal mengetem angkot. Namun dengan motor, waktu tempuh rumah- sekolah dapat dipersingkat. Menjadi lima belas menit.
Tari tersenyum memandangi bebek tunggangan- nya. Ternyata umur motor Tari paling tua di garasi−motor, sekolah. Tapi tak masalah, yang penting ia bisa sampai ke sekolah lebih cepat dan bisa menghemat ongkos.
Satu hal lagi yang membuat Tari tersenyum sendiri: ia adalah makhluk tercantik di garasi motor. Setahu Tari, ia satu-satunya murid perempuan yang mengendarai motor ke sekolah.  Kebanyakan  teman-teman perempuan  Tari  memakai  kendaraan  umum.  Ada
satu dua orang yang mengendarai mobil sendiri.
Setelah mengenakan helm ungunya, Tari menyala- kan motor. Untung garasi sedikit lengang. Sebagian penghuninya sudah keluar. Sehingga ia tidak kesulitan mengeluarkan motor dari garasi.
Baru beberapa meter meninggalkan garasi, Tari sudah dikejutkan oleh sura riuh beberapa murid di ujung jalan. Ternyata mereka teman sekelas Tari. Enam atau tujuh anak berdiri di sisi kiri dan kanan jalan. Mereka bertepuk tangan sambil memanggil-manggil nama Tari.
O.. o.. Rupanya teman-teman Tari mengadakan acara penyambutan untuk makhluk tercantik di garasi. Ternyata kabar cepat menyebar. Padahal tadi pagi ia hanya berpapasan dengan seorang teman saja di garasi.
Melihat ulah teman-temannya, Tari hanya bisa tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.
Ada-ada saja. Bisik Tari dalam hati.















Namaku
Mentari Indah Kartika

Matahari belum juga terbangun dari lelapnya. Sementara bumi hanya diterangi temaram lampu-lampu. Tapi Tari sudah harus menyusuri jalanan basah. Sendiri. Selama perjalanan, ia tenggelam dalam diam. Tak ada teman sekedar pemecah sunyi. Hanya derum mobil dan motor−yang sesekali lewat, yang sanggup memberi warna pada suasana. Tapi tak lama. Beberapa detik saja.
Hujan semalam menyisakan genangan air di sana- sini. Sesekali Tari harus mengangkat rok dan berjalan jinjit guna menghindari cipratan air yang tercipta oleh langkahnya sendiri.
Tari melirik jam di tangan kirinya. Lima menit menuju jam setengah enam. Tari berangkat sepagi ini karena letak kampusnya cukup jauh dari rumah. Bila kuliah jam tujuh, ia harus berangkat jam enam lewat dua puluh menit.  Hanya  terlambat  pergi  sepuluh menit dari rumah,
bisa menyebabkan Tari terlambat setengah jam tiba di kampus.
Kemacetan terjadi sepanjang perjalanan−padahal waktu tempuh rumah-kampus tanpa kemacetan kurang dari satu jam.
Dingin! Tari merapatkan kedua tangannya di  depan dada dan mempercepat langkah. Rumah Tari tak begitu   jauh     dari    jangkauan   angkutan   umum.   Cukup berjalan kaki lima menit, Tari sudah bisa menyetop angkot.
Tari beruntung mempunyai rumah yang ber- dekatan dengan terminal bayangan. Tempat angkot- angkot memutar rute perjalanan. Terminal resmi ada di pasar induk Gede Bage. Masih sepuluh menit perjalanan dari terminal bayangan. Jadi Tari tak usah khawatir tidak kebagian angkot.
Di terminal Cicaheum, Tari harus berganti angkot. Bila hari masih pagi, sudah dapat dipastikan sebagian besar angkot akan mengetem. Jadi harus pandai memilih angkot yang kiranya langsung berangkat.
Pagi ini Tari beruntung. Angkot Cicaheum-Ledeng yang dicegatnya langsung berangkat.
Bismika Allohuma ahya wa bismika amuut. Tari mengucapkan doa dalam hati. Beberapa menit kemudian, ia pun  terlelap.
UPI, Universitas Pendidikan Indonesia, di situlah Tari telah menghabiskan enam semester untuk berkuliah. Kampus UPI dulunya bernama IKIP, sebuah institut yang terkenal sebagai pabrik guru.
Tapi sekarang telah dibuka jurusan-jurusan non kependidikan. Para mahasiswa jurusan non kependidikan notabene dipersiapkan untuk terjun ke bidang profesi yang lebih luas.
Menjadi guru merupakan impian Tari sedari kecil. Sejak duduk di bangku SD, ia selalu senang bila ada teman yang memintanya untuk menjelaskan kembali pelajaran yang pernah didapatnya. Ia akan lebih senang lagi bila sang teman bisa memahami penjelasannya.
Tari resmi diterima menjadi mahasiswa UPI sejak namanya terpampang di koran sebagai salah satu dari ribuan siswa SMA yang lulus UMPTN. Mentari Indah Kartika, begitulah nama yang tercantum dalam koran. Tari adalah nama kecil sebagai panggilan di rumah.
Orang tua Tari memberikan nama yang sangat bagus. Bahkan Tari selalu menganggapnya terlalu bagus. Tari tak tahu apa arti namanya yang sebenarnya, tapi yang jelas, Mentari adalah matahari. Sebuah bintang. Benda langit yang mempunyai sinar sendiri. Matahari menjadi pusat tata surya. Planet-planet beredar mengelilinginya. Ia merupakan sumber energi bagi planet-planet tersebut. Sedang Indah, menunjukkan pada sesuatu yang cantik dan elok.
Tapi untunglah dari segi fisik Tari tidak terlalu jelek. Sehingga tidak memalukan mempunyai nama sebagus itu. Dalam rentang nilai dari enam sampai sembilan setengah, bolehlah Tari mendapat nilai delapan.
Tari memang tidak setinggi adik perempuannya, atau seputih adik lelakinya. Tapi kulitnya masih bisa disebut coklat muda alih-alih hitam. Bahkan kulitnya sedikit kuning. Walau hidungnya tak semancung hidung kakaknya, tapi Tari tidak bisa disebut berhidung pesek. Walau hidungnya tidak lancip sempurna, batang hidung Tari dapat terlihat dengan jelas. Kacamata pun masih bisa bertengger di hidung "tumpul" yang ia punya.
Narsis? Tari tak bermaksud begitu. Ia hanya mencoba     mensyukuri   segala   sesuatu   yang   ada   pada
dirinya sekarang. Termasuk namanya yang “gagah gemulai”. Sewaktu kecil Tari disebut anak jelek oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka selalu membandingkan Tari dengan saudara-saudaranya.
Cap sebagai anak jelek begitu lekat dalam ingatan Tari. Bahkan ketika duduk di bangku SMA sekalipun, Tari masih merasa sebagai itik buruk rupa. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa ia tak sejelek yang disebutkan oleh orang-orang.
Ketika pertama kali sampai di UPI, Tari sempat berpikir jangan-jangan ia salah masuk kampus. Jangan-jangan ia memasuki sebuah universitas Islam. Pasalnya, banyak sekali penghuni kampus yang mengenakan kerudung. Sementara di SMP dan SMA, Tari sudah terbiasa melihat para siswi tidak berkerudung.
Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Tari akhirnya tiba di kampus UPI.
Ia langsung menuju gedung JICA. Sebuah gedung perkuliahan untuk fakultas MIPA. Gedung itu baru saja rampung dibangun beberapa waktu yang lalu. Menurut rumor, gedung tersebut adalah hibah dari Jepang. Bahkan mandor proyeknya pun “diimpor” langsung dari negeri sakura tersebut. Menurut salah seorang dosennya, pengajuan proposal untuk “permintaan bantuan” tersebut dilakukan cukup lama. Selama bertahun-tahun.
Sebelum ada gedung JICA, mahasiswa−terutama mahasiswa tingkat awal, harus mengadakan long march untuk berpindah-pindah gedung selama jam perkuliahan. Gedung setiap jurusan letaknya terpisah-pisah. Sekarang, kegiatan semua jurusan MIPA terpusat di satu gedung. Hal ini sangat menguntungkan mahasiswa karena mereka dapat menghemat banyak waktu dan tenaga.


Separuh Jiwa

Dokter dengan rambut yang sudah mulai beruban itu tersenyum ketika selesai memeriksa Tari. “Saya kenapa dok?” Tari penasaran dengan hasil diagnosa dokter di hadapannya.
Kemarin malam dada Tari didera sakit. Rasanya seperti ditusuk pisau. Ditusuk dari dada tembus ke punggung. Bahkan selama beberapa detik Tari tak bisa menghirup udara dengan leluasa.
Semenjak jantung Tari mengalami pembengkakan empat tahun silam, hampir setiap hari dadanya terasa sesak. Terlebih bila ia terlampau banyak kegiatan dan tubuhnya kelelahan, rasa sakit seperti semalam hampir bisa dipastikan akan datang menyerang.
Beberapa kali Tari datang memeriksakan diri ke dokter. Para dokter umum di klinik yang berada di kantor bapak. Namun kata dokter, Tari baik-baik saja. Hari ini Tari datang ke dokter penyakit dalam di rumah sakit tempat Tari dirawat empat tahun yang lalu.
“Ya, seperti yang pernah saya bilang, ada bekuan darah lepas ke jantung. Ini yang mengakibatkan klep yang seharusnya membuka malah nutup atau sebaliknya.” Sang dokter mencoba menerangkan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh seorang mahasiswa jurusan kimia.
Dahi Tari berkerut, apa yang sebenarnya terjadi pada jantungnya? Tari tidak begitu paham dengan penjelasan sang dokter. Dulu, sang dokter hanya menyebutkan tentang bekuan darah yang lepas ke jantungnya. Ia tak pernah menyinggung masalah klep jantung.
“Terus,  cara  pengobatannya  gimana  dok?”  walau   tidak mengerti, Tari mencoba mencari tahu bagaimana cara menyembuhkan jantungnya.
“Itu harus dioperasi.” jawab sang dokter dengan tenang.
Operasi? Separah itukah kondisi jantungnya? Tari ingin bertanya lebih banyak lagi, namun antrian pasien di belakangnya masih panjang, Tari pun hanya bisa mengajukan satu pertanyaan terakhir.
“Ini dok, saya juga sering lemas, kenapa yah?”
“Kalau lemas makan permen saja!” jawab sang dokter sambil tersenyum. “Jangan terlalu dipikirkan ya!” lanjutnya lagi. Ia pun kemudian menuliskan sebuah resep.
Maksudnya apa? Ah, mungkin dokter hanya ingin mengusirku secara halus. Dokter tak punya banyak waktu untuk meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Tari berkata- kata dalam hati.
Esoknya, dengan kondisi dada yang masih terasa sesak dan sedikit perih, Tari pun bergegas pergi kuliah. Sekalian ke kampus, Tari mampir ke warnet. Mencari tahu informasi tentang kelainan klep jantung. Artikel-artikel yang ia temukan membuatnya kaget bukan kepalang.
Di sana tertulis bahwa kelainan klep termasuk dalam kategori jantung bocor. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Obat-obat yang diberikan hanya untuk memperlambat laju kerusakan jantung. Solusi yang paling mungkin hanyalah tindakan operasi.
Tubuh Tari yang lemas rasanya melayang ketika melangkahkan kaki keluar dari warnet. Jiwanya seperti tercerabut secara paksa dari raga. Raganya berjalan tanpa jiwa. 
Sesampainya di al-furqon, Tari melepas sepatunya. Perlahan ia menyusuri koridor berlantai hitam. Satu demi satu ia titi anak tangga yang menghubungkan koridor dengan balkon. Raganya masih tanpa jiwa. Semua kejadian ini rasanya seperti mimpi. Selama empat tahun Tari tak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tari hanya menyangka jantungnya mengalami pembeng- kakan. Ia pun menyangka setelah keluar dari rumah sakit, jantungnya akan pulih seperti biasa.
Tak ada seorang pun di atas balkon. Jadwal solat duhur sudah berlalu dua jam yang lalu. Tari menyandarkan badannya di tiang balkon sebelum akhirnya melorot ke bawah. Pertahanan Tari runtuh.
Aaa….! teriak Tari dalam hati. Matanya memanas dan air mulai menggenanginya. Baal di hati Tari telah hilang bersamaan dengan datangnya ribuan jarum menancapinya. Sakit!
Marah, sedih, kecewa, tak berdaya, semuanya campur aduk menjadi sebuah rasa yang tak tahu harus ia namakan apa. Air mata sudah tidak terbedung lagi. Tari menangis sejadinya.
Kehidupan macam apa yang akan kujalani? teriak Tari lagi dalam hati.
Hening. Tak ada jawaban. Hanya pilar-pilar yang diam membisu. Mungkin mereka sedang mengejek kelemahan hatinya. Tapi Tari tak peduli. Ia terus menangis, menangis, dan menangis.
Aku cacat…” gumam Tari lirih di sela isak yang semakin jarang. Tari menghela napas panjang, ia rasakan ribuan kilo beban menghimpit dadanya. Sesak. Berkali  ia mencoba memenuhi rongga dadanya dengan udara. Tubuhnya lemas.
Air mata kini telah mengering, tapi jiwa belum juga kembali pada raganya.
Hampa. Hidupnya seperti tiada arti lagi. Tari tak berani membayangkan hidupnya ke depan.
Rasanya peristiwa itu baru saja terjadi kemarin. Ingatan Tari melayang pada kejadian empat tahun silam. Suatu siang Tari sedang mengendarai bebek hitamnya di jalanan. Tari tidak berkonsentrasi. Terlalu banyak melihat ke samping kiri jalan.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Tari hilang kendali dan menabrak mobil di depannya. Kejadiannya begitu cepat. Bahkan Tari tak ingat saat-saat ketika ia terjatuh.
Kecelakaan itu menyebabkan roda depan motornya penyok. Step bergeser lebih dari empat puluh lima derajat. Sayap kiri motor habis tak bersisa.
Sementara Tari jatuh terseret sejauh beberapa meter oleh motornya sendiri. Tubuhnya tertindih motor dengan sisi badan sebelah kiri di bagian bawah. Alhasil, engkel kirinya retak. Ada luka lecet pada betis dan tulang panggul bagian kiri.
Setelah tahu bagian mana yang cedera. Tari tak lagi datang ke dokter. Tari meneruskan pengobatan ke bengkel tulang.
Sebulan  setelah  kecelakaan,   sepulang dari bengkel
tulang, tubuh Tari tiba-tiba ambruk. Tenaganya seolah terkuras habis. Bumi seperti berputar. Pandangan menjadi gelap. Hanya berkas jingga dan ungu berkelebatan.
Rasa dingin merayapi tubuhnya perlahan. Beberapa menit kemudian tubuh Tari menjadi sedingin es. Ia menggigil layaknya anak kecil yang terlalu lama berendam di kolam renang. Giginya bergemelutuk. Napasnya tersengal.
Rasanya udara hanya sampai di tenggorokan. Tari merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Sakitnya menusuk sampai ke punggung. Tari pun dilarikan ke rumah sakit.
Ternyata jantungnya mengalami pembengkakan. Ini terjadi karena trombus−yang menjadi penyumbat pembuluh darah, di panggulnya lepas ke jantung. Selain lari ke jantung, bekuan darah itu bisa saja lari ke otak dan mengakibatkan stroke.
Mungkin hal itu tak perlu terjadi bila penyumbatan pembuluh darah telah diketahui sejak dini. Padahal tanda- tandanya sangat jelas terlihat. Bila bangun tidur, ukuran kaki kiri Tari lebih kecil dari kaki yang satunya. Namun setelah beraktifitas seharian, kaki kirinya membengkak. Rasanya sakit. Pedih. Namun karena Tari hanya berobat ke bengkel tulang, semuanya jadi terlambat.
Tari tak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Hal itu menyulitkan aktifitasnya. Selain itu, staminanya ambruk.
Selama hampir sebulan lebih, Tari hanya bisa tahan membuka mata selama dua jam. Setelah itu, Tari akan tertidur. Bila terbangun, Tari akan terjaga selama dua jam. Kemudian tertidur kembali. Begitu seterusnya. Kondisi staminanya berangsur membaik setelah ia dirawat selama seminggu di rumah sakit.
Karena kecelakaan yang menimpanya, Tari tidak bisa bersekolah selama empat bulan. Padahal waktu itu ia sudah kelas tiga SMA. Empat atau lima bulan lagi Tari harus menghadapi EBTANAS–(Ujian  Nasional).
 “Jantungku cacat...” gumam Tari lagi. Hanya masalah waktu sampai tubuhnya ambruk. Dalam benaknya, Tari berpikir, semua organ tubuhnya akan ikut terganggu. Komplikasi. Jantung layaknya nyawa bagi sebuah jasad. Bila ia terganggu, yang lain tidak akan baik- baik saja. Pada suatu saat, paru-paru, liver, dan ginjal akan ikut menderita.
Tari mengamati jemarinya yang mengurus. Ia telah kehilangan tujuh kilogram berat badannya selama empat tahun. Kuku-kukunya yang berubah warna menjadi ungu sudah cukup bukti bagi Tari, tubuhnya sudah mulai menderita.
Operasi adalah jalan satu-satunya untuk bisa sem- buh. Sementara biayanya melangit. Mungkin seharga rumah yang ditinggali oleh keluarganya. Entah apakah Tari bisa mempunyai kesempatan untuk sembuh.
Tari masih terdiam di balkon sunyi. Angin sepoi dari sela-sela lubang angin membelai kerudungnya. Sejuk. Rasanya jiwa Tari sudah kembali ke tempatnya. Namun, kenapa ia merasakan ada sesuatu yang kurang? Rasanya jiwanya tak lagi utuh. Hanya separuh jiwa yang kembali. Ada ruang hampa di hatinya.
“Juii..ttt” terdengar pengeras suara di lantai bawah dinyalakan. Tak berapa lama, seseorang menguman- dangkan adzan. Asar. Setelah beberapa kali menghela napas dan memastikan tidak ada lagi lelehan air mata, Tari pun bangkit sambil meraih tasnya. Perlahan Tari melangkah menuju tangga. Ia hendak berwudhu. Selepas solat asar Tari pulang ke rumah.
Beberapa hari setelah pemeriksaan oleh dokter− setelah jiwa Tari cukup stabil, ia pun berbicara kepada mama.
Tari menyampaikan diagnosa dokter dengan gaya sanguinis-nya yang khas.
“Kata dokter, jantung Tari harus direparasi Ma! Klepnya centil! Harusnya buka malah nutup. Harusnya nutup malah buka.” Tari bahkan mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil. Mama tak menyadari apa yang sedang berkecamuk dalam hati Tari. Kalau saja di UPI ada mata kuliah acting, pastinya Tari mendapat nilai A plus.
Tari tak mengatakan banyak hal.  Ia tak ingin mem- bebani keluarganya. Biarlah ia mengemas perasaannya sendiri.
Setelah hari itu, Tari kadang terlihat menyendiri. Wajahnya murung. Namun, di hadapan keluarga dan teman-temannya, Tari selalu mencoba terlihat seolah tak memiliki masalah.
Yang paling gawat, prestasi belajarnya menurun drastis. Ia tak bisa berkonsentrasi terhadap kuliahnya. Ia tak bisa memahami kematerian yang ia dapat. Sekuat apa pun ia berusaha, semuanya tak membuahkan hasil.











Keberuntungan?

Ochi ke mana ya? Tanya Tari dalam hati. Beberapa kali Tari mengetuk pintu kamar kos Ochi. Hening. Tidak ada jawaban. Setelah yakin Ochi tak di kamarnya, Tari memutuskan untuk pergi ke kampus.
Dengan langkah santai, Tari menyusuri jalan menurun. Di kiri kanannya pepohonan. Teduh.
Keadaan yang jauh berbeda akan ditemui di luar kampus UPI. Selangkah dari gerbang utama, hiruk pikuk terminal Ledeng akan segera menyergap. Para calo tak pernah berhenti berlomba meneriakkan mantra-mantra penawaran. Derum motor, mobil, bunyi klakson, dan kepulan asap knalpot menjadi pemandangan jamak sepanjang jalan Setia Budhi. Sementara di sisi lain kampus hanya beton-beton menjulang. Kampus dan lingkungan sekitarnya seolah berada di dua belahan dunia yang berbeda.
Dari kejauhan Tari melihat sekumpulan mahasiswa mendekat.  Mereka  dari  arah  lembah.  Setelah  mata Tari
dapat menangkap gambar wajah mereka, dahinya sedikit berkerut.
Para mahasiswa itu masing-masing membawa jas lab, lengkap dengan peralatan standar yang harus dibawa bila melakukan praktikum di laboratorium. Mereka adalah teman sekelas Tari.
Sekarang kan minggu tenang, kenapa mereka praktikum? Hati Tari bertanya-tanya. Ia pergi ke kampus hanya ingin mengusir rasa bosan. Jenuh berlama-lama di rumah tanpa kegiatan.
Tapi dahi mereka lebih berkerut ketika melihat Tari. Kerutan di dahi mereka seolah sudah mencapai batas maksimal sehingga tak dapat menerima kerutan lagi− bahkan hanya satu kerutan saja. Setelah berpapasan, mereka berhenti di hadapan Tari.
"Kalian dari mana?" tanya Tari keheranan. Ia memandangi teman-temannya bergantian.
"Habis ujian praktikum…" Nana menjawab dengan gamang.
"Ah? Ujian praktikum? Ah yang bener?" Tari sedikit tak percaya. Ia mencoba mencari kesungguhan di wajah Nana.
                "Teteh ga tahu? Sekarang kan ujian praktikum Kimfis!" Nana mencoba meyakinkan Tari. 
"Praktikum kimfis?" dahi Tari jadi lebih berkerut. Mulutnya menganga. Lebar. Kimfis adalah mata kuliah yang menjadi musuh hampir semua mahasiswa jurusan Kimia. Tari berpikir cepat. Bagaimana caranya agar ia selamat. Bisa mengikuti ujian.
"Aku pinjam alat-alatnya ya!"  Tanpa menunggu persetujuan, Tari mengambil peralatan praktikum dari tangan Nana. Sejurus kemudian jas lab Nana juga berpindah ke tangan Tari.
"Jas labnya juga ya Na!"
Setelah mendapat semua yang dibutuhkan, Tari segera berlari. Baru beberapa meter meninggalkan mereka, Tari teringat sesuatu. Nana dan teman yang lain belum beranjak dari tempat semula. Mereka saling berbisik sesamanya.
"Ujiannya di mana?" teriak Tari.
"Di tempat biasa!" jawab Nana. Juga sambil berteriak. Wajahnya menyiratkan keheranan yang ter- amat sangat.
Tari pun kembali berlari. Tempat bertemunya Tari dengan rombongan Nana agak jauh dari laboratorium Kimia Lingkungan tempat ujian praktikum Kimfis. Tari berlari dan terus berlari. Tujuannya hanya satu, sampai di lab sebelum ujian kloter kedua dimulai.
Mudah-mudahan ia masih sempat mengikuti ujian. Tari tak peduli mengenai hasilnya. Pasalnya, akan sangat sulit meminta ujian susulan. Bahkan hal itu sangat mustahil terjadi. Sepanjang perjalan Tari berdoa kepada Alloh, memohon kemudahan.
Tari memperlambat laju larinya ketika ia memasuki pintu depan.
Pff… capek sekali! Keluh Tari dalam hati. Napasnya terengah. Dadanya sesak. Tapi hasilnya setimpal, Tari tiba tepat waktu. Ketika Tari menengok ke dalam lab, dilihatnya teman-temannya baru saja tiba di mejanya masing-masing. Untunglah dalam urusan sprint ia bisa diandalkan. Larinya cukup cepat. Tanpa memperbaiki napas, Tari langsung memakai jas lab.
"Ayo, Teteh pasti bisa!" Inel yang sedang merapikan tasnya tampak iba melihat Tari tergesa memakai jas lab. Ia termasuk kelompok pertama yang ujian.
 “Makasih!” Tari memaksakan tersenyum di sela napas yang tersengal.
Tari langsung menghampiri meja laboran. Sambil memperbaiki napas, Tari mengisi daftar hadir. Pak Nanang menyodorkan "nomor undian" terakhir.
"Tenang, pasti gampang!" katanya sambil ter- senyum.
Tari pun memaksakan membalas senyumnya. Getir. Ingin rasanya menangis. Tapi ini bukan saatnya menangis. Apalagi menyerah.
Diterimanya potongan sedotan yang berisi secarik kertas itu. Mirip pengocokan arisan pikir Tari. Ternyata tangan Tari terlalu gemetar untuk mengeluarkan potongan kertas itu dari tempatnya bersembunyi. Tremor. Akhirnya malah pak Nanang yang mengeluarkan kertas tersebut.
"Tuh kan! Nomor tiga belas! Sana! Labu Dumas tuh!" senyum pak Nanang berubah menjadi tawa.
Hampir saja Tari berteriak kegirangan. Setelah mengucapkan banyak terima kasih, Tari bergegas menuju meja nomor tiga belas. Dilihatnya teman-teman yang lain sudah mulai merakit peralatan praktikum.
Kata siapa angka  tiga belas  adalah  angka sial?  Menurut Tari, percobaan labu Dumas adalah percobaan paling gampang dibanding percobaan yang lain. Selain itu, ketika mendapat giliran percobaan labu Dumas beberapa bulan lalu, Tari yang melakukan hampir semua rangkaian percobaannya.
Langkah demi langkah percobaan dikerjakan Tari tanpa hambatan apapun. Namun ketika akan mengerjakan perhitungan, langkahnya terhenti. Tari kebingungan. Pasalnya, ketika praktikum labu Dumas, yang  mengolah  perhitungan adalah  Puwee−rekan “duet”
Tari. Sedang Tari hanya menyalin pekerjaan Puwee ke dalam jurnal praktikum.
Selama kuliah, Tari dan Puwee selalu berpasangan dalam praktikum. Hanya satu semester saja mereka berganti pasangan. Padahal pembagian pasangan ditentukan jurusan berdasarkan urutan daftar hadir. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Pembagian tugas dilakukan berdasarkan suasana hati masing-masing. Kadang bila salah seorang dari mereka sedang malas, yang banyak melakukan praktikum adalah yang suasana hatinya sedang baik.
Sambil mengamati data percobaan, Tari terus memutar otak. Namun hasilnya nihil. Ia sama sekali tidak bisa memanggil memorinya kembali. Ketika Tari sedang terdiam dan hampir menyerah, tiba-tiba Eliya beringsut mendekatinya dengan hati-hati.
"Kalau sudah begini digimanain?" Eliya langsung menerangkan sesuatu tanpa ba bi bu terlebih dulu.
Setengah berbisik Eliya menjelaskan sekilas tentang sedikit pengolahan data. Ia mendapat ujian yang sama dengan Tari. Eliya sudah mengerjakan sebagian perhitungan. Namun ia kehilangan jejak untuk me- neruskan perhitungan selanjutnya.
Tari menggeleng. Andai Eliya tahu, ia tak sempat belajar. Bahkan jadwal ujian saja Tari tak tahu. Semester ini kuliahnya berantakan. Lagipula biasanya Tari tak akan memberi tahu jawaban kepada teman-teman. Tari pun tidak pernah bertanya kepada mereka meski ia tak bisa. Ia memilih mempunyai nilai jelek daripada harus bertanya kepada temannya. Namun saat itu Tari seolah terhipnotis. Menanggapi pertanyaan Eliya tanpa protes. Setelah Eliya berlalu, Tari kembali memutar otak. Mengaduk-aduk memori beberapa bulan lalu. Hasilnya tetap nihil.
Iseng-iseng Tari mengotak-atik "pesan singkat" dari Eliya. Ia menuliskan kembali perhitungan yang sempat diterangkan Eliya kepadanya. Setelah beberapa waktu mencorat-coret, mulailah terlihat titik terang.
“Aha…” gumam Tari kegirangan. Sekarang ia telah melihat lampu neon. Bukan terang yang hanya setitik lagi. Semua perhitungan tergambar jelas di benaknya. Setelah yakin ia mengerjakan perhitungan dengan benar, ia pun memanggil Eliya hati-hati. Diperlihatkannya lembar jawaban yang telah terisi penuh kepada Eliya. Simbiosis mutualisme. Sebagai balas budi atas jalan keluar yang diberikan Eliya kepadanya.
Untuk kali ini saja Tari memperlihatkan lembar jawabannya kepada orang lain. Benar-benar hanya kali ini saja. Lain kali tidak.
Alhamdulillah.  Segala puji bagi Alloh. Tari me- manjatkan syukur dalam hati.
Apakah bantuan Eliya adalah keberuntungan baginya? Ia tak tahu pasti.  Yang jelas, ujiannya berjalan dengan lancar walau ia harus sport jantung dari awal sampai akhir.













Teguran

Seperti biasa, Tari sudah berada di Cicaheum untuk berganti angkot. Ia melihat ada angkot  yang sedang mengetem. Karena penumpangnya sudah cukup banyak, ia memutuskan untuk menumpang angkot tersebut.
Ternyata Tari mendapat tempat duduk di tengah- tengah. Biasanya ia mengincar bangku paling ujung. Dekat jendela atau di belakang tempat duduk sopir. Namun, posisi strategis sudah ditempati orang lain. Bila begini, Tari tak akan bisa tidur. Ia trauma tidur di angkot bila posisinya tidak menguntungkan.
Pasalnya Tari pernah tertidur ketika duduk di posisi nomor dua dari jendela. Di dekat jendela duduk seorang mahasiswa. Tanpa sadar, Tari telah terbang ke alam mimpi sambil memegang buku yang tengah dibacanya. Bahkan Tari tak sempat menutup buku.
Kejadian yang memalukannya bukan karena Tari tertidur. Tapi karena posisi tidurnya. Tari bersandar pada bahu si mahasiswa. Sedang  sang mahasiswa bersandar ke
jendela. Ia pun tertidur!–Atau pura-pura tidur?, Ketika terbangun, Tari sangat kaget bercampur malu. Bahkan saking malunya, Tari tak berani meminta maaf atas kelakuannya.
Untunglah sekarang Tari tak mengantuk. Semalam tidurnya cukup lama. Seperti biasa, Tari membuka buku untuk mengisi waktu selama perjalanan. Di tengah jalan, ada orang yang memberhentikan angkot yang ditumpangi Tari. Seorang ibu dan seorang anak perempuan masuk ke dalam angkot. Mereka duduk di bangku yang berada di hadapan Tari. Mereka duduk bersebelahan.
Awalnya Tari sama sekali tidak memperhatikan mereka. Tari asyik dengan kesibukannya sendiri. Namun, baru beberapa menit angkot melaju kembali, tiba-tiba sang anak meraih tangan Tari. Tari kaget, tapi ia tidak berusaha melepaskan genggaman tangan si anak. Melihat kejadian itu, si ibu mencoba melarang si anak. Si ibu tampak kesal dengan kelakuan si anak.
“Ga apa-apa Bu. Biar aja.” Tari ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tari memperhatikan wajah si anak. Cukup manis. Tari tertarik pada matanya. Begitu bening dan tampak kepolosan dalam sorotnya.  Tari juga memperhatikan bajunya. Si anak mengenakan seragam. Tapi Tari tak tahu seragam sekolah mana yang ia pakai. Tak ada lokasi sekolah di lengan kanannya.
Si anak mengelus tangannya sambil tersenyum. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mungilnya. Tari membalas senyumnya. Selama beberapa menit, si anak terus melakukan hal yang sama. Tari ingin mengajaknya mengobrol, tapi suaranya tak bisa keluar. Rasanya suara Tari tercekat di tenggorokan. Ia menahan tangis.
Apakah anak tersebut bersekolah di sekolah anak- anak berkebutuhan khusus–yang dilaluinya setiap kali Tari pergi ke kampus?
Tak lama kemudian, si ibu memberhentikan angkot. Ia pun pamit kepada Tari. Mereka berdua turun dari angkot lebih dulu dari Tari.
Setelah mereka berlalu, Tari terus memikirkan kejadian tersebut. Selalu terbayang senyum si anak di pelupuk matanya. Bila si anak memang berkebutuhan khusus, betapa Tari malu pada dirinya sendiri. Si anak bisa menjalani hidupnya tanpa beban. Sedang Tari seringkali begitu bersedih dengan keadaan kesehatannya. Hingga kadang-kadang Tari lupa mensyukuri hal lain yang ada dalam dirinya. Lupa bahwa betapa banyak nikmat yang telah  ia rasakan selama ini.
Mungkin pertemuannya dengan si anak adalah teguran dari Alloh untuknya. Supaya ia lebih berdamai dengan semua hal yang terjadi.
Akhirnya Tari memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan kondisi jantungnya dan hari esok yang akan terjadi. Ia akan menjalani hidup apa adanya. Beraktifitas seperti biasa sampai batas kemampuan tubuhnya.












Alarm Hidup

 “Posisi tidurnya sama. Merdeka!” ujar mama setengah berbisik kepada bapak. Lalu mama menutup pintu kamar Tari perlahan.
Tari kadang-kadang tidur terlentang dengan tangan ditaruh di sisi kiri kanan kepala. Layaknya penjahat yang menyerah kepada polisi.
Sudah beberapa bulan ini Tari tidur bersama adik kecilnya, Iik. Iik hadir di tengah keluarga mereka ketika Tari duduk di bangku SMP kelas tiga. Setelah berumur empat tahun, Iik ingin tidur bersama Tari. Tari tidak berkeberatan, tapi dengan catatan, Iik tidak boleh mengompol!
Demi menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Tari rela dibangunkan tengah malam guna mengantar Iik ke kamar mandi.
Sebenarnya Tari tidak pernah tahu kenapa adik kecilnya mau tidur bersamanya. Padahal ia adalah kakak yang   galak   dan   banyak   aturan.   Selama  Iik masih suka
mengompol, Tari tak pernah mengizinkan Iik meng- injakkan kaki di kamarnya. Bila Iik menampakkan mukanya di pintu kamar, Tari akan segera mengusir si bungsu.
Namun, sebenarnya Tari sangat menyayangi Iik. Tari berlaku demikian agar Iik tidak tumbuh menjadi gadis manja yang mempunyai ketergantungan tinggi kepada orang lain. Pasalnya, semua isi rumah memanjakan si bontot.
Sebetulnya keberadaan Iik bersamanya men- datangkan keuntungan sendiri. Iik seolah menjadi alarm hidup baginya. Bila pulang larut malam, Tari seringkali tertidur dengan kacamata masih bertengger di hidungnya. Mata Tari minus tiga, jadi ia selalu memakai kacamata di setiap kesempatan. Ia mulai memakai kacamata ketika duduk di bangku SMP kelas dua. Semenjak itu, minus matanya terus bertambah besar.
Walau Iik pergi tidur lebih awal, ia seolah tahu bila Tari tertidur dengan mengenakan kacamata. Malam- malam Tari akan dibangunkan oleh Iik. Iik mengingatkan agar sang kakak melepas kacamatanya. Setelah itu, Iik akan tertidur kembali dengan sendirinya. Aneh memang, tapi begitulah adanya.
Hal serupa juga akan terjadi bila Tari tertidur sementara ia belum solat Isya. Iik akan membangun- kannya dan mengingatkannya untuk segera solat.
Iik adalah anak yang menggemaskan. Ia anak periang dan mudah bergaul dengan siapa saja. Postur tubuhnya yang gempal menambah kegemasan orang yang melihatnya. Ia sering meniru adegan yang dilihatnya di TV. Termasuk tari India dan slogan sebuah iklan.
Sama seperti Tari, Iik pun sangat menyukai susu. Susu formula ukuran lima ratus gram hanya bisa  bertahan
dalam tiga hari. Untuk urusan ini, Tari tahu betul karena ia yang sering diminta mama untuk membelikan susu.
Iik tumbuh menjadi anak yang cerdas. Saat Iik menginjak usia TK, Tari sudah memperkenalkan bahasa Inggris pada Iik. Iik cepat mengingat kata-kata yang dipelajarinya dari sang kakak.
Untunglah Tari mempunyai watak sanguinis yang cukup dominan. Jadi ia tidak terlalu kesulitan untuk mengajar anak kecil. Tari mengajar dengan gaya sanguinis. Ceria.
Ketika Iik duduk di bangku Sekolah Dasar, minat belajar Iik berkembang lebih bagus bila dibandingkan dengan teman-teman di kelasnya. Iik mempunyai minat belajar yang tinggi.



















Rihlah

Hari Minggu. Jam delapan pagi. Tari bersama Leni, Ira, Ani, dan Yuli sudah berada di tempat pembelian tiket masuk Dago Pakar. Mereka berempat hendak mengen- durkan otot dan otak selepas ujian.
Yuli berjalan di depan sebagai penunjuk arah. Mereka menyusuri jalan setapak yang sedikit demi sedikit terus menanjak. Tari memandang berkeliling. Wuih! Sejuknya. Pepohonan menjulang di sana-sini. Hijau. Suasana pedesaan sangat kental terasa. Sepanjang jalan Tari asyik bercengkrama dengan teman-temannya.
Banyak orang yang menyusuri jalan bersama dengan mereka. Tidak sedikit muda-mudi yang berpasangan di antara para pengunjung. Tari dan kawan- kawan adalah gadis tanpa pacar. Tanpa “buntut” yang mengikuti mereka. Karenanya, beberapa orang teman memanggil mereka “gunung es”–karena sampai saat ini belum ada seorang pun yang berhasil menaklukkan hati para gadis itu.
Setelah beberapa lama berjalan, mereka sampai di Gua Belanda. Mereka terus memasuki gua yang hanya diterangi cahaya remang dari lampu-lampu kecil sepanjang gua. Di dalamnya, gua bercabang-cabang. Tak ada cahaya yang menerangi cabang-cabang itu. Menurut rumor, cabang-cabang dalam gua tersebut sering dijadikan tempat “berpacaran”.
Seperti halnya Tari dan kawan-kawan, kebanyakan para pengunjung hanya mengikuti jalan lurus yang ada dalam gua.
Gua yang mereka lewati tidak seberapa panjang. Beberapa menit saja mereka sudah sampai di ujung gua yang satunya. Mereka terus menyusuri jalan setapak. Terus menanjak sedikit demi sedikit. Setelah hampir dua jam berjalan, mereka bertemu dengan pos penjualan tiket kembali. Kali ini pos masuk Maribaya.
Pemandangan di sini jauh lebih bagus. Terbentang sungai yang aliran airnya cukup deras. Air menabrak bebatuan sungai, menciptakan musiknya tersendiri. Hijau. Sepanjang mata memandang pepohonan menjulang.
“Oh? Ada air terjun!” seru Tari kegirangan. Gagah. Gagah sekali. Air jatuh bebas dari ketinggian tanpa terhalang suatu apapun. Bergemuruh. Menimpa sungai di bawahnya.
Setelah beristirahat, solat, dan menyantap bekal, mereka bersiap pulang. Mereka tak berlama-lama di sana.
Mereka berjalan kaki kembali selama beberapa menit meneruskan arah perjalanan tadi. Lalu mereka menemukan angkot yang mengetem di pintu masuk Maribaya.
Jadi, tadi masuknya dari pintu belakang ya? Tanya Tari dalam hati. Logika Tari mulai menangkap ada gelagat yang janggal.
“Yul, itu ada angkot, kenapa tadi kita berangkat- nya ga pake angkot aja?” tanya Tari mengungkapkan kecurigaannya.
“Gue ga tau rute angkotnya. Jadi gue ngikutin rute waktu rihlah di pengajian!” Yuli menjawab cuek.
“Gubrak?” Tari nyengir kuda sambil menghentikan langkah. Sementara Yuli terus berlalu tanpa menghirau- kan Tari.
Rihlah? Ya, perih dan lelah. Gumam Tari dalam hati. Dipandanginya punggung Yuli yang semakin menjauh sambil menggelengkan kepala.
Konon kabarnya, jarak antara Dago Pakar dan Maribaya adalah lima kilo meter!





















Aura Kebencian


Sore hari. Awan tebal mulai menutup matahari. Beburung pastinya sudah berlomba kembali ke sarang.
“Tari! Telepon!” Seru mama dari ruang tengah.
“Siapa Ma?” Tanya Tari sambil merem laju lari kecilnya.
“Jangan lari-lari atuh! Ga tau. Ditanya dari siapa, cuman bilang dari ‘temennya’!” Mama menyerahkan gagang telepon. Kemudian berlalu ke belakang.
“Ya, Halloww… Assalamu’alaikum!” Gaya menyapa Tari yang khas pasti mudah dikenali. Gaya sanguinis yang teramat kental.
“Wa’alaikum salam. Ini dengan Tari?” tanya suara di ujung  telepon . Tari mencoba mengenali suara itu. Tapi suara itu tak tersedia dalam file rekaman suara di otaknya. Ia tak tahu berbicara dengan siapa.
“Iya, saya sendiri. Ini dengan siapa?” Tari balik bertanya. Tangannya menjangkau pinsil yang ada di dekat
telepon. Lalu mencoret-coret tumpukan kertas yang ter- geletak di bawah pinsil.
“Ini dengan Lia.” Jawab si penelepon pendek.
“O…” bibir Tari membulat. Pantas saja ia tidak kenal, sekarang-sekarang ia kan sangat jarang ber- interaksi dengan Lia. Lia teman kampusnya. Tapi berbeda kelas.
“Tumben nelpon.” Tangan Tari masih menoreh- kan karbon dalam pinsil yang ada di genggamannya.
“Langsung aja ya! aku mau tanya sama kamu.” Nada suara Lia menjadi tidak bersahabat.
Tari mengernyitkan dahi. Tangannya berhenti mencoret kertas. Ia memasang telinga, siap mendengar- kan kata-kata Lia.
“Apa bener waktu hari Rabu kamu ketemuan sama Ahmad?” Tanya Lia menyelidik. Tari kebingungan. Ia mencoba memutar kembali ingatannya beberapa hari yang lalu sambil bertanya-tanya dalam hati. Emangnya kenapa kalau ia ketemu dengan Ahmad. Bukankah hal itu sudah sering ia lakukan? Dan selama ini tak ada yang mempertanyakan hal itu. Ia memang bertemu dengan Ahmad pada hari MKDU. Berarti benar hari Rabu.
“Iya… emang kenapa?” Tari balas bertanya.
“Sebenernya Ahmad sudah janji sama aku. Dia akan nganter aku belanja ke Pasar Baru. Tapi tiba-tiba dia batalin janji, katanya dia mau ketemu teman SMA-nya. Tapi temen aku lihat Ahmad di perpus bareng sama cewek yang pake kerudung lebar. Katanya tuh cewek cantik, kecil, agak-agak bule gitu. Aku pikir itu kamu. Bener kan?” Kalimat Lia semakin tak bersahabat.
“Iya…” jawab Tari gamang.
“Itu aku…” lanjut Tari kemudian. Dahinya semakin berkerut.
 “Berarti Ahmad bohong sama aku.” Lia mengambil kesimpulan. Tari hanya diam. “Apa sih yang kalian obrolin?” Tanyanya lagi. Layaknya polisi yang sedang menginterogasi penjahat. Dahi Tari sudah tidak dapat dikerutkan lagi. Kerutannya sudah maksimal. Tanda tanya di benak Tari semakin banyak. Apa maksud Lia se- benarnya?
“Aku nanya kenapa Ahmad ga pernah muncul lagi di rohis. Trus kita maaf-maafan, bentar lagi kan Ramadhan, saling tukar cerita, saling tausiyah. Gitu aja.” Tari mencoba bersikap senatural mungkin. Ia mencoba tersenyum. Tapi, alih-alih senyum yang terkembang, ia malah nyengir kuda. Sejenak hening menyergap mereka.
“Tari… jujur aja, aku benci kamu!” tiba-tiba suara Lia memecah kesunyian. Kalimat yang diucapkannya terasa datar dan dingin. Seketika partikel udara seolah berhenti bergerak. Atmosfer membeku! Aura kebencian menyebrangi jarak kosan Lia-rumah Tari. Tari tersentak. Apa salah gue? Tanyanya dalam hati. Ngobrol saja hampir tak pernah. Bagaimana bisa bikin dosa?
“Sebenarnya… aku dan Ahmad pacaran…” Lia menggantungkan kalimatnya. Sebelum meneruskan kalimatnya, Lia menarik napas panjang. “Tapi kamu tahu? Yang dia bicarakan cuma kamu, kamu, dan kamu!” Suara Lia bergetar. Bila saja kalimat itu adalah teks dalam komik, maka ada lima tanda seru di belakang kata kamu. Sebagai penegasan kemarahan Lia.
“Ahmad selalu bilang, lihat Tari, lihat kerudung- nya, lihat pakaiannya, lihat cara bicaranya, bla… bla… bla… Dan karena itu, kita jadi sering bertengkar. Terus terang aku cape berada di bawah bayang-bayang kamu.” Lia diam sejenak untuk menghela napas. Tari hanya mematung. Ia kehilangan kata-kata. Lidahnya kelu.
 “Kamu tahu apa yang dia lakukan kemarin? Dia berkata kasar sama aku. Sakit, aku sakit hati!” ada isak yang tertahan. Tampaknya penat di hati Lia sudah memuncak.
Bahasa Sunda Ahmad jauh lebih halus dari Tari. Bukannya Tari tidak tahu bahasa Sunda yang halus, namun bahasa yang dipergunakan sehari-hari di lingkungan keluarganya adalah bahasa loma. Rasanya sangatlah aneh bila Ahmad sampai berkata kasar. Berarti, ia sedang marah besar.
“Ya udah. Aku cuman mau ngomong gitu aja.” Klik! Tak disangka telepon ditutup dari sebrang tanpa persetujuan Tari. Bahkan tanpa ucapan salam. Tari melongo.
“Ada apa sih?” Tari dikejutkan oleh suara dari belakangnya. Ternyata mama sudah duduk di kursi yang berada di depan TV. Selama menelepon, Tari mem- belakangi kursi itu.
Sejak kapan mama ada di sana? Tanya Tari dalam hati. Akhirnya ia menceritakan semuanya apa adanya.
“Ya sudahlah… kamu jauhi saja Ahmad. Kamu tuh dari kecil ributnya sama perempuan melulu!” komentar mama diakhiri dengan tawa renyah. Sementara Tari hanya nyengir.
Matahari sudah tak nampak. Hanya kemerahannya yang tergambar di ufuk barat. Magrib. Tari bergegas mengambil air wudu. Bersuci untuk menghadap Sang Khalik.
Selepas solat magrib, Tari masih berdiam di kamarnya. Ia merebahkan diri. Melepas penat karena aktivitas seharian. Ia kembali teringat kejadian tadi.
Ia tak habis pikir kenapa bisa begini kejadiannya. Dulu,  Lia   dan   dirinya   sangat   akur.    Bahkan,   mereka− bersama Dian dan Erdi, sering mengadakan pertemuan untuk saling tukar cerita, tausiyah, serta saling mencek hafalan al-Qur’an masing-masing. Hanya saja kegiatan mereka tak bisa berjalan lama. Setelah hampir satu tahun bersama-sama, mereka akhirnya terpisah. Sibuk dengan urusan masing-masing.
Sekarang, setelah hampir tiga tahun tidak saling bertukar cerita, ia mendapat kejutan. Ahmad dan Lia berpacaran! Dan baru saja Lia “melabrak” Tari. Mengatakan bahwa Tari adalah duri dalam percintaan mereka.
Emh… benar kata orang, bagi yang sedang kasmaran, dunia milik berdua saja. Yang lain cuma ngontrak! Jadi, bisa diusir seenaknya. Orang yang dulu dekat saja, ketika dirasa mengganggu kenyamanan percintaan, langsung di warning! Tanpa tedeng aling- aling.
Malam mulai merayapi alam. Tari masih larut dalam kunyahan pikirannya. Kenapa tadi ia hanya diam saja? Bukannya menjawab: bukan salahnya bila Ahmad menyuruh Lia merubah penampilan. Bukankah dulu Kerudung Lia lebar dan bajunya pun longgar? Kenapa sekarang kerudung Lia mengecil dan bajunya menjadi super ketat? Begitu cepat  manusia berubah.
Harusnya ia berteriak kepada Lia seperti yang ia lakukan dulu setiap kali merasa eksistensinya terancam oleh Angga, teman sekelasnya di SMU.
Angga selalu mengganggu Tari dan teman sebangkunya, Mela. Bukan hanya itu, Puput, Ela dan Fernita tak kalah jahatnya. Mereka selalu menyebut bahwa Tari bukan bagian dari kelas.
Seingatnya hanya Lisa dan Desi yang tak pernah mencemoohnya.  Namun  Tari  enggan  berselisih   dengan
anak perempuan. Pasalnya, para anak perempuan hanya bisa menyindir saja. Mereka tak pernah berani berbicara di hadapan Tari langsung.
Saat itu hampir setengah isi kelas mengucilkan Tari dan Mela. Tak ada yang berani melawan Angga and the gank. Mereka adalah grup favorit di kelas. Tajir dan borju. Keadaan lebih parah lagi ketika Mela akhirnya pindah ke Jawa. Ia sendirian menghadapi “penindasan” Angga CS.
Semuanya bermula dari sebuah kesalahpahaman. Angga menyangka Mela membeberkan rencana Tanni bo- los dari sekolah. Tanni pergi ke SMP-nya pada saat jam pelajaran berlangsung.
Padahal Mela tak bermaksud begitu. Wali kelas menanyakan padanya apakah Tanni ada di sekolah ketika pelajaran olah raga. Dan Mela menjawab iya. Itu saja. Baru beberapa langkah wali kelas beranjak ke luar kelas, meja Mela dan Tari sudah digebrak Angga. Mereka berdua tidak diberi kesempatan membela diri. Semenjak itu, Angga dan teman-temannya mengobarkan peperangan terhadap Tari dan Mela.
Tapi… ah sudahlah! Mungkin ia sekarang sudah sedikit dewasa. Tak ada gunanya memperpanjang masalah sepele seperti itu.
Untunglah Tari tak pernah mengikatkan hati dengan teman-temannya. Tari berinteraksi dengan teman-temannya hanya untuk memenuhi hukum bahwa manusia adalah makhluk sosial. Saling membutuhkan. Harus saling tolong menolong. Tari bisa memberi sebanyak yang ia mampu. Tapi jangan harap Tari memberikan hatinya.
Dua kali berpindah rumah membuat Tari berkali- kali harus berpisah dengan teman-temannya. Tari belajar untuk   tidak terlalu  menyayangi orang lain.  Tidak   terlalu
mengharapkan ikatan yang istimewa dengan teman- temannya. Karena suatu saat ikatan yang pernah dirajutnya akan terurai juga.
Pun ketika Lia,  Ahmad,  dan Erdi mengajak meng- umumkan hubungan layaknya saudara, Tari hanya menghormati mereka  ketika   menerima  ajakan  itu.  Hati  Tari  kosong  dari perasaan menyayangi. Ia takut kecewa lagi.
Tari melakukan semua itu hanya untuk melindungi hatinya dari luka-luka yang tidak perlu. Mungkin ini yang menyebabkan Tari tidak terlalu sakit menerima perlakuan Lia.
Keesokan paginya, Tari sudah duduk di depan loket pembayaran telepon di BNI kampusnya. Ia tak sendiri. Di kursi sebelah, Ahmad baru saja mengambil posisi duduk.
 “Tari pasti tahu kenapa Aa ajak ke sini.” Tanya Ahmad sambil memasukkan kunci motor ke dalam saku jaket. Dipandangnya wajah pucat Tari. Aa, begitulah Ahmad ingin dipanggil olehnya. Bukan hanya ia sendiri yang memanggilnya demikian. Lia dan Dian juga memanggil Ahmad begitu. Sebaliknya, Tari dipanggil dengan nama kecilnya oleh Ahmad dan Erdi.
“Kenapa emang A?” Tari malah balik bertanya. Ia tak mengerti maksud Ahmad.
“Bener Lia nelpon Tari?”
Tari mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Ahmad. “Tahu dari mana?” Lagi-lagi Tari balik bertanya.
“Lia sendiri yang bilang.” Ahmad terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Emang Lia ngomong apa aja?” tanya Ahmad penasaran.
Tari memajukan bibirnya. Manyun. Tadinya Tari tak mau mempermasalahkan telepon dari Lia. Tapi malah Lia sendiri yang mengadu kepada Ahmad. Orang aneh!
 “Lia bilang tentang hubungan kalian. Terus… dia bilang kalo Aa bohong pada Lia. Itu… waktu kita janjian di perpus. Kata Lia, Aa  bilangnya ketemuan ma temen SMA...” Jawab Tari sedikit cuek. Ia lalu mengedarkan pandangannya. Satu per satu pelanggan berdatangan. Petugas loket mulai sibuk melayani mereka.
“Trus ngomong apa lagi?” Ahmad semakin penasaran.
“Itu aja A!” Tari menatap lurus ke depan. Tidak ada gunanya mengurai semua percakapannya dengan Lia. Apalagi masalah Lia yang merasa berdiri di bawah bayang-bayangnya. Ahmad mengangguk-angguk men- dengar jawaban Tari.
“Iya… Aa emang pacaran sama Lia.” Ahmad me- nunduk.
“Lia suka marah kalau kita ngobrol. Bahkan walaupun sekedar say hi…” Lanjut Ahmad lagi. Ia masih menunduk. Tiba-tiba Ahmad berdiri.
“Nama bapak Aa dipanggil. Bentar ya!” Ahmad bergegas menuju loket.
Sejurus kemudian Ahmad sudah tegak di hadapan Tari. Lalu ia duduk lagi di tempat semula. Sejenak mereka tenggelam dalam diam.
“Tari ga pernah nyangka kalian pacaran...” Tari memandangi Ahmad. Wajah Tari datar tanpa ekspresi. Tari menyesal menjadi orang yang terlalu naïf. Ia tidak menyangka banyak juga aktifis rohis yang sangat “hobi” melakukan kegiatan yang satu ini.
“Aa tahu. Pasti Tari ga akan berpikir seperti itu.” Jawab Ahmad pelan. “Aa minta maaf atas kejadian kemarin…” Ahmad memberanikan diri menatap Tari.
“Sudahlah… tak ada yang perlu dimaafkan…” jawab Tari pelan.
Lagipula minta yang seharusnya maaf adalah Lia. Bukan yang lain. Bisik Tari dalam hati.
Akhirnya setelah pembicaraan itu, Tari dan Ahmad berpisah. Walau arah mereka sama, Tari memilih berjalan kaki ke al-Furqon. Tari menolak dibonceng oleh Ahmad. Ia takut tersebar gosip yang tak sedap. Lagipula adab pergaulan dalam Islam tidak mengizinkan hal seperti itu.
Tari hanya mau dibonceng oleh saudaranya. Atau bila tak ada sarana transportasi yang lain, ia hanya mau dibonceng oleh tukang ojeg. Ia tak pernah mau diboncengi temannya. Bila ada tukang ojeg perempuan, pastilah Tari akan merasa senang sekali diboncengi mereka.
Walau adab pergaulan Tari  belum  sempurna,  ia  berusaha keras untuk tidak bersentuhan kulit dengan kaum Adam. Bukan pekerjaan yang mudah membiasakan hal seperti itu. Karena tak ada satu pun fasilitas umum yang bisa menunjang penerapan adab pergaulan menurut Islam.
















Mengintip Dunia Nyata

Tari, Eni, dan Eliya melaksanakan PPL di SMA yang sama. Dulu Eni bersekolah di sana. Sekolah tempat PPL mereka terletak tidak jauh dari rumah Tari. Mungkin hampir setengah perjalanan dari rumahnya ke kampus.
Tak terasa Tari sudah sampai di semester delapan. Tapi Tari dapat memastikan ini bukan semester terkhir dalam perjalanan kuliahnya. Semester kemarin kuliahnya berantakan. Lubang yang menganga di hati Tari ternyata sangat mempengaruhi kuliahnya. IP Tari di semester tujuh hanya satu koma enam lima. IP terburuk sepanjang sejarah perkuliahannya.
Mengajar di "kelas sungguhan" ternyata cukup mengasyikkan. Selama ini Tari hanya mengajar murid privat. Namun, pekerjaan rumah yang harus Tari kerjakan sungguh merepotkan.
Mempersiapkan kematerian sebelum mengajar sudah menjadi peraturan tak tertulis bagi setiap guru. Bukan hanya isi  kematerian  yang harus dikuasai,  metode
untuk menyampaikan kematerian kepada siswa pun harus dipikirkan.
Apakah kematerian akan disampaikan melalui ceramah, praktikum, demonstrasi atau tanya jawab? Termasuk pula mempersiapkan soal-soal yang akan diberikan sebelum dan sesudah kematerian. Belum lagi memeriksa tugas dan ulangan dua ratus orang anak yang sangat menyita waktu dan konsentrasi.
Ada satu hal yang tidak Tari sukai dari persiapan mengajar: membuat rencana pembelajaran setiap kali akan mengajar. Tari menilai peraturan administrasi yang satu ini tidak begitu menunjang dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Hanya membuat pekerjaannya ber- tambah banyak saja.
Tanpa membuat rencana pembelajaran pun, Tari akan mempersiapkan kematerian sebaik mungkin. Pasalnya, ia tak mau ditertawakan oleh murid-muridnya karena tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengajar mereka. Apalagi murid-murid yang diajarnya sangat kreatif memberikan pertanyaan. Bahkan ada satu dua murid yang senang memberikan pertanyaan sulit hanya untuk melihat kemampuan gurunya. Konyol sekali!
Bagi Tari, seorang guru haruslah mampu me- nyampaikan kematerian dengan bahasa yang bisa dimengerti. Selain itu, harus bisa menampilkan sosok yang layak dihormati oleh murid-muridnya. Menurutnya, seorang guru baru layak disebut guru bila para siswanya bisa menerima kehadirannya di kelas dengan ringan hati.
Ada beberapa sosok guru yang lekat dalam ingatannya: Tari selalu ingat kepada seorang guru SD yang membantunya memakai jas hujan di kala sekolah diguyur air dari langit. Atau seorang guru yang rela memberi les tambahan di luar jam pelajaran. Gratis!
Beberapa orang guru yang pandai membuatnya mudah memahami pelajaran yang sedang dibahas. Serta seorang guru bermental baja. Bu Saly.
Sepintas lalu tak ada yang berbeda dengan bu Saly−salah seorang guru IPA di SMA Tari. Kecuali dua hal: bu Saly selalu mengenakan celana panjang kala mengajar dan kulitnya yang lebih cocok disebut pucat daripada putih. Selebihnya, bu Saly adalah guru yang sempurna bagi Tari. Cerdas, tegas, berwibawa, dan sangat disiplin.
Hal yang tak kalah mengagumkan adalah rasa empati yang tinggi−baik terhadap kondisi keuangan  murid-muridnya maupun terhadap keadaan alam. Para muridnya tidak pernah disuruh membeli buku dari bu Saly. Malah  mereka disarankan untuk membeli buku bekas. Ketika ulangan, jawaban cukup ditulis pada selembar kertas. Benar-benar selembar kertas! Bahkan bila cukup, selembar kertas pun boleh dibagi dua. Bila hal ini dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia, berapa juta pohon yang bisa dihemat setiap harinya?
Belakangan para murid baru tahu bahwa bu Saly mengidap leukeumia. Namun  mereka tak pernah men- dapati wajah murung. Alih-alih mendengar bu Saly mengeluh,  mereka malah mendapat banyak nasihat yang berguna.
Menurut Tari, tak mudah mendapat SIM, “Surat Izin Mengajar” dari siswa. Perlu tekad yang kuat dan latihan yang terus menerus. Bahkan, PPL lima bulan belum berarti banyak untuk mengasah keterampilan menjadi guru.





Warna-warni

Hari ini Tari mengajar kelas 2-5, kelas yang lumayan merepotkan. Penghuninya senang sekali membuat kegaduhan. Namun untungnya mereka masih mudah diarahkan untuk memperhatikan pelajaran. Minat belajar mereka cukup tinggi.
Seperti biasa, setelah mengkondisikan mereka untuk menerima pelajaran, Tari akan menulis kematerian secara global di papan tulis. Sementara Tari menulis, biasanya masih ada murid-murid yang masih sibuk dengan urusannya sendiri. Entah pinjam meminjam pulpen, entah mengobrol, bahkan ada yang menarik-narik tugas temannya karena ia tidak mengerjakan PR. Itu sudah menjadi pemandangan umum di setiap kelas.
Namun kali ini jumlah murid yang ribut lebih banyak dari biasanya. Walau belum selesai menulis, Tari menyempatkan diri untuk membalikkan badan sekedar melihat keadaan mereka. Ternyata yang terjadi di luar dugaannya.  Sesaat  setelah  membalikkan  badan,   semua
murid secara refleks menutup mulutnya, padahal Tari belum bicara sama sekali. Hening seketika menyergap.
Tari menjadi kaget sendiri. Apakah dirinya tampak sangat menyeramkan? Sehingga mereka langsung ter- diam hanya karena Tari membalikkan badan. Mungkin benar kata Eni, tatapan matanya menakutkan. Apalagi bila Tari sedang marah.
Suasana di kelas terasa kaku untuk sementara waktu. Butuh waktu yang agak lama untuk membuat suasana kembali cair.
Cerita berbeda terjadi di kelas 2-8. Tari membawa beberapa alat praktikum ke kelas untuk melakukan demonstrasi. Ketika Tari meminta beberapa sukarelawan untuk demo di depan kelas, hampir semua murid mengacungkan tangannya. Mereka sangat antusias. Bahkan, ada beberapa murid yang cemberut karena ia tidak dipilih ke depan.
Hati Tari senang bukan kepalang. Padahal sebelumnya Tari sempat ragu membawa perangkat alat tersebut ke kelas. Takut murid-murid tidak memberi respon positif karena menurutnya alat-alat tersebut tidak terlalu menarik.
Suasana di kelas menjadi sangat menyenangkan, para murid memperhatikan dengan seksama. Tari menjelaskan kematerian dengan full senyum. Bahkan diselingi dengan banyak candaan gaya sanguinis-nya yang khas.
Ketika ada murid yang memberi celetukan yang membuat seisi kelas gerr, Tari menatapnya dengan wajah gemas. Secara refleks Tari melayangkan kaki seolah hendak menendang. Setelah kakinya mendarat kembali, Tari baru tersadar bila ada kerudung merah di sela-sela kerudung  berwarna  putih.  Oh boy!  Itu kan guru  walinya?
Sudah berapa lama ia berada di sana? Apakah cukup lama untuk melihat kekonyolannya bersama anak-anak?
Tari pun menganggukkan kepala sambil nyengir kuda. Sang guru membalas anggukan Tari. Ada senyum terkulum di bibirnya.
Aduh…mudah-mudahan bu Yati tidak memberiku nilai jelek. Gumam Tari dalam hati.
Selama PPL Tari bisa “menjinakkan” murid-murid kelas 2-9 yang katanya merupakan kelas ternakal–menurut  informasi dari guru PPL yang lain. Baginya tak ada yang aneh dengan penghuni kelas 2-9.
Mereka mau bekerja sama selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Mereka menyimak, bertanya, menjawab, sama halnya dengan murid di kelas-kelas yang lain. Bahkan, kenakalan yang ada pun hanya kenakalan remaja yang iseng. Memang, kadang iseng terhadap guru mereka.
Namun Tari tak berhasil membimbing murid-murid kelas 2-7 untuk “kembali ke jalan yang benar”.
Tari mengajar di kelas 2-7 setelah istirahat kedua. Kebetulan jam pulang di SMA ini adalah pukul dua, sehingga ada dua kali istirahat. Sekitar jam makan siang Tari harus masuk ke kelas tersebut.
Setiap kali masuk ke kelas, jumlah murid yang ada di kelas tak pernah lengkap. Selalu tercecer. Entah itu di kantin, di masjid, atau bahkan di lapang basket. Setelah diingatkan pun masih terus terjadi seperti itu.
Jumlah mereka menjadi lengkap setelah Tari marah besar. Namun di hari-hari selanjutnya, kejadian yang sama terulang kembali.
Telah habis dayanya menghadapi mereka. Dari mulai memberi nasihat, motivasi, sampai marah besar, itu tak banyak  merubah  mereka.  Usut  punya  usut,  ternyata
hampir semua penghuni kelas 2-7 memiliki motivasi belajar yang sangat rendah.
Namun secara keseluruhan Tari merasa PPL-nya lebih bermakna dibandingkan dengan teman-teman dari jurusan yang lain. Banyak sekali pengalaman yang ia dapat ketika mengajar para muridnya. Mahasiswa dari jurusan lain hanya mengajar dua atau tiga kelas saja. Sementara  mereka, dari jurusan kimia, mengajar empat hingga enam kelas.


























Aneh?

Dahi Tari sedikit berkerut. Jawaban murid yang satu ini memang ngawur, tapi beberapa langkah awal sudah hampir tepat seperti yang ia harapkan. Dilihatnya nama yang tertera di kertas ulangan. Resno. Tari tidak tahu mana orangnya yang memiliki nama tersebut. Bukan hal mudah menghapal nama dua ratus siswa dalam waktu tiga bulan. Pertemuan dengan mereka pun hanya dua kali seminggu.
Biasanya Tari akan lebih mudah menghapal nama murid yang aktif, yang nilainya sangat kurang, atau murid-murid yang “bertingkah”. Anak yang satu ini luput dari perhatian Tari.
Keesokan harinya, ia bertanya kepada murid yang lain perihal pemilik nama Resno. Teman-teman Resno mengatakan bahwa Resno adalah anak yang aneh. Terlalu pendiam dan kadang tertidur selama pelajaran ber- langsung.   Resno  duduk   sebangku   dengan  Ilham.   Nilai
keduanya selalu jelek. Padahal kelas ini merupakan kelas dengan nilai rata-rata tertinggi pada pelajaran Kimia. Sedikit sekali murid yang nilainya di bawah enam.
Suatu saat, Tari mendapati Resno tertidur di akhir pelajaran. Setelah Tari mengakhiri pertemuan di kelas tersebut, Tari membangunkan Resno dan mengajaknya mengobrol di luar kelas.
Dari pembicaraannya dengan Resno, Tari me- ngetahui bahwa ibunya adalah wanita pekerja. Bila mendengar uraian Resno, Tari menangkap “sinyal” bahwa Resno mengharapkan perhatian dari orang tuanya. Jadi ia “bertingkah” di sekolah.
Resno bercita-cita menjadi pemain band. Kala itu Tari tidak bisa memberi banyak nasihat. Ia hanya berharap Resno bisa lebih peduli terhadap pelajaran di sekolah, karena menjadi pemain band tidak berarti ia mengabaikan pendidikannya.
Tari tahu, mungkin pembicaraan itu tak berarti banyak untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan yang terlanjur mengakar dalam diri Resno. Tapi setidaknya Resno bisa menyadari bahwa ada yang peduli dengan dirinya.
Suatu hari Resno tidak mengikuti ulangan Kimia terakhir sebelum ulangan umum. Ia tidak bersekolah karena sakit. Walau tidak ulangan, Resno tidak menghubungi Tari untuk meminta ulangan susulan.
Akhirnya malah Tari yang mencari anak itu di lapang basket. Setelah jam sekolah usai, Tari meminta teman Resno untuk membawa Resno ke hadapannya.
“Resno, kapan mau ulangan?” Tari memandang murid berwajah kearab-araban di hadapannya.
“Sekarang aja Bu.” jawab Resno cuek.
“Sekarang?   Kalau  Kamis  gimana!  Biar  kamu bisa
belajar dulu!” Tari mengerutkan dahi.
Anak ini! Cuek sekali! Tari berkata-kata dalam hati.
“Ah, sama saja Bu. Sekarang atau nanti. Sama- sama ga akan belajar…” wajah Resno tampak innocent. Sementara Tari hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ya sudah, kita ulangan di lab saja.” Tari tak punya pilihan lain. Daripada nilai Resno bolong, mending Tari mengadakan ulangan dadakan sekarang. Pasalnya Tari tak yakin bisa menemukan Resno di lain hari.
Selama Resno mengerjakan ulangan, Tari berdiri di belakang Resno. Resno mengerjakan ulangan dengan serius. Ia menjawab soal yang dihadapinya dengan cara yang sama persis dengan yang dijelaskan Tari tempo hari. Resno menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat cepat.
Jumlah soal ulangan yang dibuat Tari hanya sepuluh. Ini lebih bersifat “ulangan kecil” karena yang diulangankan hanya dua sub bab saja.
“Sudah Bu!” Resno berdiri sambil meraih kertas ulangan yang tergeletak di meja. “Boleh keluar Bu?” tanya Resno sambil menyerahkan hasil pekerjaannya.
“Ya.” jawab Tari pendek sambil menerima kertas ulangan yang disodorkan Resno.
Setelah memasukkan pulpen ke dalam tasnya, Resno langsung meninggalkan laboratorium tanpa basa- basi lagi. Sekarang yang tinggal di lab hanyalah Tari. Perlahan Tari duduk di bangku kayu tanpa sandaran. Ia lalu mengeluarkan pulpen merah dari tempat pinsil.
Tari langsung memeriksa hasil pekerjaan Resno. Tak perlu waktu lama untuk mengetahui nilai ulangan muridnya yang satu ini.
Dari sepuluh soal, Resno berhasil mengerjakan tujuh soal dengan benar. Tari tersenyum. Tepat seperti dugaannya. Resno adalah anak yang cerdas.
Tanpa belajar pun, ia sanggup mengerjakan ulangan dengan cukup baik. Namun sayang, ke- cerdasannya seolah terkubur dalam sikap cuek yang ditunjukkan Resno.
Potensi yang tak terberdayakan. Bisik Tari dalam hati.
Sayang Tari tak bisa berbuat banyak untuk bisa menggali potensi Resno lebih banyak lagi. Setelah ulangan umum, ia harus meninggalkan sekolah ini. Masa PPL-nya sudah berakhir.





















Laboratorium Darurat

Rasa malas mengiringi langkah kaki Tari. Ia hendak pergi ke laboratorium di kampusnya. Cerahnya pagi tidak bisa menggantikan mendung yang menggelayuti hati Tari. Semilir angin pun tak sanggup mengusir awan hitam yang menutupi benaknya. Tari kehabisan ide setelah penelitian skripsi yang ia lakukan gagal.
Tari menghela napas panjang. Mencoba memenuhi rongga dada dengan udara sebanyak mungkin.
Selain penelitian skripsi, Tari pun masih harus memikirkan nasib empat mata kuliah yang ia kontrak bersamaan dengan skripsi. Semua mata kuliah itu ia kontrak kembali untuk memperbaiki nilai-nilai sebelum- nya yang sangat jelek. D. Selain itu, ia pun mempunyai seorang murid privat. Jadi Tari tidak bisa fokus hanya pada skripsi saja. Konsentrasinya terpecah.
Kaki Tari menginjak anak tangga satu per satu. Laboratorium tempat ia dan Eni menguji coba prosedur praktikum–yang dibuatnya sendiri, berada di lantai dua.
Ketika Tari meninggalkan anak tangga yang terakhir, suasana hatinya belum juga membaik. Pun ketika ia sudah sampai di ujung lorong. Ia merasa hari-hari yang dilaluinya sangat menyebalkan.
Tari membuka gembok kecil yang menggantung di pintu salah satu ruangan. Sebelum masuk, Tari menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya. Semrawut. Membuat suasana hatinya semakin buruk. Hampir setiap sudut ruangan penuh oleh lemari dan meja yang dipadati botol-botol. Sedikit sekali ruang untuk bergerak.
Tempat ini lebih layak disebut gudang daripada laboratorium. Bukan hanya karena kondisinya yang tidak nyaman, namun ruangan ini pun tidak dilengkapi lemari asam dan wastafel. Sehingga untuk mencuci peralatan, Tari harus berjalan ke ujung lorong yang satunya lagi. Wastafel terletak di dekat tangga. Di dalam toilet.
Tari tidak tahu mengapa dosen pembimbingnya–pak  Yana, menyuruhnya menggunakan ruangan ini. Padahal biasanya para mahasiswa yang sedang melakukan penelitian skripsi menggunakan laboratorium di gedung MIPA. Bahkan teman seangkatannya dengan bebas keluar masuk laboratorium untuk mengerjakan tugas akhir mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?
Eni mengikuti Tari dari belakang. Syukurlah Tari tak harus mengulang penelitian sendiri. Eni dengan setia menemaninya. Padahal penelitian Eni sudah berhasil. Bahkan, ia ikut memikirkan bahan penelitian Tari yang baru. Akhirnya malah Eni yang mengusulkan penelitian laju reaksi.
Tari terpaksa menggunakan laboratorium darurat tersebut. Ia tak bisa berlama-lama menunggu. Berpacu dengan waktu. Terlambat sedikit, judul penelitian harus diganti lagi.  Penelitian skripsi bergantung pada kurikulum
di sekolah. Bergantung kepada materi pelajaran di kelas. Materi pelajaran yang sudah terlewat tidak mungkin diulangi kembali.
Hari ini mereka datang ke laboratorium untuk mengambil beberapa peralatan. Rupanya nasib baik masih berpihak pada Tari, kemarin guru di sekolah−tempatnya PPL, memberi izin kepada Tari untuk mempergunakan laboratorium sekolah. Bukan hanya peralatan yang bisa ia pakai, zat kimia pun bisa diambil sesuka hati. Gratis!
Tari hanya tinggal membawa 1,5 liter aquades yang diberikan oleh laboran di kampus. Sebenarnya zat kimia yang ia gunakan sangat sedikit sekali. Hanya 250 mg Natrium tiosulfat–bahkan tidak sampai satu gram, dan 20 mL HCl pekat. Namun walau zat yang ia pakai sangat sedikit, Tari tak mungkin membeli zat-zat tersebut. Biasanya pembelian minimal zat kimia di toko-toko dalam satuan 500 gram.
Setelah melakukan test drive–meminjam istilah para pembalap, selama beberapa waktu, prosedur praktikum laju reaksi dalam skala kecil berhasil diselesaikan.














Save by the Bell

Deg! Sejenak jantung Tari seolah berhenti berdetak. Setelah jantungnya kembali memompa darah, Tari merasakan degupannya dua kali lebih cepat. Hal ini biasanya ia alami bila melihat teman lelaki yang disukainya. Darah muda. Bedanya, yang ia lihat sekarang adalah para dosen penguji. Hari ini jadwal ujian sidang skripsi Tari.
Tari memasang senyum−termanis yang ia punya, sambil mempersilahkan dosen pembimbing dan para dosen penguji memasuki ruang sidang lebih dulu. Baru Tari mengikuti mereka dari belakang. Rasanya kaki Tari tak menjejak tanah. Seperti melayang. Padahal sebelum bertemu dengan para dosen, Tari baik-baik saja. Mungkin demam panggung.
Seharusnya mendengar nama para dosen penguji saja membuat bulu kuduk berdiri. Merinding. Desi pun tampak cemas ketika pertama kali memberi tahu nama- nama dosen yang  akan  menguji Tari.  Namun saat itu Tari
hanya menanggapinya dengan dingin. Hatinya baal mendengar kabar tersebut. Telah banyak yang ia lalui di kampus ini, satu kejadian tak banyak berarti. Perjalanannya di kampus ini akan segera berakhir. Hanya tinggal satu langkah lagi.
Setelah para dosen duduk di kursinya masing- masing, dosen pembimbing Tari–pak  Yana, membacakan peraturan yang berlaku di ruang sidang. Tari diberi kesempatan mempresentasikan skripsinya selama sepuluh hingga lima belas menit. Selanjutnya, masing-masing dosen penguji mengajukan pertanyaan selama kurang lebih lima belas menit.
Selama pembacaan tata tertib, Tari mencoba memperbaiki napas yang sedikit tersengal akibat detak jantungnya yang tidak teratur. Sidang pun dimulai setelah Tari paham semua peraturan yang dibacakan.
Sesi pertama berlangsung tanpa hambatan. Kata- kata mengalir lancar dari mulut Tari. Lidahnya tak mengenal kata kelu. Skripsi ini sudah “dieraminya” selama satu tahun. Tari hampir hafal kata-kata yang tertulis di dalamnya.
Sesi kedua dimulai oleh pertanyaan pak Adi. Sebelum mengajukan pertanyaannya, pak Adi me- lemparkan senyuman pada Tari. Memperlihatkan lesung di kedua pipinya dan mata sipitnya yang semakin menyempit di balik kaca mata. Pak Adi tidak tampak seperti dosen “killer”. Memang ia tidak mempunyai sifat keras. Bahkan, senyuman selalu terkembang di bibirnya.
Ia killer dalam urusan nilai. Standar penilaian tinggi dan tidak ada ampun bagi kesalahan pemahaman mahasiswanya. Namun, sejujurnya Tari tidak keberatan dengan standar nilai yang diterapkan pak Adi–walau Tari harus mengulang mata kuliahnya untuk mendapat nilai B. Sudah selayaknya para calon guru memiliki pemahaman kematerian yang bagus.
“Kenapa anda memilih bahasan laju reaksi untuk penelitian skripsi anda?” pandangannya teduh. Di usianya yang tidak lagi muda, pak  Adi tampak bersahaja.
Pfff… untung dosen pembimbingnya berbaik hati memberi bocoran jawaban atas pertanyaan semacam ini.
“Ini berkaitan dengan keterbatasan kemampuan saya selaku mahasiswa Pak! Saya merasa bahasan ini lebih mudah untuk dijadikan bahan penelitian saya.” sebelum melanjutkan kata-kata, Tari menghela napas dalam. Sisa kekagetan tadi masih berbekas.
“Selain itu, saya juga harus menyesuaikan penelitian dengan kurikulum yang berlaku di sekolah.” Tari mengakhiri jawaban dengan senyuman. Dilihatnya pak Adi mengangguk-anggukkan kepala.
“Dalam kelebihan metode praktikum kecil ini anda menyebutkan bahwa penggunaan bahan menjadi lebih sedikit dari praktikum biasa. Bila pertimbangannya adalah bahan, kenapa anda tidak menggunakan metode demonstrasi saja?” pak Adi memandang Tari sambil mengulum senyum.
“Dalam metode demonstrasi, siswa tidak terlibat langsung dalam percobaan. Selain itu, perubahan yang terjadi tidak dapat diamati oleh seluruh siswa. Sedangkan dalam metode praktikum, siswa melakukan percobaan sendiri, sehingga mereka mempunyai pengalaman menggunakan alat-alat dan bahan. Mereka pun dapat mengamati perubahan yang terjadi dengan jelas. Begitu Pak…” cengiran kuda mengakhiri kalimat Tari. Sulit baginya menghilangkan gaya sanguinis yang sudah terlanjur mendarah daging. Bahkan di saat penting seperti ini, masih muncul juga.
“Dalam penelitian, anda hanya melakukan satu kali percobaan, apakah itu cukup untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan?” Sekarang pak Adi tersenyum. Lebar.
Sebelum menjawab pertanyaan pak Adi, Tari menghela napas panjang kembali. Ia tidak mengira bila pertanyaan-pertanyaan dari pak Adi sama sekali tidak menyulitkan.
“Secara ilmiah, penarikan kesimpulan tidak cukup hanya dilihat dari satu kali percobaan saja. Diperlukan banyak percobaan untuk mengambil sebuah kesimpulan. Namun untuk siswa SMA pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dari satu percobaan, karena di SMA tujuan praktikum hanya untuk memperkenalkan apa itu praktikum.”
Pak Adi mengangguk-ngangguk. Senyum masih terkembang di bibirnya. Setelah puas mengajukan pertanyaan, pak Adi menghentikan tanya jawab.
“Ya, sudah!” pak Adi melemparkan pandangan ke arah dosen pembimbing Tari. Tari merasa sangat lega. Ujian dari satu dosen telah ia lewati. Sekarang giliran pak Deri untuk mengujinya.
“Alat-alat yang digunakan dalam praktikum sangat kecil ya?” pak Deri terdiam sesaat sebelum menyambung kalimatnya. “Apakah itu tidak mengganggu siswa dalam bekerja? Apa perubahannya bisa diamati?” ditatapnya Tari dengan lekat.
Tabung reaksi yang digunakan dalam penelitian Tari memang sangat kecil. Hanya sebesar kelingking.
Dalam prosedur aslinya, alat yang digunakan adalah gelas kimia 100 mL. Sedang dalam prosedur yang dibuat Tari, digunakan tabung reaksi 5 mL. Dua puluh kali lebih kecil  dari   ukuran   semula.   Namun   menghilangnya
tanda silang yang diletakkan di dasar tabung−karena tertutup endapan belerang, masih dapat diamati.
“Sama sekali tidak menyulitkan Pak! Perubahan- nya pun dapat diamati dengan jelas.” Tari menjawab pertanyaan pak Deri dengan sangat percaya diri.
Pertanyaan berikutnya berlangsung dengan sangat alot. Jawaban yang Tari berikan selalu melenceng dari harapan pak Deri. Setelah agak lama berjibaku dengan pertanyaan tersebut, Tari pun menyerah.
“Maaf pak, tapi saya tidak mengerti apa pertanyaan bapak…” akhirnya Tari mengungkapkan penyebab berbelit-belitnya jawaban yang ia berikan. Tari tak ingin dianggap tidak becus menjawab pertanyaan. Dengan resiko, pak Deri akan merasa tidak nyaman atas sikapnya.
Namun Tari mengambil resiko itu. Syukurlah pak Deri berlapang dada atas pernyataannya. Pak Deri mengakhiri pengujiannya dengan tersenyum.
Mudah-mudahan kejadian ini tidak mempengaruhi nilai sidangku. Bisik Tari dalam hati.
Selanjutnya, Tari harus berhadapan dengan bu Yani. Bu Yani merupakan pembantai bagi para mahasiswa. Selain daya analisisnya yang tajam, ia mempunyai kepribadian yang kuat. Tegas, disiplin, dan objektif menjadi ciri khasnya.
Namun, berhadapan dengan bu Yani tidak membuat Tari gentar. Tari bersama dengannya selama tiga semester. Satu semester untuk kuliah regular. Satu semester untuk mengulang kuliah di kelasnya–Tari mendapat nilai D darinya dan  mengulang kuliah untuk mendapat A. Satu semester lagi karena bu Yani menjadi pembimbing seminar kimia. Jadi, sedikit banyak Tari memahami karakter bu Yani.
“Penelitian anda adalah praktikum skala kecil, namun apakah benar massa bahan-bahan yang anda gunakan memenuhi batasan yang telah ditentukan? dalam  prosedur yang anda buat, digunakan satuan volum. Bila larutannya pekat, volum sedikit pun massanya bisa besar, kan?“ mata bu Yani yang setajam elang menatap Tari dingin.
“Saya sudah menghitung semuanya Bu. Massanya memenuhi syarat dalam praktikum skala kecil.”
Bu Yani mengangguk-angguk. Mimiknya datar tanpa ekspresi. Itu yang sering membuat para mahasiswa merinding.
“Kalau begitu, nanti anda tuliskan perbandingan massa yang digunakan dalam praktikum makro dan skala kecilnya!”
“Baik Bu!” Tari mengiyakan usulan bu Yani.
Masih tanpa ekspresi, bu Yani melanjutkan pertanyaan. “Menurut anda, bagaiman cara menentukan hukum laju reaksi?”
Tari sudah menduga bu Yani akan menanyakan ini. Kemarin Tari menghabiskan waktu seharian untuk memprediksi pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontar- kan para penguji.
Karena sebelumnya Tari sudah dibimbing oleh bu Yani, ia jadi tahu gaya berpikir bu Yani. Bu Yani selalu menanyakan bagaimana istilah-istilah yang ditulis dalam makalah bisa didapat. Entah tentang percobaannya maupun penurunan rumusnya.
Tari tersenyum. Hambar. Terbayang penurunan rumus yang harus ia tuliskan. Banyak sekali.
“Saya tuliskan bu?” Sebenarnya Tari menginginkan jawaban tidak dari bu Yani.
“Iya. Silahkan!” Bu Yani mengulum senyum.
 “Di bor Bu?” Tingkah Tari sedikit kikuk. Harapan- nya meleset.
Bu Yani mengangguk. Senyumnya semakin lebar. Senyum kemenangan.
Eit…aku belum kalah! Seru Tari dalam hati.
Semalam Tari sudah belajar penurunan rumus hukum laju. Amunisiku cukup lengkap kok! Seru Tari lagi. Masih dalam hati.
Perlahan Tari mendekati green board.  Papan tulis berwarna hijau. Ia mengambil kapur yang tegeletak di dalam penampung debu papan tulis. Tari sempat melirik dosen pembimbingnya. Pak Yana tampak harap-harap cemas. Mereka tidak pernah membahas pertanyaan ini selama bimbingan.
Bismillah! Perlahan Tari menorehkan kapur di atas papan tulis. Hurup demi hurup ia tuliskan. Hampir habis setengah papan tulis, tapi penurunan rumus belum juga selesai.
“Ya, waktunya habis!” suara pak Yana sedikit mengagetkan Tari. Sudah berakhir? Tanya Tari dalam hati. Cepat sekali satu jam berlalu. Tari berbalik. Kembali menghadap kepada para dosen. Tari tak kuasa mem- bendung senyum.
Save by the bell!” seru bu Yani sambil tersenyum. Tari mengangguk. Ada rasa yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Senang dan haru campur aduk menjadi satu.
Pak Yana lantas menyuruh Tari duduk di hadapan para dosen. Mereka akan mendiskusikan perbaikan draf skripsi.
“Saya bingung dengan daftar pustaka yang anda buat. Di dalam skripsi dituliskan tahun 1996, tapi di daftar pustakanya tahun 2000. Mana yang benar? Banyak yang seperti itu.” Bu Yani membuka diskusi.
Tari kaget bukan kepalang mendengar perkataan bu Yani. Eni berbaik hati menawarkan jasanya untuk membuatkan daftar pustaka untuknya. Mungkin Eni ingin membantu meringankan pekerjaannya. Pasalnya Tari tidak memiliki komputer sendiri. Sehingga ia harus “bergentayangan” dari rental komputer yang satu ke rental yang lain.
Lebih parahnya lagi, draf skripsi mereka baru disetujui oleh pak Yana seminggu yang lalu. Banyak perbaikan yang harus dilakukan. Padahal draf sudah harus diberikan kepada para penguji tiga hari sebelum sidang.
Karena fokus penelitian skripsi mereka sama-sama praktikum skala kecil, buku yang mereka pakai pun sama. Jadi Tari tidak memeriksa kembali daftar pustaka yang dibuat Eni. Ternyata, buku yang mereka pakai berbeda edisi. Sehingga tahun pembuatannya pun berbeda.
Sebelum menjawab, Tari mengumpulkan keberani- an untuk berterus terang. Tari menarik napas dalam.
“Saya nge-print daftar pustaka teman saya Bu…” jawaban Tari mengambang. Ia menunggu reaksi para dosen.
Para dosen serentak tersenyum sesaat setelah mendengar jawaban jujur Tari. Sementara bu Yani hanya menggelengkan kepalanya.
Di saat yang penting, bisa-bisanya Tari melakukan kekonyolan semacam itu.
“Nanti diperbaiki ya!” akhirnya bu Yani ikut tersenyum juga. Tari merasa sangat lega.
Terjadi sedikit diskusi mengenai perbaikan draf skripsi. Tari lalu diusir secara halus oleh pak Yana.
Setelah membereskan transparansi dan meng-ambil draf skripsi dari para dosen, Tari pun segera berlalu dari ruang sidang.
Tari tak melihat seorang teman pun di lantai lima ini. Ia mempercepat langkah, Tari ingin cepat sampai di kosan Neti. Tari akan menunggu tibanya waktu peng- umuman kelulusan di sana. Pengumuman dilangsungkan di jurusan kimia nanti sore.
Baru beberapa langkah keluar dari lift, Ahmad dan Erdi sudah menyapa Tari. Baru sebentar berbincang, pak Adi datang menghampiri mereka.
“Penampilan kamu tadi bagus!” puji pak Adi tulus. Pak Adi jarang sekali memuji mahasiswanya. Pujian itu membuat Tari senang bukan kepalang.
“Oh? Terima kasih Pak!” Tari dibuat salah tingkah karenanya. Pak Adi melemparkan senyum manisnya sambil mengangguk dan ia pun berlalu.
“Wah! Hebat Tari!” komentar Erdi. Tari hanya bisa tersenyum menanggapi pujian Erdi. Tari tak pandai menerima pujian. Lagipula ia merasa semuanya bisa berjalan lancar berkat pertolongan Alloh. Bukan semata- mata usahanya sendiri. Setelah berpamitan kepada keduanya, Tari bergegas meneruskan perjalanan.
Ketika pengumuman kelulusan tiba, Tari tak dapat membendung air matanya. Setelah semua yang ia alami, akhirnya Tari bisa lulus juga. Tari lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Tidak terlalu buruk mengingat segala hal yang telah ia lalui selama berkuliah di kampus ini.









Salon Umi

Pagi-pagi benar Tari sudah terduduk di depan meja belajar. Lip stick merah muda, pelembab wajah, bedak, dan eye liner tergeletak di atasnya.
Sekali lagi Tari lihat wajahnya di cermin. Tari tertawa dalam hati. Bibirnya yang senantiasa pucat kini terpulas Lip stick merah muda. Matanya yang sipit sedikit terlihat lebih besar karena efek eye liner yang ia pakai.
Hari ini Tari diwisuda. Sehingga ia “menempelkan” sedikit make up di wajahnya. Teman-teman Tari mungkin sekarang sedang melakukan hal yang sama juga. Bahkan mungkin mereka menyengajakan diri pergi ke salon.
Minimal, meminta bantuan saudaranya untuk mempercantik wajah mereka. Tari memutuskan melakukannya sendiri saja. Bahkan tanpa bantuan mama. Tari berdandan di salon umi–salon  milik ibu sendiri, begitu kata mama kepada Tari. Semua perlengkapan make up memang milik mama. Hanya pelembab saja yang merupakan kepunyaan Tari.
Tari mengambil posisi berdiri. Dipakainya kain milik mama. Lalu ia kenakan kerudung yang baru dibeli minggu kemarin. Tak ada kemewahan dalam pakaiannya. Bahkan Tari tak memakai kebaya. Hanya blus putih.
Akhirnya aku lulus juga. Gumam Tari dalam hati. Bapak bekerja keras banting tulang untuk memberi anak- anaknya pendidikan yang tinggi. Selain itu, bapak selalu berusaha untuk memberi penghidupan yang layak: rumah tempat bernaung, makanan enak yang bergizi, serta pakaian yang pantas.
Bapak tidak mempunyai pangkat tinggi. Bapak hanya lulusan SMP. Namun Tari yakin, dibandingkan dengan kebanyakan teman-temannya, kehidupan ke- luarga bapak lebih baik. Mungkin jauh lebih baik.
Siang hari bapak bekerja sampai jam dua–namun belakangan jadi jam empat. Setelah tidur siang sebentar, bapak dibantu mama, Tari, dan kedua saudaranya menyiapkan benda-benda filateli yang hendak dijual. Mulai dari perangko mint, sampai perangko used, SHP, booklet, souvenir sheet, kartu pos, cap pos, sampai katalog perangko. Pokoknya apapun yang laku di pasaran, tersedia di rumah mereka.
Bapak mendapat barang dagangan dari para kolektor yang menjual koleksinya kepada bapak. Selain itu, ada juga yang didapat dari sesama pedagang. Bahkan kadang-kadang, bapak mendapatkan barang dari tukang loak. Demi memburu benda filateli, tak jarang bapak harus keluar rumah di malam hari.
Pedagang filateli hanya menyediakan benda filateli yang sudah tidak lagi dijual di kantor pos. Biasanya, benda-benda filateli yang habis masa berlakunya akan ditarik dari peredaran. Benda-benda seperti itulah yang menjadi buruan para kolektor.
Harga benda filateli mengacu pada katalog. Namun seringkali tidak sepenuhnya sama dengan harga yang tertera dalam katalog. Harga sebenarnya hanya beberapa persennya saja. Kebanyakan bergantung pada melimpah atau tidaknya benda tersebut di pasaran. Benda filateli yang melimpah tidak berharga mahal walaupun benda tersebut sudah berumur tua.
Bisnis filateli telah menjadi urat nadi perekonomian keluarga Tari selama hampir tiga puluh tahun. Namun, seiring berjalannya waktu, bisnis ini jadi tak semanis dulu. Bapak tersisih dari kancah persaingan. Para pedagang tidak lagi menjual dan membeli barang kepada bapak. Bahkan ada juga yang menjegal pembeli di tengah jalan. Padahal beberapa pedagang adalah “murid” bapak. Ternyata bisnis tak mengenal kata “teman”.
Bapak pernah mengalami kejayaan dalam bisnis ini. Bahkan setelah bapak pensiun, selama beberapa waktu ia mempunyai counter di pusat kota. Namun, tak lama kemudian, bapak terlempar ke jalanan.
Kini bapak berjualan di kaki lima. Di atas mobil tua. Tua, bukan antik. Bapak berjualan di seberang sebuah kantor−tempatnya dulu bekerja.
Setelah merasa semuanya OK, Tari pun keluar kamar. Bapak, mama, dan si kecil Iik sudah bersiap. Mereka yang akan mengantar Tari menghadiri acara wisuda. Sebenarnya Tari tidak terlalu senang datang ke acara perayaan-perayaan seperti ini. Tapi, ini adalah wisudanya, tidak lucu bila Tari tidak menghadirinya.
                                                                                                                                                                 




Kejar Daku Kau Kujitak!

Tari melangkah pelan menuju toilet. Ia tak bisa bergegas. Kain yang dipakainya tidak memberikan ruang yang cukup untuk melangkah lebar.
Hmp! Sampai juga di toilet. Gumam Tari dalam hati. Ia merasa geraknya sangat terbatas. Seharian ini ia harus berpakaian layaknya mojang priangan.
Tari mengeluarkan sebuah tube berwarna merah muda dari tas kecilnya. Setelah mengeluarkan isinya sebuku jari, ia pun membusakan sabun muka tersebut. Lalu ia mencuci wajahnya.
Setelah pekerjaan mencuci muka selesai, Tari berganti pakaian. Pakaian adat berubah menjadi pakaian mengajar. Di hari wisudanya, ia tidak mengambil “cuti”. Hari ini ada jadwal mengajar privat di Antapani. Kakak beradik sekaligus. Sebelum keluar dari toilet, Tari memastikan tiada lagi riasan di wajahnya.
Keluarga Tari sudah pulang lebih dulu. Tari akan memakai  angkot  ke  rumah  muridnya.   Sekarang  tangan
kiri kanan Tari penuh dengan bawaan. Toga dan baju adat memenuhi tas plastik yang dibawanya dari rumah. Ia pun bergegas menuju jalan raya.
Seharusnya pakaian ini dititipkan saja di mobil bapak. Tentunya sekarang ia tidak harus kerepotan sendiri. Kadang-kadang ide memang datangnya ter- lambat. Keluh Tari dalam hati.
Bicara tentang terlambat, Tari pun terlambat menyadari bahwa Lia–yang pernah melabraknya, tidak suka bila ia berbicara dengan Ahmad. Sementara tadi, ia dan Ahmad asyik mengobrolkan aktifitas yang sedang dan akan mereka jalani nanti. Mereka sebenarnya tidak meng- obrol sendiri. Ada Lia juga di sana. Namun Lia lebih banyak diam.
Masya Alloh! Jangan-jangan sepulang wisuda akan terjadi perang bintang di antara dua sejoli itu: piring terbang, gelas melayang? Tari tersenyum kecil mem- bayangkannya. Kok bisa ia sampai lupa kalau Lia pernah mengobarkan perang kepadanya? Pantas saja selama mengobrol Lia tampak sedikit kesal.
“Pulang?” suara seseorang yang amat dikenalnya mengagetkan Tari. Serta merta Tari menghentikan langkahnya.
Ups! Hatori! Teriak Tari dalam hati. Hatori bukanlah nama sesungguhnya. Itu adalah julukan yang diberikan Leni pada kakak kelasnya itu. Umur Hatori terpaut sekitar lima tahun di atas umur Tari. Hatori berbeda jurusan dengan Tari. Entah apa yang mendasari Leni memberikan julukan seperti itu. Hatori adalah tokoh ninja dalam sebuah film serial kartun. Mungkin karena ukuran tubuhnya yang sama-sama mungil sehingga Leni menyebutnya demikian. Atau karena akhiran namanya adalah “ri”?
“Oh? Iya…” jawab Tari sekenanya. Ia mencoba mengemas rasa kagetnya dalam hati. Ia lalu meneruskan langkah yang terhenti. Ia seolah tak menghiraukan keberadaan Hatori.
“Boleh Ikut?” Hatori mengikuti langkah Tari.
“Enggak!” Tari serius dengan ucapannya. Mimiknya datar. Tanpa sesungging senyum pun di wajahnya. Masih terbayang kejadian tempo hari. Hatori tiba-tiba muncul di sekolah tempat Tari PPL. Hal itu membuatnya trauma. Jadi ia tak mau berlaku manis. Ia tak mau memberi kesan bahwa ia memberi peluang kepada Hatori untuk mendekatinya. Moto Tari adalah: kejar daku kau kujitak.
Ternyata hal yang ditakutkan Tari benar-benar terjadi. Hatori terus mengikutinya sampai tempat pemberhentian angkot.
Tari kembali menghentikan langkahnya. Pan- dangan mata Tari menajam. Setajam belati. Tari seperti ingin merobek-robek sosok di hadapannya dengan pandangannya. Telunjuk kanan Tari teracung. Sementara tangan kirinya menggantikan tugas tangan kanan membawa tas plastik.
“Pergi!” dalam teks komik, akan ada lima tanda seru dalam perkataan Tari. Sebagai penegas kesungguhan ucapannya. Tari tidak suka dipaksa.
“Tidak, saya tidak akan pergi. Saya ingin ketemu orang tua Tari. Saya ingin tahu pendapat mereka tentang lamaran saya!” Hatori terdiam sejenak.
“Ini saat terakhir untuk melakukan itu. Mungkin kita ga pernah ketemu lagi.” Hatori pernah mengutarakan maksudnya menikahi Tari. Tari menolaknya mentah- mentah. Namun Hatori begitu gigih berjuang men- dapatkan cinta Tari. Bahkan terkesan agresif.
“Orang tua saya menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk memilih jodoh kepada saya.” Nada bicara Tari tegas. Ada penekanan pada beberapa suku kata.
“Lagipula, sekarang saya ga akan langsung pulang, saya akan ngajar dulu!” Tari menjadi sangat emosi. Ia merasa keputusannya tidak dihargai oleh Hatori. Sampai- sampai Hatori mau datang langsung kepada orang tuanya. Mengabaikan penolakannya.
Bagi Tari pernikahan bukan melulu urusan cinta. Ia lebih menginginkan suami yang memiliki prinsip hidup yang sama. Bersedia menyetujui keyakinan yang ia miliki dan mendukung semua kegiatan yang ia lakukan. Ia tak mendapati hal tersebut pada diri Hatori.
Kalau saja Hatori sekarang berlutut di hadapannya dan membawa sekeranjang bunga sekalipun, hal itu tak akan mengubah apa-apa. Apapun yang akan dilakukan Hatori, tak akan membuat Tari bergeming dari keputusannya. Yang ia inginkan hanyalah Hatori berhenti mengejarnya.
Hatori tidak tahu berhadapan dengan siapa. Ia tidak tahu betapa mengerikannya dirinya. Tari bukan  tipe wanita lemah lembut yang bisa mengemas kata ketika menyampaikan penolakan. Jadi Tari tak ingin terus- terusan bersitegang dengan Hatori. Ia tak ingin menyakiti hati siapa pun.
Tari bersitegang cukup lama dengan Hatori. Setelah merasa sia-sia berbicara dengannya, Tari berlalu. Ia menyetop angkot yang lewat di hadapannya. Tanpa basa-basi ia langsung naik. Hatori mengikutinya, menum-  pang angkot yang sama.
Ketika harus berhenti dan berganti tumpangan dengan ojeg, Tari  tetap  tidak  mengindahkan keberadaan
Hatori. Sesampainya di depan sebuah rumah besar, Tari menghentikan ojeg yang ditumpanginya. Begitupun Hatori.
Tari memijit bel di balik pintu gerbang yang tinggi. Sejurus kemudian, datang seorang anak lelaki.
“Eh, Bu!” sang anak menyapanya sambil membuka kunci gembok.
“Assalamualaikum!” Tari mengucap salam.
“Waalaikum salam…” gerbang dibuka oleh sang anak.
“Maaf terlambat ya! Tadi ada halangan.” Tari tersenyum. Manis.
“Ga apa-apa. Masuk Bu!” si anak mempersilahkan Tari ke dalam. Ia mendahului Tari berjalan menyusuri pekarangan yang digunakan sebagai garasi.
Sebelum masuk, Tari berbalik. Hatori berdiri mematung di belakangnya. Seolah sedang memikirkan langkah apa yang akan diambilnya.
“Akang yang pergi atau saya yang pulang?” Tari menatap Hatori tajam. Sikap Tari dingin. Membekukan partikel udara di sekitarnya.
“Biar saya yang pulang.” Hatori pun menyerah dan berlalu pergi. Ia tak punya pilihan lain.
Betul kata Hatori, setelah kejadian itu mereka tak pernah bertemu lagi.









Tuna Nurani

Tari baru saja beranjak sekitar sepuluh langkah dari mobil bapak ketika ia tak sengaja mendengar perbincang- an para calo dan seorang pedagang koran.
“Kata kita mah, minta ganti rugi ajah. Ngapain kayak gitu!” seru salah seorang di antara mereka sambil menunjuk ke arah mobil yang terjebak di jalanan yang macet. Cicaheum selalu macet pada jam-jam berangkat sekolah dan kerja, serta pada jam-jam pulang keduanya. Volum kendaraan yang semakin banyak di jam-jam tersebut ditambah keluar masuk bus dari dan ke terminal menyebabkan kemacetan panjang.
Mereka tidak tahu Tari adalah anak pengendara mobil yang mereka bicarakan. Di pintu belakang mobil bapak tertulis KORBAN DAMRI. Tidak lupa dicantumkan plat nomor bus tersebut. Mobil bapak terserempet bus Damri beberapa waktu yang lalu. Sudah tahu me- nyerempet, si sopir tidak mencoba menghentikan laju busnya, malah meneruskan aksi ugal-ugalannya.
Alhasil, pintu sebelah kiri mobil bapak penyok. Setelah sedikit bersitegang di jalan, bapak meminta alamat si sopir. Ketika datang ke rumahnya, bapak mendapati manusia yang tidak layak disebut manusia. Ketika ditanya alasan kenapa ia tidak menghentikan laju bisnya, dengan ringan ia mengatakan. “Mobil tua ini…” si sopir mengejek mobil bapak. Padahal mungkin ia tidak mempunyai mobil sama sekali. Rumahnya pun tidak bisa disebut bagus. Rumahnya terletak di gang yang sangat sempit. Bagaimana bisa ia berlagak sombong seperti itu?
Setelah itu si sopir menyarankan agar bapak menghubungi kantor Damri. Pihak kantor Damri sebenarnya akan mengganti kerusakan mobil bapak. Tapi bapak menolak. Entah apa yang ada di pikiran bapak saat itu. Padahal perbaikan mobil menelan biaya yang cukup besar.
Tari pun berlalu diam-diam meninggalkan mereka yang masih terus menjelek-jelekkan pengendara Carry abu-abu. Tari menghela napas. Apakah mereka tak sadar, dalam kejadian itu, keselamatan bapak yang jadi taruhannya? Mobil tua lawan bus Damri bukanlah pertarungan yang seimbang. Apakah sebuah kecelakaan adalah hal yang wajar bagi mereka sehingga dengan uang semuanya bisa jadi beres? Di mana nurani mereka semua berada?
Tari terus berjalan menjauhi mereka. Ia baru berhenti setelah berada sekitar dua puluh meter dari posisi mereka. Sampai sosok orang-orang yang tuna nurani itu terhalang oleh kios-kios sepanjang terminal.





Bahasa Golok

Puih! Jalanan Bandung di sore hari macet sekali! Keluh Tari dalam hati.
Terlebih, ia kini berada di terminal Cicaheum. Mobil, motor, bus DAMRI, bus antar kota, semuanya merayap pelan di atas aspal. Sesekali terlihat kepulan asap hitam pekat yang berasal dari knalpot bus DAMRI.
Seiring dengan semakin membengkaknya jumlah motor dan mobil pribadi, kemacetan di kota Bandung semakin parah. Seiring dengan itu pula, perlahan tapi pasti, angkutan umum kehilangan penumpang.
Sambil menutup hidung dengan sapu tangan handuk, Tari menyusuri trotoar sepanjang terminal. Ia harus berjalan dengan hati-hati karena ia tak bisa leluasa bergerak. Sesekali ia harus menghentikan langkah. Guna menghindari tabrakan dengan pejalan kaki yang lain atau dengan para calo.
Seperti biasa, Tari akan berjalan tegap sambil memusatkan pandangannya ke  arah  depan.  Namun tiba-
tiba, mata kecil Tari menangkap kilauan cahaya yang berkelebat ke arah atas. Hanya berjarak beberapa langkah dari posisinya sekarang. Ia mengikuti kilauan cahaya itu dengan indera penglihatnya sambil terus berjalan. Sebuah benda tipis panjang teracung di udara.
Sebelum sempat mengenali benda yang dilihatnya, Tari sudah mengalihkan pandangan ke arah depan sambil terus berlalu. Dahi Tari berkerut-kerut. Ia mencoba mencerna penggalan kejadian yang dialaminya.
Baru saja Tari beranjak sekitar tiga atau empat langkah dari sosok yang mengacungkan benda aneh tersebut, Tari dikejutkan oleh teriakan seorang ibu yeng berada beberapa langkah di hadapan Tari.
“Aaaa… Itu! Itu!” sang ibu menunjuk ke arah Tari datang. Dengan serta merta Tari berbalik dan mencoba mengikuti arah telunjuk si ibu.
Seketika sekujur tubuh Tari terasa kaku. Mulutnya ternganga. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tari melihat seorang lelaki tambun berkepala plontos duduk berselonjor kaki di depan sebuah kios. Tubuhnya ber- sandar pada sekeranjang buah-buahan. Tangan si lelaki memegangi leher. Dari sela-sela jemari merembes cairan berwarna merah. Darah segar.
Di hadapan si lelaki berdiri lelaki lain yang memegang benda tipis panjang. Samurai.
Si ibu yang tadi berteriak kini merangsek ke depan. Hendak mendekati kedua lelaki tersebut. Secara refleks, Tari menangkap si ibu dan memeluknya. Tari lalu menyeret si ibu menjauh. Tubuh si ibu sedikit gemetar.
“Ibu pulang! Ibu pulang!” seru Tari.
Sambil terus memeluk tubuh si ibu, Tari memandang berkeliling. Sore itu tidak polisi berjaga di terminal. Sementara orang-orang di sekitar tempat itu tak
ada yang berani mendekat. Terlalu berbahaya. Setelah si ibu cukup tenang, Tari melepaskan pelukannya.
“Pulang bu…” bujuk Tari. Si ibu hanya me- mandangi wajah Tari. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya.
Tari lalu mencegat angkot yang mendekati trotoar. Tanpa pikir panjang, Tari langsung meloncat ke dalam angkot.
Setelah beberapa menit, Tari baru menyadari kalau ia pun gemetar, detak jantungnya tak beraturan, tubuhnya lemas. Ia menghela napas panjang beberapa kali. Menenangkan diri.
Apa yang sedang terjadi pada masyarkat ini? Tanya Tari dalam hati. Ia tak habis pikir. Apakah bahasa verbal sudah tidak ampuh lagi untuk menyelesaikan segala permasalahan? Sehingga digunakan bahasa golok untuk mengambil alih bahasa verbal? Sepanjang perjalanan pulang, Tari sibuk dengan pikirannya sendiri.
















Potret Kemiskinan

Hmp! Panas sekali siang ini. Keluh Tari  dalam hati. Rasanya semakin hari cuaca di kota kembang ini semakin tidak bersahabat. Keadaannya jauh berbeda dengan sepuluh tahun ke belakang. Dulu, Bandung sangatlah sejuk. Di rumahnya yang terletak di dataran rendah saja masih sering terlihat kabut di pagi hari. Hari baru akan terasa panas bila jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tapi tak pernah sepanas ini.
“Kiri!!!” Tari  memberhentikan laju angkot yang ditumpanginya. Lalu bergegas turun dan membayar ongkos.
Tari memandang berkeliling. Hanya jajaran pertokoan dalam sapuan matanya. Ia sedang memastikan apakah ia berhenti di tempat yang benar. Oh, iya, itu dia gang dia cari.
Setelah memastikan keadaan aman, Tari  segera menyebrang jalan. Ia lalu memasuki salah satu gang yang cukup besar. Gang itu bisa dilalui oleh sebuah mobil.
Beberapa meter dari jalan raya, gang mulai terlihat menyempit. Hanya bisa dilalui becak. Setelah sekitar lima menit berjalan, gang kembali menyempit. Kali ini hanya bisa dilalui oleh motor.
Ia terus menyusuri gang sempit itu. Keadaan mulai tak nyaman. Di sisi kiri kanan gang bertebaran sampah. Bekas pembungkus jajanan anak-anak.
Tari melirik jam di tangan kirinya. Sudah setengah empat. Ia belum sempat solat Asar. Tari pun bergegas. Ia mempercepat langkah. Tak berapa lama, ia pun sampai di tempat tujuan.
Ia terdampar di tempat ini karena permintaan dari guru bahasa Arabnya. Kang Epul. Ia akan mengadakan Bimbel di kampungnya. Dibutuhkan beberapa guru untuk mengajar di sana.
Tari tidak sendiri. Ia bersama tiga orang lainnya akan mengajar di sana. Tari dan ketiga pengajar yang lain melakukan pembagian tugas. Sesuai dengan jurusan yang diambil Tari sewaktu kuliah, ia mengajar Kimia. Pengajar yang lain mengajar Matematika, Fisika, dan bahasa Inggris.
Ijab qobul antara para pengajar dengan pengurus masjid adalah: semua kegiatan yang dilakukan bersifat sukarela. Tidak ada imbalan yang diterima oleh para pengajar.
Tari tak enak hati menolak permintaan tersebut. Pasalnya, ia berhutang budi kepada kang Epul dan teman- temannya. Hampir setahun ini ia belajar bahasa Arab kepada mereka. Gratis!
Awalnya, a Wisnu yang menggagas diadakannya kursus bahasa Arab di masjid al-Ikhlas. Pada awal kesepakatan, para peserta kursus diwajibkan membayar iuran bulanan.  Namun,  wacana  uang  bulanan  itu  seolah menguap entah ke mana. Sampai detik ini Tari tak pernah membayar sepeser pun.
Mulanya peserta kursus ada sekitar empat belas orang. Tapi dari hari ke hari jumlahnya semakin menyusut. Bahkan sekarang hanya empat orang yang tersisa. Mereka belajar dua kali seminggu. Hari Rabu dan Minggu. Rabu mereka belajar di malam hari. Selepas Isya. Sedang di hari Minggu mereka bisa belajar pada pagi hari. Jam delapan. Tari mulai belajar bahasa Arab pada semester akhir perkuliahannya.
Tari memandang masjid dihadapannya. Bangunan masjid yang terletak di pemukiman padat penduduk tersebut tampak lebih tinggi dari bangunan yang lainnya. Begitu pula dengan madrasah yang terletak di seberang masjid. Walau tidak setinggi masjid, bangunan madrasah pun lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk di sekitar- nya. Masjid dan madrasah terpisah oleh lahan kosong.
Menurut salah seorang muridnya, pemukiman itu kerap diterjang banjir. Banjir terparah bahkan bisa men- capai ketinggian pinggang orang dewasa.
Pemukiman itu dilalui oleh sebuah sungai kecil. Sungai tersebut sangat dangkal. Sisi kiri kanannya dipenuhi sampah. Air di dalamnya hitam pekat dan mengeluarkan aroma tak sedap.
Tari tidak langsung ke masjid. Ia hendak ke kamar mandi. Sejenak ia kebingungan. Ia baru tahu letak kamar mandi setelah ditunjukkan oleh seorang anak kecil.
Ada tiga kamar mandi berjajar di sana. Dengan sebuah sumur di sebelah kamar mandi paling kanan. Lengkap dengan katrol untuk menimba air dari dalam sumur. Bukan hanya Tari yang berada di sana. Ada beberapa orang yang juga hendak mempergunakan kamar mandi.
Ada yang membawa peralatan mandi, ada yang membawa cucian, ada juga yang tidak membawa apa-apa.
Ini kamar mandi umum ya? Berapa orang yang mempergunakannya? Berapa rumah yang tidak memiliki kamar mandi? Tari bertanya-tanya dalam hati.
“Neng, mau ke kamar mandi?” seorang bapak yang sedang memegang tali katrol bertanya kepada Tari.
“Oh? Eh? Iya! Iya!” Tari gelagapan. Ia terlalu sibuk dengan hatinya. Ia tak menyangka akan ada orang yang menegurnya. Ternyata ada kamar mandi yang baru saja kosong.
“Masuk aja! Biar airnya saya yang narik!” sang bapak menawarkan jasa.
“Ah, ga usah Pak! Biar saya aja!” Tari tak enak hati bila harus merepotkan orang lain. Lagipula, ia pun tahu caranya menimba air kok!
“Ga apa-apa Neng! Masuk aja!” sang bapak mulai menarik air dari dalam sumur.
Tari tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak mungkin berlama-lama menolak tawaran sang bapak. Antrian sudah memanjang.
Nuhun atuh Pak!” akhirnya Tari mengalah dan masuk ke dalam kamar mandi.
Selepas solat, Tari masih terdiam di dalam masjid. Ia menunggu murid-muridnya datang.
“Assalamualaikum!”
“Assalamualaikum!” Ada sekitar empat anak perempuan menyeruak masuk ke dalam masjid sambil mengucap salam. Mereka lalu mendekati Tari malu-malu.
“Waalaikum salam!” Tari menjawab salam mereka sambil tersenyum.
Lalu, satu per satu anak-anak itu menyalami dan mencium tangan Tari.
 “Eh, tangannya harum!” seru anak yang terakhir menyalami Tari.
“Mana?”
“Mana?” teman-temannya berebut meraih tangan Tari. Berusaha menciumnya kembali.
“Iya harum!” teman-temannya mengiyakan. Tari terhenyak. Baru kali ini ada yang mengatakan hand and body lotion yang dipakainya harum. Padahal ia memakai lotion dengan parfum yang sangat lembut. Tari tak tahan dengan wewangian yang tajam. Ia akan segera disergap pusing bila mencium wewangian seperti itu. Lagipula lotion-nya sudah terbasuh air wudhu.
Tari jadi tertarik untuk mengamati penampilan anak-anak tersebut. Pakaian yang mereka kenakan sudah tidak jelas lagi corak dan warnanya. Sudah pudar. Warna kulit mereka menghitam terbakar sinar sang surya. Rambut-rambut jagung mereka pun bau matahari. Tak heran bila wewangian menjadi barang mewah di sini.
“Teh, kata teh Ani belajarnya di madrasah aja.” Salah seorang anak membawa kabar.
“Oh gitu? Makasih ya!” Tari lalu melipat mukenah yang baru saja dipakainya solat. Diraihnya tas yang berada di depan tempatnya bersujud.
Tas Tari layaknya kantong Doraemon. Segala ada. Ada bekal minum, makan siang, payung, serta kaos kaki ganti. Kalau saja jaket bisa muat ke dalam tas, sudah pasti dimasukkan juga. Namun Tari hanya bisa menjinjing jaketnya.
Ketika hendak memasukkan mukenah ke dalam tas, seorang anak mencegahnya.
“Teh, mukenahnya biar saya yang bawa!” pinta- nya. Sejenak Tari tertegun. Heran. Lalu ia tersenyum dan mengabulkan permintaan sang anak.
“Boleh!” kata Tari sambil menyerahkan mukenahnya kepada si anak. Si anak langsung mencium  mukenah yang diterimanya.
“Harum!” serunya. Demi melihat kelakuan si pembawa mukenah, anak yang lain berebut mengambil alas sujud yang dipakai Tari. Anak yang mendapatkannya meminta izin untuk membawa alas sujud tersebut. Si anak pun langsung mencium alas sujud yang didapatnya. Ia mengatakan bila alas sujud tersebut juga harum. Anak-anak yang tidak mendapat apa-apa celingukan.
“Saya bawa tasnya aja!” seru seorang anak.
“Saya pegang tangannya aja!” si anak pun langsung menciumi tangan Tari.
Tari lalu bangkit dari duduknya. Ada rasa tak nyaman di hati Tari. Seperti ada yang mengiris hatinya. Pedih.
Tempat ini hanya berjarak ratusan meter dari jalan raya. Tempat hiruk pikuk perdagangan di toko-toko berlangsung. Tapi kondisi tempat ini sangat meng- hawatirkan.
Berlima mereka menuju madrasah. Bergerombol. Sesampainya di madrasah, semua barang Tari dikembalikan.
Tari tidak lama mengajar Bimbel di sana. Pengurus masjid yang memberhentikan kegiatannya. Katanya mereka tidak punya dana lagi untuk membayar Tari.
Walau kesepakatan awal adalah guru yang mengajar di sana sukarela, namun Tari tetap diberi “uang transpor”. Cukup untuk ongkos bolak-balik rumah-madrasah.
Padahal Tari sudah mengatakan bahwa tak dibayar pun ia masih tetap mau mengajar. Karena ia sudah terikat ijab qobul awal. Namun pengurus masjid berkeras  dengan
dalih Tari pergi ke sana pun memerlukan ongkos. Rumah Tari memang cukup jauh dari tempatnya mengajar.
Sebenarnya, yang akhirnya benar-benar mengajar di sana hanyalah Tari. Selain mengajar kimia, ia pun merangkap mengajar matematika dan bahasa Inggris. Pengajar yang lain menghilang bahkan sejak pertemuan kedua.
Setelah berhenti mengajar di Bimbel, Tari pun tidak dapat meneruskan kursus bahasa Arabnya. Murid yang tersisa hanya ia seorang. Tak mungkin ia belajar bahasa Arab sendiri, karena gurunya adalah laki-laki.
Beberapa bulan setelah itu, Tari mendapat kabar bahwa kakak Ani–salah  seorang muridnya, meninggal karena penyakit paru-paru yang dideritanya.
Tari pernah satu atau dua kali berkunjung ke rumah Ani. Rumahnya terletak di belakang madrasah. Di gang yang sangat sempit, hanya bisa dilalui sepeda saja. Sebelum memasuki rumah, Tari harus melalui tanggul tembok setinggi lutut.
Rumah Ani tidak bisa disebut besar. Hanya terdiri dari tiga ruangan kecil dan sebuah ruangan yang agak luas yang dijadikan dapur dan kamar mandi sekaligus. Ruang tamu dan ruang makan hanyalah sebuah ruangan yang disekat lemari. Tak ada kursi, apalagi meja. Ruang itu hanya bisa memuat empat orang saja. Itu pun harus duduk berdempetan. Terdapat dua kamar tidur di rumah tersebut.
Sirkulasi udaranya sangat buruk. Sinar matahari bahkan tak dapat menerobos ruang-ruang dalam rumah. Kamar-kamar dibiarkan gelap tanpa ventilasi yang memadai. Terjangan banjir menyisakan lembab yang kentara. Mungkin ini yang menjadi penyebab penyakit bisa bersarang di sana.
Ironis. Tari harus melihat potret kemiskinan di tengah derap pembangunan yang semakin laju. Di Paris van Java ini, mall-mall baru terus bermunculan. Belum lagi resto dan kafé yang semakin menjamur. Memperlengkap daftar kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dunia macam apa yang didiaminya kini?




























Ujung Tombak

“Ada murid, kelas tiga. Minta pemantapan buat Ujian Nasional.” Ela terdiam sejenak.  “SMA tiga!” Ela melanjutkan kata-katanya sambil nyengir kuda.
“Oww…!” Tari, Nur, Asih, dan Wida terpekik hampir berbarengan. Siapa yang tidak tahu reputasi SMA tiga? SMA negeri terfavorit di Bandung.
“Siapa yang akan ngajar?” tanya Ela diiringi tawa cekikikan. Ia tahu teman-temannya pasti kebingungan. Tak satu pun dari mereka pernah bersekolah di SMA negeri paling top tersebut.
Setelah beberapa lama mereka tenggelam dalam hening, tiba-tiba Tari terpekik.
“Tidak! Tidak, tidak, tidak!” Tari menggelengkan kepala cepat. Kedua tangannya diangkat setinggi bahu.
Semua pandangan teman-temannya tertuju pada Tari. Sebagai isyarat penunjukan Tari sebagai pengajar anak tersebut.
“Ayo, siapa lagi Teh?” Wida angkat bicara.
 “Iya Teh! Teteh aja yang ngajar…” teman yang  lain mendukung Wida.
“Ah… Kalian mah gitu deh! Giliran yang susah- susah aja, pasti aku yang harus ngadepin! Ibarat tombak, aku tuh ditaro di ujungnya… Pasti ngadepin musuh duluan!” Tari memajukan bibirnya. Manyun. “Kenapa ga Teh Wida aja? Ato Teh Asih?” lanjut Tari lagi.
Semenjak ia bergabung dalam biro privat yang dikelola teman-temannya itu, ia  beberapa kali mendapat murid yang “berbobot”. Bahkan ketika mendapat telepon dari seorang ibu yang meminta pengajar ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) pun, Tari yang harus menghadapi.
Sebenarnya Tari sudah menjelaskan kepada orang tua anak tersebut, bahwa biro privat mereka tidak memiliki guru yang bisa menangani ABK. Tapi sang ibu keukeuh meminta Tari mencoba mengajar putranya. Alhasil, dengan modal nekat, Tari mengabulkan perminta- an sang ibu.
Untungnya IQ muridnya tinggi, malah jauh di atas rata- rata anak seusianya. Hanya saja ia mengalami sedikit gangguan konsentrasi dan emosi. Jadi, asal Tari sabar, muridnya bisa diajak bekerja sama dengan baik.
“Hehe kita kan mendukung dari belakang!” Wida menggoda Tari.
“Ya sudahlah!” Tari mendengus kesal. Sudah terbayang betapa merepotkan hari-hari yang akan ia hadapi. Mengajar pemantapan artinya Tari harus meng- ulas materi pelajaran dari kelas satu sampai kelas tiga. Namun, akhirnya Tari menyanggupi juga.
Tak ada salahnya mencoba pikir Tari. Apapun yang akan terjadi, terjadilah!
Ternyata Tari tidak terlalu mengalami banyak kesulitan   ketika  mengajar  anak  tersebut.   Tari  bisa  me-
nguasai kematerian yang akan disampaikan kepada muridnya dengan cukup baik. Dan karena muridnya cerdas, ia dapat dengan mudah memahami penjelasan Tari.
Hasilnya, sang murid bisa lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan.




























Ditolak

“Dengan Bu Mentari?” suara di seberang telepon menanyakan apakah ia menghubungi orang yang tepat.
“Iya, saya sendiri…” Tari membenarkan. Sang penelepon lalu memperkenalkan diri. Ia adalah staf personalia dari sebuah Bimbel ternama di kota Bandung.
“Mengenai psikotes besok, Bu Mentari ga usah datang dulu. Nanti kami akan menghubungi Ibu kembali.”
“Oh? Gitu ya? Baik. Terima kasih Bu informasinya.”
Setelah pembicaraan diakhiri, Tari meletakkan gagang telepon perlahan. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur. 
Dipandanginya langit-langit kamar. Tampak ke-ning Tari sedikit berkerut. Ada tanda tanya besar dalam benaknya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Namun ia tak berpikir macam-macam, mungkin hanya sebuah pe- nundaan saja. Hiburnya pada diri sendiri.
Hari demi hari berlalu. Tak ada kabar yang Tari te-rima dari Bimbel tersebut. Tanda  tanya  di kepala Tari ber-
tambah banyak. Apa gerangan yang tengah terjadi?
Setelah merunut kejadian-kejadian dalam proses penerimaan guru di Bimbel tersebut, Tari mendapat jawaban atas pertanyaannya. Pasti karena data psikotes yang lalu. Bisiknya dalam hati.
Tari sempat melamar menjadi guru di Bimbel tersebut sebelumnya. Saat itu, ia bisa melalui beberapa ujian saringan yang diadakan di sana. Ujian tertulis, wawancara, micro teaching, dan ujian mengajar siswa secara langsung. Namun ia tidak lolos psikotes.
Ketika temannya yang telah mengajar di Bimbel tersebut menyemangati Tari untuk melamar kembali, ia pun mengikuti saran temannya. Temannya mengatakan, ia harus terus mencoba karena kesempatan untuk diterima selalu ada walaupun sudah ditolak.
Setelah Tari mendapat penolakan untuk kedua kalinya–bahkan ia tidak diberi kesempatan menjalani psikotes kembali, ia menjadi mengerti bahwa jawaban- jawaban yang ia tuliskan dalam psikotes yang menjadi sebab semua penolakan itu.












Kesempatan untuk Semua Orang

“Gimana Tar, yang di bimbel tea, keterima ga?” tanya Eni penasaran. Mata sipitnya memandangi Tari lekat.
“Engga En…” Tari menggeleng lemah. “Orang sakit ga bisa ngajar di sana…” lanjut Tari. Sedikit tak ber- semangat.
“Maksudnya?” Eni mengerutkan dahi. Tanda tak mengerti ucapan Tari.
“Kayaknya penyakit aku yang jadi biang keladi… Pas psikotes pertama, ada format riwayat penyakit. Aku gak punya pilihan lain selain ngisi format itu apa adanya. Aku tuliskan kalau aku sakit jantung. Setelah psikotes, ga ada kabar apa-apa lagi. Artinya, aku ga keterima kan?” Tari berhenti sejenak. Ia mengambil napas dalam. Ada segumpal kekesalan di hatinya. “Eh kemaren pas ngelamar yang ke dua kali, psikotesnya  tiba-tiba dibatalin
ma bimbelnya sendiri. Ga tahu kenapa. Kayaknya sih, gara-gara data psikotes yang pertama.” Tari memajukan bibirnya. Manyun. Ia melemparkan pandangan. Lurus ke depan.
“Loh? Kok gitu sih? Orang itu kan gak akan sakit selamanya?” nada suara Eni meninggi.
Tari lalu memandang wajah Eni sambil tersenyum. Hambar. “Entahlah, kalau mereka mau guru-guru yang sehat, mereka akan mendapatkannya.” Tari enggan terus memikirkan sebab musabab ia “ditendang” dari Bimbel tersebut tanpa penjelasan. Ia ingin mengambil kesimpulan sederhana saja.
Beberapa waktu kemudian, Tari melayangkan la- maran kerja ke sebuah Sekolah Dasar Islam. Sebuah full day school.
Dari dua ratus lima puluh pelamar, hanya akan diterima lima orang sebagai pengajar di sekolah tersebut. Dari awal, sudah ada ujian saringan lewat pembuatan makalah dengan tema pendidikan. Hanya pelamar yang makalahnya memenuhi syarat saja yang bisa mengikuti psikotes. Psikotes yang diterapkan pun benar-benar menguras konsentrasi. Tesnya merupakan gabungan dari tiga jenis psikotes yang pernah Tari dapatkan di tempat lain.
Setelah itu, baru diadakan tes membaca al-Quran. Celakanya, tidak hanya disuruh membaca, para pelamar diminta untuk menterjemahkan ayat-ayat yang dibaca- nya.
Tari mencoba menterjemahkan ayat-ayat tersebut dengan pemahaman bahasa Arabnya yang sangat terbatas. Walau terjemahan Tari berantakan, namun dengan bantuan sang penguji, akhirnya ia bisa menangkap garis besar ayat-ayat tersebut.
Ujian selanjutnya adalah mengajar siswa kelas enam.  Semua ujian bisa dilalui Tari dengan baik. Terakhir, ada wawancara dengan pihak yayasan.
Tari terpaksa mengatakan bahwa ia sakit jantung. Setelah mengetahui kondisi fisiknya, pihak yayasan menunda pernyataan diterima atau tidaknya lamaran Tari. Mereka akan berunding terlebih dulu. Setelah dua hari, pihak sekolah memanggilnya kembali. Mereka bisa menerima keadaan Tari apa adanya.
Tapi perjalanan hidup tak selamanya mulus. Ternyata informasi yang diterima oleh Tari salah. Ia tidak melihat sendiri pengumuman lowongan kerja yang dimuat di koran.  Menurut temannya, posisi yang ditawarkan oleh sekolah adalah guru mata pelajaran. Padahal pihak sekolah membutuhkan guru kelas. Oleh karenanya, Tari harus berada di sekolah seharian. Dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Hal itu membuat Tari tidak mengambil kesempatan mengajar di sekolah tersebut.
Ia tak mau menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Tugas guru kelas sangat banyak. Guru kelas mengajar beberapa mata pelajaran, itu artinya ia harus menyiapkan beberapa bahan ajar setiap harinya. Belum lagi persiapan administrasinya–yang sangat tidak disukai Tari, akan menjadi sangat banyak. Ia pun masih harus memeriksa PR serta ulangan para siswa.
Namun Tari tidak kecewa dengan kejadian yang menimpanya tersebut. Setidaknya ia bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa melampaui prestasi orang-orang “normal”. Ia pun bisa melihat kenyataan bahwa masih ada orang yang menilai manusia tidak hanya dari sisi untung rugi materi–uang, saja.



Sekolah Aneh

“Bangunan sekolah yang aneh!” Begitu komentar Tari ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempatnya mengajar. Tak ada pagar dan gerbang sebagai pembatas antara "dunia sekolah" dengan "dunia luar". Bagian samping kanan sekolah langsung bersambung dengan trotoar yang dijadikan bengkel dan lapak pedagang kaki lima. Bagian samping kiri berbatasan dengan mushola yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Sedang bagian depan dan belakangnya berbatasan dengan gang−yang juga milik umum.
Bangunan sekolah tersebut terdiri dari dua lantai. Ada tiga ruangan di lantai pertama. Dua ruangan di lantai dasar disewakan kepada sekolah farmasi. Satu ruangan lagi dipakai oleh yang empunya gedung sebagai kantor SMP. Sedang seluruh ruangan di lantai atas dijadikan ruang kelas untuk siswa SMP.
Ruangan yang disewa oleh sekolah farmasi disulap menjadi beberapa  ruangan.  Satu  ruangan   disekat-sekat menjadi ruang kepala sekolah, ruang guru serta TU. Sementara ruangan yang satu lagi dijadikan ruangan multi fungsi tanpa sekat. Ruangan itu menjadi kelas sekaligus laboratorium serta garasi sepeda.
Tari mulai mengajar di sekolah farmasi pada pertengahan semester pertama. Sekolah tersebut baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Ia dimintai tolong oleh seorang temannya untuk menggantikan guru kimia yang mengundurkan diri. Banyak guru yang hengkang dari sana.
Mungkin honor yang tidak layak yang me- nyebabkan para guru memilih angkat kaki dari sekolah. Keuangan sekolah sangatlah minim.
Selain itu, kurikulum pun masih acak-acakan. Hal ini membingungkan para guru dalam mengelola pelajaran yang harus disampaikan kepada siswa.
Kondisi sekolah tempat Tari mengajar sudah sangat buruk. Tari tak bisa membayangkan kondisi sekolah yang lebih buruk lagi. Tapi ternyata, sekolah farmasi tersebut masih jauh lebih baik daripada sekolah tetangganya. Di SMP tetangga, hampir tidak pernah terlihat ada guru yang datang. Siswanya masuk jam delapan pagi, istirahat jam sembilan–sampai jam sepuluh, lalu pulang jam setengah dua belas. Kondisi SMP tersebut bukan lagi buruk, tapi mengerikan.
Kimia merupakan pelajaran yang cukup kompleks. Untuk memahaminya diperlukan kemampuan meng- gunakan logika, hafalan, dan pemahaman. Sehingga tidak banyak siswa yang dapat mengerti dengan sekali pen- jelasan saja. Biasanya, siswa yang tidak paham enggan datang ke meja guru untuk meminta penjelasan kembali. Untuk mengatasinya, Tari harus berkeliling setelah menerangkan kematerian di depan kelas.
Seharusnya mengajar delapan siswa meringankan tugasnya sebagai guru. Tari tak harus berkeliling ke banyak bangku. Cukup mengelompokkan mereka masing- masing empat orang dan menerangkan kembali secara berkelompok. Biasanya mereka sudah memisahkan diri sebagai kelompok "Adam" dan "Hawa".
Namun, keadaan sekolah dan para siswanya berbeda dengan sekolah pada umumnya. Siswa yang masuk tidak melalui proses saringan yang ketat. Hasilnya, hampir semua siswa tidak mempunyai dasar pemahaman kematerian yang bagus.
Hal ini membuat Tari harus mengulas beberapa hal yang bukan tugasnya sebagai guru kimia. Terutama mengenai cara perhitungan matematika. Bahkan yang sangat sederhana sekalipun. Seperti penjumlahan desimal dan pecahan. Selain itu, hampir semua siswa memiliki semangat belajar yang rendah. Mungkin rendahnya motivasi belajar para siswa berhubungan juga dengan kondisi sekolah yang menghawatirkan.
Fasilitas yang tersedia di sekolah sangat terbatas. Bahan dan alat-alat untuk praktikum jauh dari kata layak. Padahal praktikum merupakan “nyawa” bagi sekolah farmasi. Belum lagi kondisi gurunya yang bergantian tidak datang mengajar. Bahkan kadangkala satu hari penuh tidak ada guru yang hadir.
Ketika pertama kali datang, Tari bingung bagaimana caranya menyampaikan kematerian. Lebih dari satu semester Tari mencoba beradaptasi dengan kondisi sekolah dan para siswa. Saat-saat yang sulit. Setiap kali diadakan ulangan, hanya satu dua siswa yang bisa mencapai nilai di atas enam.
Alhasil, Tari sering menyampaikan keluhan di rapat guru mengenai kondisi kelas tersebut. Tari  mengharapkan masukan dari guru-guru lain yang lebih dulu mengajar di sana. Tari takut tidak sukses membuat para siswa memahami kematerian yang ia sampaikan. Tapi ternyata, semua guru mengeluhkan hal yang persis sama dengannya.
Mengetahui hal tersebut Tari menjadi sedikit lega. Bukan karena banyak teman yang senasib dengannya. Tapi lebih karena ia merasa ketidakpahaman murid- muridnya bukan salahnya sepenuhnya. Artinya, kondisi siswa tidak prima ketika menerima pelajaran. Oleh karena itu, setelah para siswa naik ke kelas sebelas, Tari mulai menerapkan pola mengajar yang menuntut kerja keras.
Sebelum pelajaran dimulai, Tari sering meng- adakan quiz untuk mengevaluasi pelajaran yang telah ia sampaikan sebelumnya. Selama pelajaran berlangsung, Tari banyak melontarkan pertanyaan. Belum lagi “oleh- oleh” tugas yang harus dikerjakan di rumah. Semua itu memaksa murid-murinya untuk terus belajar. Minimal membuka buku. Tapi disamping itu, Tari selalu memberi semangat kepada mereka.
Semester sebelumnya, Tari tak berani memberi tekanan yang tinggi terhadap para siswa. Ia tak begitu paham kondisi siswa SMK. Tari takut, beban yang ia berikan terlalu berat karena siswa SMK farmasi mendapat lima pelajaran tambahan selain pelajaran umum di SMA. Ada ilmu resep, farmakologi, farmakognosi, Undang- undang Kesehatan, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Ternyata, kerja keras para siswa setimpal dengan hasil yang diperoleh. Nilai rapot sebagian besar siswa yang diajar oleh Tari di atas enam tanpa remedial. Padahal sebelumnya hampir seluruh siswa harus mengikuti remedial untuk memperbaiki nilai rapot. Tari bangga dengan   hasil  yang    mereka   peroleh.   Ternyata   mereka memiliki potensi untuk bisa maju. Hanya saja mereka baru dapat melejit ketika diberi tekanan.
Di tahun kedua, sekolah belum mengalami banyak perubahan. Kehadiran guru-guru masih jadi masalah yang cukup pelik. Masih saja ada guru yang sering bolos mengajar. Guru yang rajin datang hanya beberapa orang saja. Sekolah belum bisa memberi tindakan yang tegas kepada guru-guru yang sering bolos mengajar. Hal ini masih berkaitan dengan masalah keuangan sekolah. Honor yang diberikan kepada para guru masih belum mencapai kata layak.























Sepenggal Kebohongan

“Oke, yang tidak mendapat kertas ulangan, ikut ibu ke bawah!”  Tari menutup pelajaran dengan membagi- kan hasil ulangan pelajaran yang lalu.
Ada beberapa anak yang tidak menerima hasil ulangan. Kini mereka berduyun-duyun turun dari lantai dua. Mengikuti Tari.
“Ada apa Bu?” tanya bu Wati−salah seorang crew TU, yang sedang duduk di meja piket. Ia keheranan melihat para siswa berbondong-bondong masuk ke ruang tamu.
“Biasa… pada nyontek!” jawab Tari setengah berbisik. Mendengar hal tersebut, bu Wati hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Tari menggiring mereka ke ruang kepala sekolah. Kepala sekolah jarang berada di tempat, jadi ruangannya selalu kosong. Lagipula sekolah tak punya ruangan lain yang kosong.
Ruang yang sempit itu kini penuh sesak. Beberapa  siswa  duduk  di sofa, yang lainnya  hanya  bisa berdiri. Se- dang Tari duduk di kursi kepala sekolah yang berada di hadapan sofa.
Tanpa banyak kata, Tari membagikan kertas ulangan yang sudah disatukan dengan klip dua-dua. Ada empat kertas dengan klip. Berarti ada delapan kertas ulangan. Tari menyatukan kertas-kertas tersebut berdasarkan jawaban yang mempunyai alur berpikir yang persis sama. Setelah semua anak melihat hasil pekerjaan mereka. Tari pun angkat bicara.
“Kalian tahu, kenapa saya kumpulkan di sini?”
“Ga tahu Bu!” ujar beberapa anak. Koor. Sebagian lagi menggeleng ragu-ragu setelah saling lirik satu sama lain. Tari memandangi mereka satu per satu. Pandangan- nya berhenti pada dua anak perempuan. Riri dan Atik.
“Atik dan Riri, kenapa jawaban kalian sama?”
“Ga tahu Bu! Da saya mah ngerjain sendiri!” Tak diduga Atik bersuara lantang membela diri.
Tari kaget dibuatnya. Apakah ia tidak pernah diajarkan bagaimana cara berbicara dengan orang yang lebih tua? Setidaknya ia memperkecil volum suaranya.
Demi mendengar perkataan teman sebangkunya, Riri langsung membundarkan matanya dan memandangi wajah Atik.
Ari kamu, kamu kan yang lihat ke saya!” tampak segunung kekesalan di wajah Riri.
“Enggak Bu, saya nggak nyontek…” wajah Riri memelas. Air mulai menggenangi kelopak matanya.
Tari memandangi mereka berdua tanpa ekspresi.
Salah satu dari dua anak ini berbohong. Gumam Tari dalam hati.
Ia tak hendak menjatuhkan vonis bersalah kepada salah satu dari keduanya. Tari tak tahu siapa yang mencontek, siapa yang memberi contekan.
Ketika mengalami hal yang serupa, Tari pernah salah menentukan mana anak yang mencontek. Jadi Tari takut mengulangi kesalahan yang sama.
Tari pun tahu rasanya diperlakukan dengan tidak adil. Seorang dosen pernah memotong nilai ujiannya begitu saja. Tari dituduh mencontek. Hal itu sangat menyakitkan.
“Jadi, siapa yang mencontek?” tanya Tari dengan tenang.
“Atik, kamu kan yang nyontek sama saya?“ Riri terlihat sangat kesal. Ia berusaha mengemas tangis. Sejenak hening menyergap.
“Iya Bu. Saya yang nyontek…” ujar Atik memecah sunyi. Ia menunduk dalam. Tari hanya mengangkat alis sebagai reaksi terhadap pengakuan Atik.
Berulang kali Tari mengingatkan murid-muridnya untuk tidak mencontek. Tidak hanya mengingatkan, ia terus memotivasi mereka agar bisa percaya diri ketika mengerjakan ulangan−itu artinya mereka harus belajar dengan lebih giat lagi. Dan Tari yakin, guru yang lain pun melakukan hal yang sama. Tapi rasanya perkataan mereka tidak pernah digubris.
Bahkan pengawasan yang mereka lakukan ketika ulangan sangat ketat. Para guru selalu berkeliling kelas selama ulangan. Tapi selalu saja kecolongan. Bagaimana bila pengawasan tidak ketat? Mungkin hampir  seisi kelas akan ia jemur di lapangan upacara!
“Riki kenapa jawabanmu sama dengan Ari?” Tari beralih kepada siswa yang lain.
“Ga tahu Bu, saya kerja sendiri.” Jawab Riki tanpa terbersit rasa bersalah di wajahnya.
Tari pun tersenyum mendengar jawaban tersebut. Senyum yang menakutkan. Tari menatap mereka tajam.
“Kalau tidak kerja sama, mana bisa jawaban kalian sama persis. Bahkan letak kesalahannya pun sama?” Tari menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kalian jangan bohong sama ibu. Sudah ketahuan kok, kalian saling contek!” Tari terdiam sejenak. “Ya sudahlah. Saya tidak ingin melihat ada yang mencontek lagi. Kalian harus ulangan lagi. Semuanya! Kalau masih ada yang men- contek juga, saya kasih nol! Sekarang kalian masuk kelas lagi!” Setelah berpamitan, mereka keluar dari ruang kepala sekolah satu per satu. Muka mereka kuyu.
Sejenak Tari termenung. Apakah mencontek sudah menjadi gaya hidup? Di setiap jenjang pendidikan yang dilaluinya, selalu ia temui praktek semacam ini.
Bahkan Tari pun pernah melakukannya sewaktu duduk di bangku kelas tiga SMP. Setiap ulangan pelajaran X–mata pelajaran yang sangat tidak disukai Tari, ia dan teman sebangkunya, Eli, selalu berunding. Eli anak yang pintar. Mereka sama-sama tidak belajar sebelum ulangan. Alhasil, nilai mereka selalu bertahan di angka enam. Tak pernah lebih. Hampir semua murid melakukan praktek pencontekan dalam pelajaran itu. Namun, sang guru seolah tak peduli dengan kelakuan murid-muridnya. Ia hanya duduk diam di kursinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan mencontek pun banyak diterapkan. Plagiat terhadap karya seni yang sering terjadi.
Apakah contek-mencontek sudah setua umur manusia? Sehingga begitu sulit diberantas?






Efek Jera

Di sela-sela waktu mengajar, Tari menyempatkan diri menengok keadaan kelas sepuluh, tiga orang siswa tidak tampak di bangkunya. Ternyata kelas mereka kosong selama beberapa jam. Tidak ada guru yang mengajar.
“Mana yang lain?” tanya Tari sambil memandang berkeliling.
Jumlah siswa kelas sepuluh hanya sembilan orang, hilang satu saja akan segera ketahuan.
Mulanya mereka terdiam dan hanya saling me- mandang. Setelah beberapa saat, seorang anak membuka mulut. Katanya ketiga temannya sedang ke asrama putra.
Asrama yang dimaksud adalah sebuah rumah kecil yang disewa oleh sekolah untuk dijadikan tempat tinggal beberapa orang siswa. Asrama putra dan putri terletak di rumah yang berbeda. Asrama putra hanya terhalang beberapa rumah dari sekolah. Sedang asrama putri letaknya  cukup  jauh.  Tak  semua siswa tinggal di asrama. Yang tinggal di sana hanya anak-anak yang berasal dari luar Bandung atau yang letak rumahnya jauh dari sekolah.
”Hmm… panggil mereka ke sini! Bilang, bu Tari marah gitu!” Setelah beberapa menit, tiga siswa datang tergesa menemui Tari di ruang guru.
“Duduk!” wajah Tari dingin tanpa ekspresi. Sudah menjadi kesenangannya mengobrak-abrik mental para siswa yang kelakuannya nyeleneh. Dua siswa hanya tertunduk setelah mengambil posisi duduk. Sementara siswa yang satunya lagi menunjukkan ekspresi tak bersalah. Dia berani memandang Tari dengan sangat tenang. Tari mengamati penampilan si kalem. Mulai dari celana panjangnya, bajunya, sampai potongan rambut- nya. Anak ini preman. Pikir Tari.
“Dari mana kalian?” tanya Tari dengan suara datar. Ditatapnya wajah mereka satu per satu.
“Asrama Bu.” Mereka menjawab hampir ber- barengan.
“Habis ngapain di sana?”
“Makan mie Bu. Lapar.” Si anak asrama mewakili temannya memberikan jawaban. Wajahnya tegang.
“Makan mie?” dahi Tari berkerut. Ternyata benar kata para crew TU, walaupun kecerdasan siswa kelas sepuluh lebih bagus dari kakak kelasnya, namun kedisiplinan mereka lebih rendah. Siswa kelas sebelas tidak akan berani meninggalkan sekolah tanpa izin terlebih dahulu kepada TU. Padahal mereka bisa pergi begitu saja karena banyak jalan keluar dari lingkungan sekolah.
Sebelum menanggapi kelakuan mereka lebih lanjut, Tari menarik napas dalam-dalam. Harus ada hukuman yang memberikan efek jera atas pelanggaran yang mereka lakukan.
“Dengar! Kalian adalah siswa di sekolah ini. Selama jam sekolah, kalian menjadi tanggung jawab sekolah. Mana bisa kalian pergi tanpa minta izin dulu?” irama suara Tari lambat namun tegas. Ada penekanan pada beberapa suku kata. Tak ada nada tinggi dalam kalimatnya.
“Kalau kalian tidak minta izin, kami tidak tahu kalian ada di mana, sedang apa. Kalau ada apa-apa, bagaimana?” Tari terdiam sejenak. Dipandanginya lagi wajah mereka satu-satu. Dua anak semakin tegang. Si kalem tampak sedang berpikir.
“Dengan kejadian ini, kalian sadar telah melakukan kesalahan?” Tari menatap si kalem. Si kalem akhirnya menunduk juga.
“Iya Bu.” mereka menjawab pelan. Koor.
“Syukurlah kalau begitu. Tapi setiap kesalahan harus ada hukumannya. Sekarang, pilih hukuman kalian!” Tari hanya pura-pura berbaik hati menyuruh mereka untuk memilih hukuman. Sejenak ketiga murid Tari saling pandang. Lalu mereka berunding dengan suara pelan.
Scot jam saja Bu!” si anak asrama mengusulkan satu macam hukuman.
“Enak saja! Ga mau ah! Push up saja! Kalian kuat berapa seri?” Tari menggoda mereka sekali lagi. Lagi-lagi mereka saling pandang.
“Satu seri aja Bu.” Si wajah kalem yang angkat bicara.
“Satu seri? Enggak! Dua seri!” bantah Tari sengit.
Atuh Bu…” si kacamata keberatan dengan hukuman yang diajukan.
“Kalau kalian membantah, hukumannya akan semakin bertambah. Dua setengah seri!” Tari tersenyum. Sinis. Kemenangan negosiasi ada di tangannya. Dan akan selalu   berada  di  tangannya.  Kini  ketiganya   hanya   bisa menatap Tari dengan pandangan memelas. Tampaknya mereka ingin mengajukan protes lagi, tapi tak berani.
“Ya, kalian push up-nya di ruang kepala sekolah saja!” Tari menggiring ketiga muridnya masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu besar.
“Ayo turun! Ambil posisi! Push up dua puluh lima kali!” Tari memberi aba-aba. Dengan muka kuyu tidak bersemangat, satu per satu mereka turun mengambil posisi push up. Sementara Tari berdiri berpangku tangan di samping mereka. Senyum masih terkembang di bibirnya. Senyum yang menakutkan. Begitu komentar Trio Wek Wek–tiga murid privat yang diajar oleh Tari bersamaan dalam satu kelompok belajar.
“Ibu yang menghitung, kalau kalian tidak kompak, hitungan tidak akan bertambah. Hitungan akan tetap sampai kalian kembali kompak!” Sudah saatnya ada yang memberi pelajaran kepada mereka. Selama ini tak ada yang benar-benar tegas kepada para siswa.
“Oke! Satu!” Tari memulai hitungannya.
Dua anak sudah turun, sedang yang satu lagi belum.
“Satu!” Tari mengulang hitungan sesuai dengan perjanjian. Akhirnya dengan susah payah mereka sampai juga ke hitungan dua puluh lima. Tentunya dengan beberapa kali pengulangan.
Masih dengan tangan bersilang di depan dada, Tari menyuruh ketiga muridnya berdiri.
“Ya sudah, kalian masuk kelas lagi!” mimik wajah Tari dingin.
 “Makasih Bu…” satu per satu mereka meninggal- kan ruang kepala sekolah. Raut kelelahan tergambar jelas di wajah mereka.
Ketiga murid Tari bergegas kembali ke kelasnya.
Setelah ketiga muridnya menghilang dari pandangan, Tari pun keluar meninggalkan ruangan kepala sekolah. Ia harus mengajar kembali.
Dalam perjalanan menuju kelas, Tari bertemu dengan pak Edi. Sang wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
“Pak, maaf, tadi anak-anak kelas dua saya suruh push up.” Tari meminta maaf karena ia merasa melakukan tindakan di luar wewenangnya. Tari bukan petugas piket. Bahkan ia tidak mengajar di kelas sepuluh.
“Loh, kenapa Bu?” pak Edi mengerutkan dahi.
“Itu, pada kabur ke asrama.”
“Oh… ga apa-apa Bu. Malah bagus!” pak Edi mengakhiri komentarnya dengan tersenyum.
Pembagian tugas di sekolah ini serba tak jelas. Jadi terkadang ada tumpang tindih tugas di antara para penghuni sekolah.
“Kalau gitu, saya lega. Ya udah, saya ngajar dulu ya Pak!”
“Oh, mangga, mangga.” Pak Edi mempersilahkan Tari melanjutkan perjalanannya.
Dalam hati Tari berharap tak ada lagi pelanggaran serupa yang dilakukan oleh murid-muridnya.













Aryo

Met milad yang ke-25. Wah, milad perak ya! Tari tersenyum. Temannya yang satu ini adalah teman yang paling baik se-dunia. Mereka berada satu kelas di SMP. Mendapat pesan singkat darinya mengingatkan Tari saat- saat bersekolah dulu.
Keluarga Tari pindah rumah lagi ketika Tari duduk di bangku SMP kelas satu. Semester akhir. Namun Tari tetap bersekolah di tempat yang sama. Jarak rumah yang baru ke sekolah cukup jauh. Bila ditempuh dengan mobil, butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di sekolah. Namun Beda lagi bila ditempuh dengan sepeda, Tari tak tahu berapa waktu yang dibutuhkan.
Kebetulan rumah Tari yang baru berdekatan dengan rumah Aryo. Ia tinggal bersama dengan bibinya. Aryo bersepeda ke sekolah setiap hari. Ketika Tari tinggal di rumah yang dulu, Tari juga bersepeda ke sekolah. Bersama  dua   orang   temannya,    menyusuri   jalan   tikus untuk memperpendek jarak tempuh dan menghindari jalan raya.
 Tari tertawa kecil. Terbayang ketika ia bersepeda ke sekolah. Ia memakai celana panjang di balik rok–yang juga panjang. Tasnya hanyalah tas selempang. Bukan tas punggung. Sehingga Tari harus “menjinjing” tas di stang sepeda. Tampak merepotkan sekali.
Di rumah bibi Aryo tumbuh pohon jambu. Setiap berbuah, Tari selalu kebagian jatah untuk mencicipi jambu-jambu yang manis itu. Kadang Aryo membawanya ke sekolah, kadang juga mengantarkannya ke rumah Tari.
Ketika Tari duduk di bangku SMA, Aryo bersekolah di STM. Sekolah Aryo berdekatan dengan sekolahnya. Kadang mereka mengadakan janji untuk pergi sekolah bersama-sama. Karena letak sekolah mereka jauh, Aryo tidak lagi bersepeda. Mereka bertemu di terminal. Hal yang lebih lucu lagi, sepanjang perjalanan mereka akan asyik mengobrol. Ada saja bahan pembicaraan yang mereka obrolkan.
Tari tak merasa canggung pergi bersama Aryo karena Tari sudah terbiasa berteman dengan laki-laki. Kadang-kadang Tari lebih suka mengobrol dengan mereka daripada dengan teman perempuannya. Dengan kaum Adam, Tari tak harus mengobrol tentang fashion, lagu- lagu yang sedang hits, film-film yang sedang diputar di bioskop, atau gosip selebritis. Tari memang sedikit ketinggalan zaman dibandingkan dengan remaja putri seusianya.
Di kala sebagian temannya mengisi waktu luang mereka dengan shopping, Tari lebih suka menghabiskan waktu dengan tinggal di rumah. Ia lebih suka menonton televisi atau membaca majalah dan buku. Atau kadang ia hanya mengobrol dengan teman-temannya.
Oke, makasih. Tari mengirim pesan balasan untuk Aryo.
Untung wajah mereka tidak mirip. Kalau saja iya, mungkin mereka akan disangka kakak beradik. Selain kepada Tari, Aryo juga rajin mengirim pesan singkat sebagai ucapan selamat ulang tahun kepada teman-teman yang lain.
Kebetulan Aryo pun kuliah di UPI. Dia mengambil jurusan tekhnik. Tapi mereka tak pernah berangkat bersama lagi. Aryo memilih tinggal di kamar kosnya, di Gerlong.
Belakangan Aryo bergabung dengan sebuah organisasi da’wah. Tari sempat segan. Takut ia berubah. Menjadi jaim. Jaga Imej. Tapi ternyata ia tetap Aryo, temannya yang dulu. Yang berubah hanyalah ia tak pernah lagi berkunjung ke rumah Tari.

















Terjebak dalam Situasi Sulit

Di tahun ketiga mengajar di sekolah farmasi, Tari ditawari untuk masuk ke dalam manajemen sekolah. Asalnya hanya sebagai pegawai Tata Usaha, namun karena kepala TU tiba-tiba harus bed rest karena kehamilannya yang beresiko, Tari terpaksa harus meng- gantikan posisi kepala TU.
Tari mulai terlibat dalam manajemen sekolah pada saat penerimaan siswa baru. Saat itu sekolah sedang gencar-gencarnya melakukan promosi.
Selama masa penerimaan siswa baru, hampir setiap hari pihak yayasan, kepala sekolah, dan crew TU bekerja lembur. Tidak jarang mereka pulang lebih dari waktu maghrib. Terlebih ketika masa penerimaan siswa akan berakhir. Mereka bisa pulang dari sekolah jam delapan atau sembilan malam.
Ternyata kerja keras mereka terbayar oleh imbalan yang setimpal. Siswa yang masuk ke sekolah tersebut lebih    dari   lima   puluh   orang.   Pihak   sekolah   menaruh harapan besar dengan banyaknya siswa yang masuk tahun ini: persoalan keuangan sekolah bisa terselesaikan.
Tapi harapan mereka tinggal angan-angan. Ter- nyata siswa yang mendaftar hampir semuanya berasal dari golongan ekonomi lemah. Setiap bulannya selalu saja ada yang menunggak SPP. Bahkan jumlahnya cukup banyak. Tak sedikit juga yang menunggak SPP selama beberapa bulan. Lebih parahnya lagi, Dana Sumbangan Pendidikan dan uang praktikum yang harusnya diangsur setiap bulan ikut macet juga.
Alhasil, kondisi keuangan sekolah tetap saja buruk. Hal ini berdampak langsung terhadap pembiayaan operasional sekolah. Pengadaan alat dan bahan-bahan praktikum tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan rencana. Honor para guru dan staf pun tak jarang  terlambat diberikan. Selain itu, honor yang diberikan pun masih jauh dari kata memadai.
Oleh karena itu, pergantian formasi guru masih sering terjadi. Tentunya karena masih saja ada guru yang hengkang dari sekolah. Kekosongan pengajar di kelas pun tak bisa dihindarkan.
Untuk mencegah kaburnya para siswa, diadakan piket guru. Selama ini tugas piket diserahkan kepada TU. Beberapa guru diminta bantuannya untuk piket. Untungnya ada beberapa guru yang bersedia padahal mereka tidak diberi honor tambahan.
Namun, walau sudah ada guru piket, masih saja ada siswa yang kabur. Kondisi kelas tanpa guru selalu menjadi sebab utama kaburnya para siswa. Selain itu, wilayah sekolah yang tidak dibatasi oleh pagar mem- permudah siswa melakukan aksinya.
Pernah pada suatu hari, guru yang seharusnya mengajar  kelas  sepuluh  belum  juga  datang.  Padahal,  ia seharusnya sudah mengajar lima belas menit yang lalu. Otomatis para siswa yang sejak pagi mengalami kekosongan beberapa pelajaran pun berhamburan keluar. Sebagian sudah siap kabur. Demi melihat kondisi seperti itu, bu Nur–salah seorang pegawai TU, dengan kesalnya malah menyuruh mereka semua pulang. Kebetulan saat itu adalah jam terakhir.
Tak berapa lama kemudian, sang guru datang. Ia langsung naik ke lantai dua. Namun, ia segera turun kembali dan menuju ruang TU. Raut kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
“Anak-anak pada ke mana ya Bu?” tanya sang guru kepada staf TU.
“Sudah saya suruh pulang!” bu Nur menjawab dengan datar tanpa rasa bersalah. Sang guru tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Bukan hanya kondisi keuangan yang krisis, manajemen sekolah pun mengalami hal yang sama. Manajemen terkena dampak dari krisis keuangan juga. Tari sangat paham kondisi keuangan karena ia yang mengurusi kas sekolah.
Pada banyak kondisi, staf TU menerima tugas yang jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Bahkan sering kali harus mengerjakan tugas para “pejabat” di atasnya. Wakil kepala sekolah hanyalah nama yang dipajang untuk memenuhi struktur organisasi sekolah.
Bahkan di akhir-akhir tahun ketiga, pegawai TU kadang bekerja sendirian di sekolah. Bu Nur, pak Rudi, Tari, dan bu Wati seolah-olah menjadi pemilik bersama sekolah tersebut. Staf TU menjadi ikut sibuk mengurusi manajemen sekolah. Menerima tamu-tamu dari Dinas Pendidikan, menerima orang tua siswa, menghadapi siswa yang membolos, bahkan Tari juga sempat memberikan pelajaran tambahan bahasa Inggris kepada kelas dua belas. Mereka akan menghadapi UN, tapi tak ada seorang guru pun yang bisa memberikan pelajaran tambahan bahasa Inggris. Akhirnya dengan modal nekat, Tari mengambil tanggung jawab itu.






























The Power of Computer

“Arrgg …!!!” Tari menggeram kesal. Ia tak sempat menyimpan data yang ia tik ketika komputer yang dipakainya tiba-tiba mati. Padahal Tari sedang diburu waktu. Pekerjaan pun sedang menumpuk.
“Kenapa Bu Tari?” bu Wati menghampiri Tari. Dilihatnya komputer yang baru saja me-restart.
“Mati ya!” bu Wati tersenyum. Ia pun kadang mengalami hal serupa. Semua staf TU pernah mengalami hal yang sama.
“Komputernya sudah saatnya dilem biru! Dilempar beli yang baru!” dengus Tari kesal. Bu wati hanya tertawa kecil. Komputer-komputer di sekolah memang sudah “jadul”. Sudah tua. Sehingga sudah mengalami beberapa kerusakan. Sering tiba-tiba me-restart sendiri. Printer yang ada pun tidak kalah “antiknya”. Sama-sama sering tidak berfungsi.
Hal lain yang sering membuat naik darah adalah daya   listrik   di  gedung  sekolah  sangat kecil,   hanya  900 Watt. Sedangkan pemakaiannya harus berbagi dengan bengkel di samping sekolah. Sehingga listrik sering mati karena kelebihan daya pakai.
“Makanya ntar mah di-save terus Bu!” saran bu Wati. Tari hanya memajukan bibir sebagai komentar atas saran rekan  kerjanya itu.
“Ah Bu Tari, jangan marah-marah terus atuh! Ingat, the power of computer!” bu Ana yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya menyela pembicaraan mereka. Ternyata ia diam-diam mendengarkan perbincangan Tari dengan bu Wati. Bu Ana lalu menghampiri mereka berdua. Ia mengelus-elus komputer yang sedang dipakai Tari.
“Oh iya ya!” Tari segera tersadar. Hatinya tiba-tiba menjadi luluh. Semua kekesalan menguap begitu saja.
The power of computer!” Tari tertawa kecil sambil ikut mengelus komputer yang telah membuatnya kesal. Di kalangan crew TU sedang mewabah bacaan the Power of Water. Di mana air bisa menyimpan energi yang manusia kirimkan kepadanya. Air yang sama akan menunjukkan reaksi yang berbeda ketika diberikan sugesti yang berbeda pula.
Air yang diberikan sugesti positif, sugesti yang membahagiakan, molekul-molekulnya akan membentuk kristal yang jauh lebih baik daripada air yang diberikan sugesti negatif.
Crew TU mengaitkan hal yang sama dengan komputer-komputer di sekolah. Pasalnya, bila mereka sedang terburu-buru dan merasa kesal, komputer seringkali berulah.
Akhirnya semua staf TU tertawa bersama-sama.




Diputuskan

Suatu hari bu Wati tergesa menemui Tari di ruang TU. Ia tampak tegang.
“Bu Tari, ada orang dari PLN. Katanya listrik mau dicabut!” ada kekhawatiran tergambar di wajah bu Wati ketika menyampaikan berita tersebut.
“Apa?” Tari tak kalah tegang dengan si pembawa kabar. Dengan segera Tari keluar menemui petugas PLN yang dimaksud. Ternyata sang petugas telah berada di lantai atas. Tempat meteran listrik berada. Setengah berlari Tari menyusulnya ke atas.
“Pak? Ada apa ya?” di sela napas tersengal Tari memaksakan diri tersenyum. Tari pura-pura tidak tahu menahu permasalahan yang sedang terjadi.
“Ini Bu, listriknya mau diputuskan. Sudah ter- lambat bayar...” sang petugas yang tampak letih itu menerangkan duduk perkaranya.
Telat bayar? Tanya Tari dalam hati. Tari tak tahu urusan  bayar-membayar  listrik  karena   sudah  ada  orang
yang menanganinya. Pak Edi. Tari hanya tinggal memberi uang saja. Walau keuangan sangat terbatas, pembayaran sewa gedung sekolah dan asrama serta tagihan listrik selalu diprioritaskan. Terlebih sekarang ada empat ruangan yang disewa oleh sekolah. Sekolah juga menyewa dua ruangan di lantai atas.
Pekerjaan Tari sangat banyak, sehingga laporan keuangan pun seringkali terbengkalai. Kadang Tari tidak sempat memeriksa kembali kelancaran pembayaran tiga hal tersebut.
Kemana perginya pak Edi? Akhir-akhir ini ia sering sekali menghilang dari sekolah. Kenapa ia sampai tidak mengurus tagihan rekening listrik bulan kemarin? Padahal ia tak harus pergi sendiri ke loket PLN, ia hanya membayar kepada pemilik gedung. Rumah pemilik gedung pun tak jauh. Hanya beberapa meter dari sekolah.
“Di mana meterannya ya Bu?” sang petugas lalu mencari-cari letak meteran listrik. Letak meteran listrik memang tersembunyi. Di belakang ruangan kelas. Dengan terpaksa Tari menunjukkan letak meteran tersebut.
Sambil menghela napas panjang, Tari mengumpul- kan keberanian dan menekan emosinya.
“Maaf Pak... Apa ada keringanan untuk kami?” Tari memasang wajah memelas. Memohon belas kasih.
Sang petugas urung mengeluarkan peralatan dari tasnya. Ia tampak memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat, ia pun bersuara.
“Boleh... Tapi besok tagihannya harus segera dilunasi ya!” akhirnya hati sang petugas luluh.
“Baik Pak! Akan saya lunasi besok! Terima kasih banyak Pak! Terima kasih...” Tari membungkukkan badan beberapa kali. Layaknya para aktor di film Korea ketika mengucapkan terima kasih.
Sebelum berlalu, sang petugas mengingatkan Tari kembali untuk melunasi tagihan listrik besok. Setelah ia pergi, Tari bergegas ke rumah sang empunya gedung. Membayar tagihan listrik.
Akhirnya listrik di sekolah tidak jadi diputuskan.
Setelah kejadian itu, pada suatu hari Tari punya kesempatan untuk menunjukkan kesalahan pak Edi di depan pengurus yayasan. Bukan karena dendam, tapi Tari hanya ingin memberikan pelajaran padanya. Tari hanya ingin menunjukkan bahwa tindakan pak Edi bisa merugikan orang lain. Sudah saatnya pak Edi belajar untuk lebih bertanggung jawab.
Waktu itu pihak yayasan meminta laporan kehadiran siswa dan guru secara mendadak kepada pak Edi. Tentu saja ia kebingungan. Sudah dua minggu ia tak mendapatkan laporan itu karena jarang berada disekolah.
Tepat seperti dugaan Tari, ia langsung meminta laporan itu kepada staf TU. Ternyata tak ada satupun crew TU yang mengetahui keberadaan rekap data tersebut. Pak Edi pun mencoba mencari sendiri di lemari arsip. Namun ia tak menemukannya.
Tari membiarkan pak Edi kebingungan selama beberapa menit. Lalu dengan santainya Tari berjalan menuju lemari arsip dan mengambil map dalam salah satu file holder. Laporan kehadiran itu berada di tempatnya. Hanya saja, pak Edi terlalu tergesa-gesa mencarinya. Sehingga ia melewatkan arsip tersebut. Tari langsung  memberikan arsip tersebut pada staf yayasan.
Untungnya pak Edi tidak dendam kepada Tari karena kejadian tersebut.




Kuasa Penuh

Seperti biasa, Tari datang paling awal untuk membukakan pintu kantor TU. Tari menjadi kuncen di sekolah ini. Para staf TU yang lain kadang datang jam setengah delapan. Tari baru saja membuka lemari ketika ia mendengar ada yang memberi salam di pintu depan.
“Waalaikum salam!” Tari tersenyum.
Tumben pak Hasan datang sepagi ini. Biasanya ia sering terlambat ketika mengajar. Lagipula ia tidak punya jadwal mengajar pagi. Tari berkata-kata dalam hati.
“Eh, bu Tari, saya disuruh beli telepon!” pak Hasan segera menyampaikan maksudnya datang sepagi ini.
Sejenak Tari terdiam sambil mengerutkan dahi. Pesawat telepon sudah beberapa hari ini tidak berfungsi. Rusak. Staf TU kesulitan menghubungi guru-guru untuk mengkonfirmasi kehadiran mereka. Kadang guru ter- lambat memberi tugas bila tidak hadir atau terlambat datang. Jadi bu Wati harus rajin menelepon bila para guru sudah sedikit terlambat berada di sekolah. Untuk menjaga agar kelas tidak kosong. Tanpa kegiatan. Para guru pun kesulitan menghubungi sekolah.
“Berapa Pak?” tanya Tari mulai tidak bersahabat. Ia enggan dimintai uang.
“Enam ratus Bu!” jawab pak Hasan santai. Ia tak tahu kondisi kas sekolah saat ini. Uang yang ada di dalamnya tidak layak untuk menjalankan sebuah sekolah.
“Enam ratus ribu? Enggak ada Pak!” jawab Tari cepat. Nada suaranya sedikit ketus.
“Kata pak Kepsek minta di bu Tari?”
“Ga ada Pak! Lagian, saya ga peduli siapa yang minta. Mau kepsek kek, ketua yayasan kek, menteri pendidikan kek, bahkan presiden sekali pun! Pokoknya saya ga bisa ngasih uang segitu!” Tari berkata dengan tegas. Gamblang tanpa tedeng aling-aling. Bila ia mem- berikan uang sejumlah itu, sekolah hanya mempunyai sedikit sekali sisa uang di kas.
Pak Hasan tampak kebingungan. Ia seperti ingin mengutarakan sesuatu tapi tak jadi diungkapkan. Sedang Tari tak bergeming dengan pendiriannya. Kali ini Tari berkuasa penuh atas keuangan sekolah. Tari tak mau lagi kebingungan karena kekurangan uang untuk biaya operasional. Ia ingin pihak yayasan mengusahakan uang dari sumber lain. Bukan dari kas sekolah yang sudah morat-marit.
Setelah yakin tidak akan mendapat uang yang diminta. Pak Hasan pun berpamitan.
Beberapa waktu kemudian, pak Hasan membawa pesawat telepon yang baru. Tari tidak tahu dari mana uang untuk membelinya. Tari sudah mengundurkan diri dari tugasnya dalam manajemen sekolah di akhir tahun pelajaran. Kesehatannya mulai menurun. Ia sudah tak sanggup lagi memikul tugas yang teramat berat.

Awal dari Sebuah Cerita

Pff… Badanku rasanya tak berbentuk. keluh Tari sambil memukul-mukul pundaknya perlahan. Pegal menjalari setiap persendian. Kepala pun terasa sakit. Sudah tiga hari Tari demam tinggi. Obat dari dokter belum sanggup meredakan sakitnya.
Sekalian pergi ke dokter, Tari menanyakan perihal wajahnya yang hampir tiga bulan ke belakang terserang banyak sekali jerawat.
Biasanya ia tak mempunyai banyak  jerawat–karena kulit wajahnya sangat kering. Hanya satu dua saja yang kadang muncul bila Tari lalai membersihkan wajah atau ketika menjelang haid.
Tari sudah memakai obat jerawat yang dijual bebas. Tapi, setelah mengering, jerawat tumbuh kembali dengan suburnya. Bak cendawan di musim hujan.
Setelah mengamati jerawat di wajah Tari, dokter menyarankan Tari memakai susu pembersih, bukan sabun wajah.
Hari ini Tari memutuskan untuk berisitirahat saja di rumah. Dua hari kemarin ia masih memaksakan diri pergi ke sekolah.
Menjelang malam, badan Tari semakin tidak nyaman. Bahkan ia selalu memuntahkan kembali makanan yang sempat masuk ke dalam perutnya. Demi melihat keadaan Tari, bapak dan Aa langsung melarikan Tari ke rumah sakit Ujung Berung. Tari langsung dibawa ke UGD, Unit Gawat Darurat.
“Demamnya sudah berapa hari?” Tanya seorang dokter muda sebelum memeriksa Tari.
“Tiga hari Dok!” jawab Tari pendek. Ia merasa tangannya pegal sekali. Seorang perawat mengikat tangan kiri Tari pada bagian atas siku setelah ia mengambil sampel darah. Ia mengikat tangan Tari dengan alat yang terbuat dari karet. Seperti ikat pinggang anak- anak. Setelah itu, ia meninggalkan Tari.
Setelah sang dokter memeriksa Tari dengan stetoskopnya, ia pun mengamati lengan Tari. Lalu sang dokter keluar dari ruang UGD. Beberapa saat kemudian masuklah perawat tadi. Ia membuka ikatan pada lengan Tari. Lega. Darahnya kembali mengalir dengan lancar.
Setelah itu, cukup lama Tari dibiarkan terkapar di kasur pemeriksaan. Tari mengedarkan pandangan. Bapak dan Aa entah berada di mana. Di tempat yang agak jauh, ia melihat ada pasien lain, seorang pemuda. Ia ditunggui oleh seorang wanita paruh baya. Si pemuda tampak kepayahan. Napasnya tersengal.
Tiba-tiba bapak datang. Sendiri. “Harus dirawat, kena DB!” keluh bapak sambil mendekati tempat pembaringan Tari. Bapak menatap Tari sayu. Tergurat kesedihan di wajahnya. Tari hanya bisa diam. Mentafakuri wajah letih bapak.
Ini kali ketiga Tari harus dirawat. Ini pun kali kedua Tari terserang DB. Demam berdarah. Penyakit yang disebabkan karena ulah si nyamuk nakal.
Serangan pertama terjadi ketika Tari masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu semua biaya ditanggung oleh tempat bapak bekerja. Namun sekarang Tari tidak mendapat jaminan kesehatan karena sudah lulus kuliah dan umurnya sudah 26 tahun.
“Tapi semua ruangan penuh, kita ke al-Islam saja.” Lanjut bapak sambil menolong Tari bangun dari posisi tidur dan membimbingnya menuruni kasur pemeriksaan. Bapak lalu memapah Tari kembali ke mobil. Sementara Aa baru saja beres mengurus hasil lab.
Ternyata al-Islam tidak bisa menerima pasien baru. Ketika mereka tiba di sana, sedang terjadi gangguan listrik di UGD. Katanya ada ledakan pada salah satu alat listrik. Akhirnya atas saran petugas jaga, Tari dibawa ke rumah sakit lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari al-Islam.
Tari mendapat perawatan intensif di sana. Setiap hari sampel darahnya diambil untuk memeriksa jumlah trombosit. Itu artinya, setiap hari jari jemari Tari ber- gantian merasakan tusukan jarum tajam.
Perbaikan kondisi tubuh Tari sedikit lebih lambat dari pasien lain yang sama-sama terkena DB. Baru setelah delapan hari, jumlah trombositnya mulai menunjukkan kenaikan sehingga Tari pun diperbolehkan pulang.
Beberapa jam semenjak kepulangan dari rumah sakit, kondisi Tari kembali melemah. Tak ada satupun makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya. Semuanya akan dimuntahkan kembali. Tidak terkecuali air.
Setelah menunggu semalaman, alih-alih membaik, kondisi Tari semakin memburuk. Lemas menjalari tubuh Tari.   Rasanya  ia  sudah  tak  punya  tenaga   lagi.   Bahkan
untuk duduk sekalipun. Bibir, lidah, dan mulutnya melepuh. Lebih dari dua belas jam Tari tak mendapat asupan air dan makanan.
Tari pun dilarikan kembali ke rumah sakit tempatnya dirawat. Setiba di UGD, perawat malah menyuruh Tari dibawa ke klinik penyakit dalam dengan alasan Tari adalah pasien rawat jalan. Ia bahkan tak memanggil dokter jaga. Ketika bapak menyebutkan kondisi Tari yang sudah sangat lemah, ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Akhirnya−dengan rasa kesal, bapak membawa Tari menggunakan kursi roda ke klinik penyakit dalam yang letaknya agak jauh dari UGD. Setelah menunggu lama, akhirnya Tari bisa mendapatkan pemeriksaan dokter juga.
“Coba buka mulutnya!”
Dokter yang sudah berumur itu menggelengkan kepalanya ketika melihat kondisi mulut Tari. Ia menghampiri meja, lalu menuliskan sesuatu.
“Diinfus lagi ya!”
“Dok, sudah bosen diinfus terus!” keluh Tari pada sang dokter.
“Habisnya kamu kan ga bisa makan.” bujuk sang dokter.
Akhirnya Tari hanya bisa mengangguk pelan sebagai tanda setuju. Setelah itu bapak menolong Tari turun dari ranjang. Agak sulit baginya untuk naik turun ke atas ranjang. Tari sudah tak punya tenaga lagi. Bapak memapah Tari ke atas kursi roda lalu membawanya keluar ruang periksa. Bapak menyuruh Tari menunggu. Bapak akan mengurus administrasi rawat inap.
Setelah cukup lama, bapak datang bersama seorang perawat. Mereka membawa Tari ke ruang inap. Ternyata itu adalah kamar yang ia tempati sebelumnya.
Sesampainya di kamar, Tari dibiarkan terkapar sendirian. Tari sudah sangat kelaparan, tapi ia tak berani menyentuh makanan karena sudah dapat dipastikan semua yang disantapnya akan dimuntahkan kembali. Akhirnya Tari hanya diam. Menatapi langit-langit kamar.
Menjelang tengah hari, dua orang perawat datang. Mereka menginfus Tari dan menyuntikkan dua macam obat melalui selang infus. Obat berwarna kuning dan yang tidak berwarna. Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Tari terjangkiti virus hepatitis A.
Setelah mendapat suntikan, Tari bisa menikmati makanannya. Tak ada sedikit pun makanan yang termuntahkan. Belakangan Tari baru tahu bahwa obat- obat suntikan itu berharga ratusan ribu satu ampulnya. Tari mendapat suntikan beberapa kali sehari. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh Bapak?
Selain mahal, obat itu pun sulit didapat. Kebetulan rumah sakit tempat Tari dirawat tidak mempunyai persediaan obat yang banyak. Akhirnya keluarga Tari harus berkeliling mencari obat tersebut di rumah sakit lain.
Tari disuntik selama tiga hari. Setelah itu, ia mendapat “jamu” impor. Tari menyebutnya demikian karena semua arahan dalam kemasan obat rasa jeruk itu menggunakan bahasa Inggris. Obat itu berbentuk serbuk dan dikemas dalam sachet sekali minum. Meminumnya  harus diseduh, sama seperti meminum jamu. Obat ini pun sulit didapatkan. Persediaan di rumah sakit juga terbatas. Lagi-lagi keluarga Tari harus berkeliling mencarinya di rumah sakit lain.




Makasih!

Para penjenguk sudah lama berpamitan. Sekarang tinggal Tari sendiri. Sebetulnya tidak benar-benar sendiri. Ada enam orang dalam satu ruangan kelas tiga. Perbandingan yang masih layak untuk ukuran kamar yang cukup besar ini.
Kadang ada tambahan satu penghuni di ujung ruangan. Di setiap ruangan tersedia kamar mandi pasien. Masing-masing dua buah.
Sekitar jam delapan malam, datang seorang perawat membawa cairan suntikan. Perawat yang ramah. Baru kali ini Tari melihatnya. Setelah memohon izin menyuntikkan cairan obat ke selang infus Tari, ia pun mulai beraksi.
“Teh, sekolah di mana?” sang perawat mencoba mencairkan suasana. Sementara tangannya terus bekerja.
“Emh… aku udah lulus!” Tari menjawab sambil mengulum senyum. Ia menebak, pertanyaan selanjutnya akan salah juga.
“Oh, kuliah ya? Kuliah di mana?” sang perawat tampak sedikit kaget. Namun ia kembali bertanya.
Tuh kan! Betul dugaanku. Pasti sang perawat tidak melihat papan kecil yang digantungkan di tempat tidurku ya! Di sana tertulis umurku, dua puluh dua tahun. Dan itupun salah, umurku sudah dua puluh enam tahun! Tari berkata-kata sambil tersenyum sendiri. Dalam hati.
“Saya sudah lulus” Tari tersenyum lebar. Sang perawat tampak terkejut lalu tertawa kekeh
“Oh? Jadi, kerja? kerja di mana?”.
“Saya ngajar!” jawab Tari pendek.
“Ibu guru ya! Pantas baca-baca buku terus!”
Tari melirik tempat tidurnya. Organizer dan beberapa helai kertas tergeletak begitu saja. Tari sedang menulis sesuatu untuk diusulkan pada rapat guru yang katanya akan diadakan hari Kamis. Ia pastinya tidak akan ikut rapat. Sekarang saja, hari Senin, Tari masih terkapar di rumah sakit. Usul ini akan ia titipkan pada temannya yang nanti datang ke rumah sakit.
Tari tertawa kekeh menjawab celetukan sang perawat.
“Nah, udah selesai.” Ia menarik suntikan dari selang infus. Tari merasakan tangannya linu pada tempat ditusukannya jarum infus. Mungkin jarum infus sedikit tertarik. Ketika jarum suntik ditusukkan ke selang infus pun, Tari merasakan hal yang sama. Tampaknya jarum infus sedikit tertekan masuk ke dalam pembuluh darah.
Kondisi ini masih lebih baik daripada ketika Tari dirawat sewaktu SMA dulu. Waktu itu cairan pekat disuntikkan lewat kulit. Sebanyak enam belas kali dalam empat hari. Sehari empat kali suntikan. Sepulang dari rumah sakit, Tari merasakan linu setiap kali duduk. Setelah lebih dari satu bulan, rasa linu baru hilang.
Sang perawat dengan cekatan membereskan baki yang berisi alat suntik. Ia pun pamit. Baru saja Tari membuka mulut untuk mengucapkan terima kasih, sang perawat mendahuluinya.
“Makasih!” ia tertawa kecil. Sejenak Tari tertegun. Kok malah dia yang mengucapkan kata-kata sakti itu? Lalu Tari tersadar, jangan-jangan ia menjadi pusat pembicaraan di ruang perawat. Pasalnya di ruangan itu hanya Tari dan keluarganya yang selalu mengucapkan terima kasih. Kepada bapak yang membersihkan lantai, pengirim makanan, dokter, maupun perawat. Sedang ucapan terima kasih dari mulut para pasien atau keluarga yang lain jarang terdengar.
Tari tertawa gelak melihat kelakuan sang perawat. Lalu ia membidik sang perawat dengan tangan kanannya. Tangan kiri Tari tertancapi jarum infus, tak leluasa digerakkan. Akan lebih mantap bila Tari bisa meng- gunakan dua tangan untuk membidiknya.



Kejanggalan

Selama Tari dirawat di rumah sakit, keluarganya bergantian menjaga Tari. Sepulang kerja, Aa dan Mumu datang ke rumah sakit. Mereka bergantian menginap. Pagi harinya mama datang menggantikan mereka dan membawa baju bersih. Begitu setiap hari.
Selama Tari terkapar di tempat tidur, Tari dapat merasakan kasih sayang yang tak pernah terucapkan oleh lisan mereka. Hanya dari sorot mata, tingkah laku serta gerak tubuh mereka Tari bisa menangkap “sinyal” kasih sayang itu.
Setelah dirawat empat hari, Tari diperbolehkan pulang. Namun, di rumah pun Tari masih merepotkan mama. Mama harus memasak makanan yang berbeda karena Tari  masih harus menjalani diet rendah lemak. Untuk meringankan pekerjaan mama, Tari sering dibelikan nasi tim yang sudah jadi.
Setelah keluar dari rumah sakit, Tari masih diberi resep jamu impor. Selama mengkonsumsi obat tersebut di rumah sakit, Tari tidak merasakan hal yang aneh pada tubuhnya. Tapi setelah pulang ke rumah, badannya mulai bereaksi tidak normal terhadap obat itu.
Beberapa saat setelah mengkonsumsi obat, pinggang atas bagian belakang terasa pegal dan panas. Untuk mengatasi gejala tersebut, Tari minum segelas air putih sebelum minum obat dan setiap hari minum sedikitnya delapan gelas. Namun, gejala tersebut tidak juga hilang. Selain itu, jadwal buang air besar pun menjadi sangat tidak teratur. Bahkan sampai empat hari sekali. Padahal sebelumnya ia tak pernah mengalami sembelit.
Pernah Tari mengkonsultasikan gejala tersebut kepada dokter. Ia hanya menjawab dengan ringan, Tari harus memperbanyak minum. Setelah dijelaskan bahwa Tari sudah melakukan antisipasi itu. Ia hanya tersenyum. Tari pun menyebutkan bahwa ia pernah terkena batu ginjal dan infeksi saluran kencing.
“Ga apa-apa, obatnya diminum terus.” saran sang dokter.
Sesuai saran dokter, Tari terus mengkonsumsi obat tersebut. Setelah lebih dari dua puluh bungkus, dokter baru menghentikan resep obat itu.
Namun, setelah menghabiskan jamu begitu banyak, keanehan mulai terjadi. Jadwal ke kamar mandi untuk buang air kecil menjadi sangat sering. Kurang dari satu jam sekali. Saat itu Tari tak terlalu meributkan hal tersebut.
Setelah beristirahat selama seminggu di rumah, Tari pun memulai aktifitasnya kembali. Mengajar di sekolah dan memberikan les privat.
Kali ini Tari datang ke sekolah hanya sebagai guru. Bukan lagi kepala TU. Selepas pengunduran dirinya, pihak yayasan     mendatangkan     tiga  orang   guru   baru   untuk mengisi posisi-posisi kosong dalam manajemen dan seorang staf TU.

***

Hanya selang beberapa hari setelah Tari keluar dari rumah sakit, jerawat yang tumbuh subur di wajahnya beberapa waktu yang lalu menghilang secara ajaib dari wajah Tari. Mungkin jerawat adalah penanda liver Tari sedang terganggu. Berarti, livernya sudah lama sakit. Jauh sebelum Tari terkena DB.
               




Tambahan Pengetahuan

Tari tersenyum melihat pengumuman yang ditempelkan olehnya tempo hari. Pengumuman yang berwarna-warni itu terpampang di jendela laboratorium sehingga terlihat jelas oleh orang-orang yang akan memasuki “area sekolah”.
Kemudian Tari melangkahkan kaki melangkahkan kaki menuju tangga yang hanya berjarak sekitar dua meter dari tempatnya berdiri. Ia meniti anak tangga satu demi satu dengan semangat. Hari ini adalah hari pertama ia mengajar di kelas X.
Tak perlu waktu lama bagi Tari untuk sampai di lantai dua. Sekejap mata saja ia sudah berada di depan pintu kelas XB.  Suara gaduh terdengar dari dalam kelas. Tari mengintip keadaan kelas melalui sela pintu yang sedikit terbuka. Kebetulan, seorang siswa yang berada di barisan paling depan memergoki kegiatan Tari. Ia segera memperingatkan teman-temannya untuk menghentikan kegaduhan yang mereka ciptakan.
Seorang anak lain yang duduk di bangku yang paling dekat dengan pintu tergopoh membukakan pintu.
“Assalamualaikum!” Tari melangkahkan kakinya ke dalam kelas sambil mengucapkan salam.
“waalaikum salam...” Para siswa menjawab salam dengan nada suara yang berbeda-beda. Lebih terdengar sebagai guamaman masal.
Setelah menaruh buku-buku bawaannya di atas meja guru, Tari segera mengambil posisi di depan kelas. Membagi jajaran bangku-bangku menjadi dua bagian yang sama banyak.
“Bagaimana liburan kalian? Menyenangkan?”
Tari membuka pertemuan dengan sapaan yang terasa sangat basi olehnya sendiri. Ia tak memperkenalkan diri layaknya guru-guru lain yang baru mengajar di suatu kelas. Tari tak merasa harus membuka pertemuan dengan memperkenalkan dirinya kepada para siswa. Para staf TU jauh lebih populer daripada beberapa guru. Bahkan orang tua para siswa lebih mengenal para staf TU dibandingkan beberapa “pejabat” sekolah.
“Kurang lama liburannya Bu!” seorang siswa men- jawab pertanyaan Tari dengan sebuah celetukan. Beberapa siswa mengiyakan pendapat temannya. Suara riuh rendah pun diperdengarkan.
Tari hanya tertawa kecil menanggapi celetukan tersebut. Ia hapal betul bila semangat belajar sebagian besar siswanya sangat rendah. Tanpa banyak basa-basi lagi, Tari memulai pelajaran.
“Oke, kalian bawa tugas yang ibu berikan?”
“Bawa Bu!” para siswa menjawab koor.
“Ya, siapkan tugasnya di atas meja!”
Sambil menunggu para siswa menyiapkan tugas- nya, Tari melemparkan pandangan ke seluruh kelas. Tampaknya setiap bangku sudah mempunyai set tugasnya masing-masing.
Pengumuman
Siswa kelas XA dan XB diwajibkan membawa:
*    Mangkuk plastik berukuran sedang (satu buah)            
*    Gelas bekas air mineral (dua buah)
*      Satu gelas diisi air sampai penuh
*      Satu gelas diisi air setengah penuh
Dibawa hari Selasa, 24 Juli 2007
NB: setiap bangku menyiapkan satu  set perlengkapan
Bandung, 20 Juli 2007
*    Mentari
Guru Bid. Stud. Kimia

 




“Terus,


Tambahan Pengetahuan

Ternyata mengajar di sekolah farmasi membuat pengetahuan Tari bertambah banyak. Walau kebanyakan materi pelajaran di sekolah farmasi berisi tentang obat dengan bahan kimia sintetis, namun di sini Tari mulai mengenal obat herbal.
Selain dari buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah, sumber pengetahuannya berasal dari diskusi dengan guru-guru yang mengajar kefarmasian.
Ternyata beberapa dari mereka justru memper- dalam ilmu tentang obat-obatan yang didapat dari bahan alami.
Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum Tari mengenal dunia pengobatan herbal, Tari sudah mengurangi peng- gunaan obat-obatan kimia. Penyumbatan pembuluh darah dan serangan pada jantungnya membuat Tari harus minum banyak sekali obat dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, Tari berusaha membatasi obat  kimia  yang  masuk  ke  dalam  tubuhnya.  Ia tak  mau mendapat sakit yang baru karena dampak pemakaian obat-obatan kimia itu.
Untuk sakit ringan seperti flu, Tari sama sekali tak pernah mengkonsumsi obat. Minum air putih secukupnya dan “membongkar muatan” di hidungnya sesering mungkin, cukup ampuh mengusir flu. Biasanya, dalam seminggu flu sudah hilang. Begitu pula dengan pusing atau sakit kepala. Tari hanya menambah porsi istirahat sedikit lebih banyak. Biasanya dalam tiga hari Tari sudah bisa pulih kembali.
Namun, bila harus mengkonsumsi obat, Tari mencoba meminum obat yang tidak memperberat kerja jantung. Biasanya Tari mengkonsumsi obat flu anak-anak untuk mengatasi demam dan sakit kepala yang tak tertahankan.
Bila Tari pergi ke dokter dan mendapatkan antibiotik, Tari minta resep antibiotik setengah dosis orang dewasa. Jantungnya selalu berdebar bila meng- konsumsi antibiotik satu dosis penuh.
Dari informasi-informasi yang ia peroleh, Tari mengambil satu kesimpulan: pengobatan herbal lebih bersifat membantu tubuh untuk memperbaiki dirinya sendiri. Entah dengan meningkatkan imunitas tubuh ataupun dengan merangsang pertumbuhan sel-sel tubuh yang baru.
Oleh karena itu, pengobatannya lebih bersifat general. Satu obat herbal tidak hanya dapat mengobati satu penyakit.
Namun walaupun general, obat herbal juga bekerja secara spesifik. Obat herbal bekerja pada bagian tubuh yang paling memerlukan perbaikan. Ia pun hanya membunuhi organisme merugikan yang ada dalam tubuh. Sedangkan organisme yang baik tidak ikut dimusnahkan.
Karena cara kerja obat yang seperti itu, dalam kacamata pengobatan herbal, hampir semua penyakit dapat diobati. Bahkan penyakit degeneratif–macam diabetes, dan kanker pun dapat disembuhkan. Dan hal yang paling menarik dari obat tersebut adalah, hampir tidak ada efek samping untuk pemakaian jangka panjang.
Cara kerja obat herbal jauh berbeda dengan obat kimia sintetis. Obat kimia hanya dikhususkan untuk satu penyakit saja.
Perbedaan cara kerja kedua jenis obat tersebut sangat terlihat pada antibiotik dan obat kemoterapi. Antibiotik akan memborbardir tidak hanya mikro- organisme yang jahat, mikroorganisme baik pun seringkali ikut dibunuh. Cara kerja obat kemoterapi sama saja dengan antibiotik. Seringkali, bukan hanya sel-sel kanker yang dibasmi, sel-sel sehat di sekitar sel kanker pun bisa ikut mati.
Pemakaian obat kimia sintetis dalam jangka panjang hampir bisa dipastikan akan menimbulkan gangguan pada organ tubuh. Biasanya organ yang terganggu–pada beberapa kasus bahkan rusak, adalah lambung, liver, dan ginjal.
Setelah mendapatkan banyak informasi, Tari pun mulai mengkonsumsi obat-obatan herbal. Satu hal yang menjadi catatan Tari dalam mengkonsumsi obat-obatan tersebut adalah, mencari pabrik yang bisa dipercaya. Ditandai dengan terdaftar di Dinas Kesehatan dan mendapat sertifikat halal.
Ada perubahan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Badan Tari yang selalu terasa lemas, menjadi sedikit lebih segar.  Setelah mendapat hasil yang positif, Tari mulai membuka kasus klep jantungnya  yang  sudah  lama  ditutup.   Setelah   Tari memutuskan untuk tidak menjalani operasi, ia bertekad meneruskan hidup apa adanya. Ia tak pernah melihat ke belakang untuk mengkaji ulang keputusannya. Pun, ketika teman Tari menawarkan bantuan biaya operasi lewat yayasan yang didirikannya.
Tari berburu informasi di internet. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jantungnya. Ternyata tidak ada informasi yang sama persis dengan kasus yang ia alami. Namun, berdasarkan beberapa informasi tentang jantung bocor dan penyumbatan pembuluh darah, Tari mencoba mengambil sebuah kesimpulan: kemungkinan besar, sebagian jaringan otot jantungnya mengalami infark atau kematian. Sama seperti yang terjadi pada penderita stroke. Yang berbeda hanyalah tempatnya. Stroke terjadi karena adanya kematian sebagian jaringan otak.
Penderita stroke yang mendapat penanganan tepat dapat kembali sehat. Berarti jaringan yang mati bisa tumbuh lagi. Artinya, jantungnya pun bisa sembuh kembali. Tanpa operasi!
Berbekal keyakinan itu, Tari mulai mencari obat- obatan herbal yang bisa merangsang pertumbuhan sel-sel tubuh yang baru.
Beberapa obat ia jajal, namun belum membuahkan perubahan yang berarti. Tari terus mencoba. Mencari obat mana yang paling bagus untuk kesembuhan jantungnya.
Sampai akhirnya, datang Sari membawa produk suplemen herbal dari sebuah MLM. Produk suplemen yang  ia tawarkan bermacam-macam. Selain suplemen yang berasal dari tumbuhan, ada juga yang bahannya di- dapatkan dari hewan.
Tari pun memilih dua produk, yang berasal dari daun alfalfa dan ekstrak teripang.
Bagi Tari, harga obat-obatan tersebut sangatlah mahal. Tabungannya yang tak seberapa terkuras habis. Sampai-sampai rekening tabungan Tari pun ditutup karena ia tak sanggup lagi menabung. Namun hasilnya setimpal.
Beberapa bulan setelah mengkonsumsi produk tersebut, terjadi perubahan yang sangat nyata. Kelelahan yang selalu menggelayuti tubuhnya berhasil ia singkirkan. Kondisi jantung Tari mengalami perbaikan yang sungguh luar biasa. Napasnya terasa lebih ringan.
Tari baru merasakan kembali bagaimana rasanya sehat yang sesungguhnya setelah−hampir setiap hari, selama delapan tahun bergelut dengan rasa sesak dan nyeri di dada.
Namun ada efek lain dari suplemen yang ia minum tersebut. Tari tak pernah menduga sebelumnya. Suara berderik di lutut kanan yang sudah dialaminya bertahun- tahun, hilang sama sekali.
Selain itu, rambutnya yang rontok habis-habisan setelah serangan hepatitis A pun mulai tumbuh dengan subur kembali.
Sesekali jantung Tari masih mengalami masalah. Tapi masa pemulihan dari kondisi drop sangat cepat. Hanya dalam hitungan hari. Padahal sebelumnya, bila jantungnya drop, butuh waktu berminggu-minggu untuk pulih. Bahkan bisa melebihi hitungan satu bulan.
Dulu, yang dimaksud dengan pulih adalah rasa menusuk pada dada dan punggung menghilang, namun sedikit sesak masih tersisa. Badan pun tetap tidak terasa bugar.
Suplemen yang berasal dari daun alfalfa mempunyai struktur yang mirip dengan darah, sehingga mudah diserap tubuh.  Ekstrak   teripang  yang  kandungan
proteinnya tinggi pun dikemas dalam bentuk jus sehingga lebih mudah dicerna. Keduanya menstimulus tubuh untuk beregenerasi, membentuk jaringan-jaringan baru. Mirip cicak yang bisa menumbuhkan kembali ekornya yang telah putus. Selain itu, suplemen-suplemen itu bisa mendorong keluar racun-racun yang bertumpuk dalam tubuh.




Pangeran Berkuda Putih

Malam telah larut ketika Tari selesai mengajar Kiki. Seorang anak hebat dengan otak menuju jenius. Tari mengajarnya bukan karena Tari lebih pintar. Tapi karena Tari lebih dulu tahu darinya.
Seperti biasa, sang mama akan mengajak mengobrol. Tidak hanya tentang perkembangan pembelajaran Kiki dan adiknya, Nisa. Banyak hal menjadi topik pembicaraan mereka. Seperti malam ini, bu Mari−mama dari dua murid privat Tari, datang bersama kakaknya. Setelah mengobrol ke sana kemari, tiba-tiba perbincangan menjadi serius.
                “Bu Tari, cepet nikah atuh! Nunggu apa lagi?” bu Mari dengan semangat memprovokasi Tari untuk segera menikah. Tari hanya bisa tersenyum untuk menjawab pertanyaan sang provokator.
                “Bu Tari teh pengen yang kayak gimana? Emh… mau yang tinggi kali?” ini lagi, bu Ida, kakak bu Mari tak kalah gesit dengan adiknya.
Lagi-lagi Tari hanya bisa tersenyum. Namun, demi mendengar perkataan bu Ida, terbitlah air mata Tari.
Ibu-ibu yang kusayang, tolong jangan salah menilaiku. aku tak menetapkan standar yang tinggi untuk kriteria calon suami. Cukup bertanggung jawab dan sanggup membimbingku menempuhi kehidupan ini dengan cara yang Alloh ridhoi. Tari berkata-kata dalam hati. Itu saja mimpi dari jiwa sederhananya. Berlebihankah?
“Bu Tari, pasti ada yang suka sama bu Tari kan?” Lanjut bu Ida lagi. Tari kebingungan menjawab pertanyaan itu. Sejenak Tari terdiam. Akhirnya Tari mengangguk. Erdi. Seorang temannya yang sudah mengejarnya sejak dari semester pertama. Cinta pada pandangan pertama, aku Erdi padanya. Bagaimana bisa cinta seperti itu bertahan hingga bertahun-tahun?
Berkali-kali Tari menolak niat baik Erdi. Sekali Tari menolak dengan halus, kedua masih dengan cara halus juga. Selanjutnya, kesabaran Tari sudah habis. Sikapnya menjadi sangat tidak bersahabat. Tari marah karena Erdi tidak bersikap realistis. Berulang kali Tari menyarankan agar ia mencari perempuan lain. Erdi bukan lelaki yang ia cari. Tapi Erdi tetap keukeuh dengan pendiriannya. Tari pun tidak kalah keukeuh menolaknya. Bagi Tari, satu keputusan yang telah terucap, pantang diubah lagi.
Hubungan mereka pun menjadi renggang, padahal dulu mereka berteman baik. Sampai perkuliahan berakhir pun ia masih saja menghubungi Tari. Menanyakan apakah ada tempat untuknya di hati Tari. Walau hubungan mereka mulai membaik di akhir perkuliahan, Tari tak bisa bersikap wajar seperti tidak terjadi apa-apa. Tari selalu menjaga jarak dengannya. Jauh-jauh.
                “Coba hubungi dia lagi ya… Barangkali ada salah, minta maaflah…” bu Ida mencoba memberi solusi.
Menanggapi kalimat terakhir pun Tari hanya bisa tersenyum. Getir. Mata Tari sudah berkaca-kaca. Namun Tari berusaha keras agar butiran bening itu tidak meleleh menuruni pipinya. Tari berhasil. Sampai berpamitan pulang pun, air mata hanya sanggup menggenangi kelopak matanya.
Umur Tari sudah genap dua puluh enam tahun, tapi ia selalu lupa usianya yang sebenarnya. Padahal ia telah menghabiskan seperempat abad bertualang di atas bumi ini. Pekerjaan sebagai guru privat membuatnya selalu merasa awet muda.
Tari berusaha menyesuaikan diri untuk bisa berada dalam dunia yang sama dengan murid-muridnya. Tapi hal itu tak menyulitkan Tari. Tari punya banyak sisi sanguinis. Setiap hari berinteraksi dengan para murid membuatnya gape menggunakan bahasa yang berlaku dalam dunia mereka. Baik bahasa lisan maupun bahasa tubuh.
Tak hanya itu, pakaian Tari seringkali sangat mencerminkan watak sanguinis sejati yang kekanak- kanakan. Sepatu coklat muda dengan hiasan tiga buah bunga di atasnya. Tas sport shock pink setia terselempang di pundaknya. Jam tangan dengan warna senada melingkari pergelangan tangan. Pun ketika akhirnya Tari mengajar di sekolah, penampilannya tak banyak berubah.
Pada dasarnya Tari tak punya target untuk segera menikah, walau dulu ketika masih kuliah sempat ingin menikah di usia dua puluh lima tahun. Tapi seiring berjalannya waktu, secara mental Tari tak pernah merasa siap untuk menikah. Ia belum mau menyesuaikan diri dengan orang asing yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Mengaturnya dan mencampuri urusannya.
Tapi yang terpenting, ia belum sanggup memikul tanggung  jawab   sebagai   seorang   istri.   Lagipula orang- tuanya tidak meminta Tari segera menikah. Bahkan menyinggung masalah pernikahan pun tidak pernah.
Namun, Tari bukanlah wanita tanpa hati. Hatinya pun tidak terbuat dari batu yang baal tak punya rasa. Ketika menghadiri pesta pernikahan teman-temannya, kadang terbersit pertanyaan: kapan tiba gilirannya?
Kata Yuli, dia dan Tari adalah wanita yang terlalu mandiri dan superior. Seolah tak memerlukan orang lain. Watak koleris dan melankolis berpadu begitu sempurna dalam diri mereka. Sehingga para lelaki enggan melirik mereka. Tari akui, seringkali ia tidak bisa mempercayai siapa pun kecuali dirinya. Tapi waktu itu ia berkilah, ia mempunyai banyak sisi sanguinis, jadi rasanya Tari tak semenyeramkan itu.
Namun sekarang Tari sadar, mungkin Yuli benar. Mungkin para ikhwan merasa tidak nyaman dengan wataknya yang membingungkan. Di satu sisi Tari adalah wanita childish yang periang. Di sisi lain Tari sangat tertutup, kaku dan tidak bisa ditawar untuk banyak urusan. Sehingga para aktifis itu tak sudi menjadikan Tari sebagai pendamping hidupnya.
Atau mereka enggan memilih Tari karena ia penyakitan? Entahlah, Tari tak yakin dengan dugaannya. Tapi Tari tak mau berlarut-larut memikirkannya. Umurnya masih dua puluh enam tahun. Bila berumur panjang, perjalanannya masih amat jauh. Mungkin bila sudah saatnya, akan ada pangeran berkuda putih yang mau menerimanya apa adanya.
Sekarang, Tari hanya ingin menikmati masa lajang. Mengisinya dengan cara yang ia suka. Kalau akhirnya tak ada seorang ikhwan pun yang datang, mungkin sudah nasib Tari menjalani hidup sendiri. Ia selalu mensugesti diri untuk siap menghadapi segala kemungkinan itu.
Walau ia terancam masuk IJO LUMUT club–Ikatan Jomblo Lucu dan Imut, Tari tak mau mengganti kriteria pangeran idamannya. Rasanya standar yang ia terapkan tak terlalu tinggi. Malah sudah mencapai batas minimal. Jadi untuk apa ia menggantinya? Atau malah menurunkan standar? Tari lebih suka mengubur mimpinya dalam- dalam daripada harus menggantikannya dengan yang lain.
Tari sudah bersiap-siap dari sekarang untuk menjadi jojoba−jomblo-jomblo bahagia, bila hal terpahit itu menimpanya kelak.










Ternyata,
Pangeran dengan BMW

“Bagaimana Teh?”
Suara itu membuyarkan lamunan Tari. Tari menengok ke arah suara berasal. Seorang lelaki berperawakan tinggi dan kurus sedang menatapnya. Menunggu jawaban.
Ia adalah seorang kenalan Tari. Seorang sales buku. Mereka bertemu di sekolah tempat Tari mengajar.
Tari menghela napas. Berat. Sejenak ia pandangi lelaki yang duduk terpisah lebih dari satu meter di sebelah kiri tempatnya duduk kini.
Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sepatu sport, celana jeans, jaket kulit, serta sebuah tas kecil ter- selempang di bahunya. Hanya itu yang bisa ditangkap Tari dalam alam sadarnya. Selebihnya Tari sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Benarkah semua ini? Ataukah hanya mimpi? Bila ia tahu semuanya, akankah ia tetap pada pendiriannya? Seribu tanya berdengung-dengung di telinga Tari.
“Kondisi saya seperti ini, saya punya banyak kekurangan. Akang bener-bener mau sama saya?” akhirnya setelah beberapa saat Tari angkat bicara. Nada suaranya tak bersahabat. Judes. Mungkin ini yang menyebabkan seorang ikhwan pernah mengurungkan niatnya berta’aruf dengannya. Lalu Tari terdiam.
Tari melemparkan pandangan lurus ke depan. Sore ini banyak anak-anak bermain futsal. Selain karena keributan yang mereka ciptakan, jarak tempat Tari dan sang ikhwan duduk pun terpisah cukup jauh. Sehingga keduanya harus sama-sama meninggikan suara.
“Memangnya kekurangan teteh apa saja?” sang ikhwan tampak mencoba mensikapi pernyataan Tari dengan bijak.
Pff… belum tahu dia! Seru Tari dalam hati.
“Pertama, temperamen saya tinggi. Saya mudah marah. Kedua, saya keras kepala. Ketiga, saya penyakitan.” Suara Tari bergetar menjawab pertanyaan sang ikhwan. Terlebih ketika menyebutkan poin terakhir. Pandangan Tari masih lurus ke depan. Tari gamang.
“Saya sakit jantung, baru saja terkena hepatitis A dan ginjal saya pernah bermasalah. Juga ada penyumbat- an pembuluh darah di kaki saya.” sang ikhwan tidak tahu riwayat kesehatan Tari karena mereka tak pernah mengobrol banyak. Bertemu pun sangat jarang.
Tari mengalihkan pandangan. Ia ingin menangkap ekspresi wajah ikhwan di pinggirnya ketika mendengar semua pemaparannya. Tari menduga akan mendapati dahi yang berkerut maksimal atau bahkan mulut yang ternganga. Namun, Tari salah. Ia tak mendapati mimik itu.
Ikhwan tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang ada dalam kunyahan pikirannya, ia tampak tenang. Justru malah Tari sendiri yang terkejut ketika ia tiba-tiba menanyakan nama lengkap Tari, seolah tak tertarik untuk mendengar penjelasan mengenai kondisi fisiknya dan mengalihkan pembicaraan.
“O iya Teh, nama lengkap Teteh siapa?”
Tari sempat ragu menjawabnya.
“Mentari Indah Kartika… Di rumah, saya dipanggil Tari.” Tari terdiam sejenak. Kekagetannya masih bersisa. “Kalo akang?” Tari cepat menguasai diri.
“Rijal Abdillah.”
Beberapa saat kemudian, benteng pertahanan Tari mengendur. Suasana mulai mencair. Partikel atmosfer melepas ikatannya satu sama lain. Mereka pun bisa bergerak bebas lagi. Pembicaraan mulai terasa nyaman. Obrolan mereka pun sampai pada pertanyaan tentang sifat orang tua masing-masing.
“Saya adalah copy-an sempurna dari bapak saya.”  jawab Tari dengan tenang. Tari dan bapak memiliki sifat yang hampir mirip. Keras kepala dan cenderung otoriter.
Walau sifatnya ini ramai diperbincangkan, namun Tari tak pernah menyesal mempunyai sifat seperti ini. Ia pun tak punya niatan untuk berubah. Hidupnya tidak seperti kebanyakan orang. Hanya dengan seperti itu Tari bisa bertahan. Tetap tegak berdiri menjalani hidup.
Pertemuan sore itu diakhiri dengan janji yang diberikan Rijal. Ia akan datang ke rumah Tari dua minggu lagi untuk membicarakan niatnya kepada bapak Tari.
Selama dua minggu Tari menunggu keseriusan niat Rijal. Bila ia serius dan mau menerima keadaan Tari, ia akan datang ke rumahnya.   Bila  tidak,  ia tak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah.
Ternyata, Rijal datang menepati janji. Ia datang ke rumah Tari dengan mengendarai BMW. Bebek Merah Warnanya. Bapak terlihat termenung menerima kedatangan Rijal. Tanpa ekspresi kegembiran, bapak berbincang dengan Rijal. Tari paham perasaan bapak. Bapak bukannya tidak gembira. Hanya saja, putri–kecil kesayangan, bapak dilamar oleh seorang sales buku yang tidak mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Sedang Tari secara berkala memerlukan pelayanan medis. Selain itu, penghasilan Rijal pun tidak terlalu besar.
Tapi bapak tidak menolak niat baik Rijal. Bapak menyerahkan segala keputusan pada Tari. Karena yang akan menjalani semuanya adalah Tari.
Dua minggu setelah itu, orang tua Rijal datang ke rumah Tari untuk membicarakan perihal acara lamaran. Dua minggu setelahnya, acara lamaran dilangsungkan. Tujuh bulan kemudian pernikahan mereka pun digelar. Tari menikah di usia dua puluh tujuh tahun.
Beberapa bulan yang lalu Tari sudah jengah dengan pertanyaan: kapan ia akan menikah? Orang-orang tak meraba hatinya ketika melontarkan pertanyaan macam itu. Mereka tak menyadari bahwa pertanyaan itu menyakiti Tari.
Kini Tari telah menemukan pendamping hidup. Namun selama beberapa bulan, ia masih merasa semuanya adalah mimpi. Terkadang Tari terbangun dari tidur dengan terkaget-kaget. Ada orang asing tidur di sampingnya!


Kunjungan Pertama

Sampai juga Tari di tujuan. Sebuah desa dengan pemandangan yang masih asri. Hawanya sangat sejuk. Ia masih dapat melihat hamparan hijaunya pesawahan, kebun-kebun ubi, jagung, bawang, serta rumpunan bambu. Pohon-pohon besar pun berjajar sepanjang jalan. Tidak lupa air yang mengalir melalui ruas-ruas bambu.
Pemandangan yang mereka lalui sungguh indah. Namun, Tari tak bisa menikmati keindahan itu. Sepanjang perjalanan ia berkonsentrasi melihat jalan sambil berpegangan erat pada pinggang suaminya. Tari diboncengi Rijal. Jalan di desa ini cocok sekali untuk dijadikan medan off road. Berlobang di sana-sini, tanjakan dan turunan yang  tinggi, serta tikungan-tikungan tajam. Bila hujan turun, bisa dipastikan jalan akan menjadi becek dan licin.
Pff… badanku pegal semua. Keluh Tari dalam hati. Satu setengah jam perjalanan yang melelahkan. Akhirnya ia sampai juga di desa  suaminya.  Baru  kali ini Tari datang kemari. Ketika keluarganya berkunjung satu kali ke desa ini sebelum ia menikah, ia tidak ikut.
Jadi Tari hanya bertemu keluarga suaminya sebanyak tiga kali di rumahnya. Ketika membicarakan acara lamaran, ketika lamaran dilangsungkan, dan ketika resespsi pernikahan. Jadi, mereka tidak terlalu mengenal karakter satu sama lain.
Sambil meregangkan badan, Tari mengedarkan pandangan. Mereka parkir di depan sebuah masjid. Bangunan yang sangat sederhana. Di seberang masjid adalah rumah tempat suaminya dibesarkan. Ada warung kecil di sebelah rumah. Katanya itu milik kakak Rijal. Kakak suaminya itu seorang guru SD dan juga mengajar di SMP Terbuka.
Di undakan tanah yang lebih rendah, ada sebuah rumah lagi. Itu adalah rumah nenek Rijal. Dulu Rijal dirawat oleh neneknya. Karena setelah melahirkan Rijal, ibu sakit keras.
Di seberang rumah nenek, ada rumah bibi Rijal. Memang cukup banyak keluarga yang berkumpul di daerah ini. Di sepanjang jalan yang tadi mereka lewati, ada rumah dua bibi lagi.
Kedatangan mereka disambut dengan baik. Awalnya Tari tidak percaya diri berkunjung ke rumah suaminya. Tari belum benar-benar pulih dari sakit hepatitis. Tari masih menjalani diet rendah lemak. Itu berarti makanannya akan terpisah dengan suami dan keluarganya. Ada perasaan malu terbersit di hati Tari karenanya. Namun, di luar dugaan, ternyata keluarga Rijal sangat memaklumi kondisi Tari.

Selamat
Menempuh Hidup Baru!

Setelah menikah, Tari tinggal di rumah yang dulu ditempati oleh keluarganya. Sedang keluarga Tari pindah ke rumah sebelah yang baru selesai dibangun beberapa bulan sebelum pernikahan Tari dilangsungkan.
Ternyata waktu tujuh bulan tak cukup lama untuk saling mengenal. Dan Tari merasa, waktu bertahun-tahun pun tak akan pernah cukup karena kehidupan yang sebenarnya terjadi setelah mereka tinggal satu atap. Walau Tari sudah “membaca” kepribadian Rijal sejak pertama mengenalnya, terkadang Tari masih saja dibuat terkejut oleh tingkah lakunya. Begitupun Rijal, walau dari awal Tari sudah bersikap senatural mungkin dan menerangkan tentang kepribadiannya secara terperinci, masih saja ia terheran-heran melihat kelakuan Tari.
Tari berusaha untuk menerima Rijal apa adanya.  Dan  Tari   yakin   Rijal  berusaha  lebih  keras  dari  dirinya. Dibandingkan dengan Rijal, Tari lebih kesulitan ber- adaptasi dengan kondisi kehidupan yang baru.
Mungkin, Tari adalah wanita paling “buas” yang pernah ditemui Rijal. Perlu kesabaran ekstra dalam menghadapi Tari, apalagi untuk mengubahnya. Rijal mengambil resiko itu ketika menikahinya.
Secara keseluruhan, kepribadian mereka memang sangat jauh berbeda. Tari lebih pemikir, sistematis, dan memperhitungkan segala kemungkinan dalam mengambil suatu tindakan. Bahkan hal-hal kecil sekalipun. Semua harus bisa memenuhi syarat yang diajukan oleh logikanya. Sedang Rijal lebih mengalir dan tak jarang melakukan “improvisasi”.
Sebenarnya perbedaan itu adalah anugrah bila mereka mampu mensinergikannya. Sehingga mereka bisa saling mengisi dan menutupi kekurangan masing-masing. Namun, pada kenyataannya, tak mudah menyatukan dua kepala, dua hati, dan dua latar belakang yang berbeda.
Di bulan-bulan awal pernikahan, seringkali mereka menarik diri masing-masing ke titik ekstrim, sehingga mereka berada pada dua kutub yang sama sekali berlainan. Hal ini yang menimbulkan gesekan-gesekan di antara mereka. Padahal kadang yang diributkan hanyalah hal-hal kecil. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai mencoba saling memaklumi.
Setelah menikah, Tari masih meneruskan mengajar di sekolah. Namun Rijal hanya mengizinkan Tari mengajar di satu kelas saja. Ia mengkhawatirkan kesehatan Tari. Mengajar privat pun masih dijalani Tari. Ia mengajar enam orang anak.
Penghasilan suaminya ditambah penghasilan Tari cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Termasuk untuk membeli suplemen kesehatan untuk Tari. Mereka pun mulai mencoba pengobatan alternatif lain. Pengobatan dengan transfer energi.
Saat itu Tari merasa mempunyai segalanya. Tak kekurangan suatu apapun. Tapi ternyata roda berputar. Tari harus mengalami banyak ujian yang datang silih berganti. Terus menerus.
Sebulan setelah menikah, tiba-tiba Tari terserang maag yang cukup parah. Sampai-sampai Tari dua kali dilarikan ke UGD karena seharian memuntahkan kembali semua makanan yang ia santap. Tari memilih pergi ke UGD agar mendapat suntikan yang bisa menghentikan penderitaannya seketika itu juga.
Padahal, sepanjang hidupnya, Tari tak pernah mengalami serangan maag sehebat itu. Pola makan Tari cukup bagus. Pada dasarnya ia selalu mengusahakan makan tiga kali sehari. Bila berada di luar rumah sekalipun, Tari menyengajakan mampir ke warung nasi. Bahkan, bila sempat, Tari akan membawa bekal makan siang dari rumah.
Kebiasaan membawa bekal makan siang sudah ia mulai sejak SMA. Hingga sekarang kebiasaan itu masih dilakoninya. Hanya saja, Tari memang sering terlambat makan malam. Itupun bukan karena faktor kesengajaan. Ketika jam makan malam tiba, Tari hampir selalu ada di rumah muridnya. Mengajar privat. Jadi tak mungkin baginya makan malam tepat waktu.
Tetapi usut punya usut, bukan kebiasaan makannya yang membuat maag Tari tiba-tiba parah. Tapi karena kecerobohannya ketika mengkonsumsi produk minuman kemasan.
Beberapa waktu sebelum pernikahan, Tari rajin mengkonsumsi bandrek instan. Tari tertarik pada kan- dungan jahe dalam bandrek tersebut.
Kemudian Tari pun rutin meminum bandrek instan setiap hari. Kesalahan pertama yang ia lakukan adalah, ia tidak membaca komposisi bandrek instan tersebut. Ke dalam bandrek tersebut ditambahkan cabai jawa. Kesalahan kedua, Tari meminumnya pagi hari sebelum sarapan. Bisa dibayangkan lambung Tari menderita selama mengkonsumsi minuman itu.
Dan tampaknya bukan hanya lambungnya yang menanggung akibat kecerobohan Tari, tapi liver pun ikut menderita. Tari sering merasakan kembung pada perut bagian kanan atas. Menurut bu Oce−terapisnya, liver Tari belum sembuh total. Jadi dietnya masih harus diperpanjang. Padahal, sudah lebih dari enam bulan Tari menjalani diet rendah lemak. Tari hanya bisa meng- konsumsi makanan yang direbus atau dikukus.
Tari tak menyadari bahwa tragedi bandrek instan hanya ujian yang sangat kecil bila dibandingkan dengan ujian-ujian lain yang akan datang




Semua Baru Permulaan

Suatu malam, dua bulan setelah pernikahan, Tari dikejutkan oleh rasa sakit yang menyerang pinggang bagian belakang. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Ber- campur dengan rasa pegal dan panas.
Ketika pagi tiba, rasa nyerinya sedikit berkurang, tapi tak benar-benar hilang. Akhirnya Rijal memutuskan untuk membawa Tari ke rumah sakit.
Di sana Tari ditangani oleh seorang dokter wanita yang masih muda. Setelah memeriksa Tari, ia duduk di belakang mejanya. Tari pun turun dari kasur pemeriksaan lalu duduk di depan sang dokter.
“Aneh, sakitnya di pinggang bagian atas. Itu kan ginjal…” sang dokter menggantungkan kalimatnya. Ia terdiam sejenak, kemudian menuliskan sesuatu di atas secarik kertas kecil.
“Periksa urin ke lab aja ya! Saya kasih pengantar- nya. Kalau sudah ada hasilnya, kembali lagi ke sini!” lanjut sang dokter lagi.
Tanpa banyak bertanya, Tari dan Rijal langsung menuju lab. Tak berapa lama, mereka sudah bisa mendapatkan hasil pemeriksaan urin. Mereka pun kembali ke ruang periksa dan menyerahkan hasil lab kepada sang dokter.
 “Harusnya dalam urin tidak ditemukan leukosit. Ini ada. Banyak lagi!” Dokter muda itu terdiam sejenak. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Tari hanya me- mandangi sang dokter. “Kemungkinan ada infeksi ya?” Lanjutnya lagi. Tari pun mengangguk-angguk.
Tari memang tak pernah mendapat kuliah kedokteran, tapi Tari sering membaca artikel-artikel kesehatan.
Selain karena Tari senang memenuhi otaknya dengan informasi tentang kesehatan, Tari merasa menjadi konsekuensi logis bagi orang sakit macam dirinya untuk memperkaya pengetahuan. Anggap saja sebagai pen- cegahan agar ia tidak mendapat penyakit baru karena ketidaktahuannya. Jadi, Tari paham bahwa telah terjadi infeksi dalam tubuhnya.
“Hanya saja, tadi yang sakit pinggang bagian atas ya? Takutnya yang kena infeksi adalah ginjalnya…” ia kembali terdiam. “Ini juga ada protein di urin...” Gumamnya sejurus kemudian. Dahinya sedikit berkerut.
Nah, kalau bagian yang ini Tari tak mengerti. Kenapa ada protein di urin? Sang dokter lalu meraih buku kecil di dekat tangannya dan menulis sesuatu di dalamnya.
“Saya kasih antibiotik saja ya! Antibiotiknya dihabiskan! Bila masih ada keluhan, kembali lagi ke sini! Ini juga ada penahan sakitnya. Diminum kalau masih terasa sakit.” Ia menunjuk tulisan-tulisan yang dibuatnya dalam buku kecil itu. Nama-nama obat dan jumlahnya. Sebuah resep obat.
“Maag-nya bagus tidak? Kalau tidak, saya kasih obat maag. Obat penahan sakitnya cukup asam untuk lambung.”
“Enggak Dok!” Tari menggeleng sambil nyengir.
Sang dokter pun menuliskan tambahan obat dalam resep.
“Obat maag-nya diminum sebelum obat penahan sakit! Obatnya ada yang sebelum makan, ada juga yang sesudah makan.” Ia lalu menyerahkan resep sambil tersenyum. “Cepat sembuh ya!”
Setelah mengucapkan terima kasih, Tari pun pamit dan meninggalkan ruang periksa.
Setelah kejadian malam itu, stamina Tari pun menurun drastis. Sedikit beraktifitas saja membuat tubuhnya merasakan lelah yang luar biasa. Selain lemas, rasa pegal menjalari setiap persedian tubuh. Bahkan sampai persendian-persendian terkecil. Jemarinya. Ia pun akan merasakan pinggangnya pedih, pegal, serta panas.
Rasa lelah akan berkurang bila Tari merebahkan diri tanpa banyak bergerak. Dengan kata lain, terkapar tak berdaya. Selain itu, jadwal ke kamar mandi untuk buang air kecil menjadi sangat sering. Dua puluh menit sekali.
Penderitaan yang terberat adalah tidurnya menjadi sangat terganggu. Karena di malam hari Tari bisa terbangun empat sampai lima kali untuk pergi ke kamar mandi. Bahkan, tak jarang karena sering terbangun, Tari tak bisa kembali tidur. Alhasil, malam itu Tari akan bolak- balik ke kamar mandi.
Padahal sebelumnya Tari tak pernah mengalami gangguan tidur. Seiring dengan terganggunya kesehatan ginjalnya, kondisi jantung Tari pun ikut terganggu. Jantungnya jadi lebih sering terasa sakit. Berat badan Tari sedikit demi sedikit terus menurun.

Kehidupan Nyata

Satu bulan setelah serangan pada ginjal Tari, pemerintah mensahkan peraturan pelarangan menjual buku pelajaran di sekolah-sekolah. Seiring diberlaku- kannya peraturan tersebut, Rijal–beserta ribuan atau mungkin puluhan atau entah ratusan ribu sales buku pelajaran yang lain, kehilangan pekerjaan.
Karena kebijakan tersebut, perusahaan tempat Rijal bekerja pun hampir bangkrut. Beberapa perusahaan lain yang sejenis mengalami hal yang sama. Beberapa penerbit buku pelajaran gulung tikar secara masal.
Setelah di-PHK, Rijal berusaha mencari pekerjaan lagi. Namun bukan hal mudah mendapat pekerjaan di zaman yang penuh persaingan ini. Selama mencari pekerjaan, Rijal bekerja sebagai sales buku free lance. Penghasilannya tak menentu.
Rijal di-PHK tanpa pesangon. Sehingga bekal untuk hidup berasal dari gaji terakhir. Akhirnya Rijal memutuskan   untuk berwirausaha.   Dengan  modal   yang sangat sedikit, Rijal membuka warung kecil-kecilan. Rencananya Tari dan Rijal akan berjualan pempek dan cakue.
Tapi karena mereka belum sukses membuat cakue, untuk sementara mereka berjualan pempek dan jus buah- buahan saja. Pempeknya mereka beli dari pabrik yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka.
Sampai sekitar dua minggu berjualan, respon pasar terhadap pempek dan jus masih sangat buruk. Dagangan mereka selalu bersisa padahal pempek dan buah-buahan yang disediakan hanya sedikit sekali.
Karena dagangan mereka tidak laku, modal mereka yang sangat sedikit akhirnya habis. Lalu mereka memutuskan untuk berhenti berdagang dulu dan menunggu sampai berhasil membuat cakue.
Setelah mencoba dan mencoba kembali, akhirnya cakue yang mereka buat mendekati hasil sempurna. Sehingga mereka pun berniat akan meneruskan berjualan.
Hari itu tidak akan terlupakan oleh Tari sampai kapan pun. Pagi-pagi Rijal telah berangkat ke tempat berjualan. Letaknya agak jauh dari rumah. Tempat itu hanyalah sepetak tanah dengan ukuran sekitar 2x2 meter.
Mereka bergiliran memakai tempat itu dengan mas Bambang, seorang penjual nasi kuning. Ia berbaik hati meminjamkan gerobak dagangannya lengkap dengan kursi serta meja.
Mas Bambang berjualan dari jam enam sampai jam sepuluh pagi. Mereka berjualan setelahnya. Mereka sama- sama menyewa lahan tersebut kepada seorang “tuan tanah”. Sepuluh ribu rupiah per hari.
Rijal pergi ke tempat berjualan untuk memastikan apakah tempat itu sudah disewa oleh orang lain atau belum.
Tidak berapa lama Rijal sudah kembali ke rumah. Ia baru membuka pembicaraan setelah menenggak hampir seluruh air dalam gelas.
“Mi, tahu nggak?”
“Apa?” Tari kembali bertanya.
“Kita gak bisa jualan di sana lagi…” Rijal menjawab pertanyaan Tari dengan lemah.
“Oh, kenapa?” dahi Tari mulai berkerut. “Sudah ada yang nempatin?” Tari menebak-nebak  alasan mereka tak bisa lagi berjualan di tempat semula.
“Kata Bambang, selama kita gak jualan di sana, si bapak nanyain kita. Katanya, walau gak jualan pun kita harus tetep bayar sewa…” ada gurat kekecewaan yang ditangkap Tari dalam rangkaian kalimat yang diucapkan Rijal. Dahi Tari makin berkerut. Ia tak mengerti, mereka menempati lahan itu dengan sewa harian. Jadi menurutnya, selama tidak berjualan, mereka tak usah membayar sewa.
“Kok gitu Bi?”
“Iya! Bahkan si bapak marah, kita gak boleh jualan lagi di sana…” Rijal menarik napas panjang.
Tampaknya kabar ini menjadi tamparan keras baginya. Perasaan Tari sendiri kacau balau. Tari terdiam sejenak. Tak tahu harus bagaimana bersikap. Mungkin mereka salah karena tidak paham aturan dalam dunia bisnis, tapi apakah tidak ada kata maaf bagi mereka?
Tari menghela napas untuk memberi sedikit kelonggaran pada dadanya yang sudah sesak sedari tadi. Tari mengelus punggung Rijal. Ia bisa merasakan ruas-ruas tulang belakang suaminya.
“Kok si bapak tega bener sih Bi?” Tari ingin protes atas ketidak adilan ini. Tapi apa boleh buat, ia hanya bisa memberontak dalam hati.
“Ya sudahlah, mungkin nasib kita mah memang begini.” namun Tari segera tersadar bahwa semua pasti berjalan atas kehendak-Nya. “Nanti, kalau kita kaya, jangan sekali-kali berkelakuan seperti itu ya!”
“Amin…” Rijal mengamini perkataan Tari sambil mengangguk lemah.
Mereka tetap harus membayar sewa tempat yang tidak mereka pakai. Tapi itu tak mengubah apapun. Mereka tetap terusir.
Padahal mereka menaruh harapan besar pada usaha ini. Setelah terusir, mereka tak bisa meneruskan berjualan. Mereka sudah tak punya modal lagi untuk menyewa lahan di tempat lain yang harus dibayar bulanan. Lagipula, mungkin mereka belum punya niat yang kuat untuk berwiraswasta.
Hanya saja, Tari tidak habis pikir, bagaimana bisa orang menjadi setega itu? Karena uang dua puluh ribu saja, orang itu sanggup memutuskan jalan rizki dua manusia. Padahal, setelah mereka terusir, tak ada yang menyewa tempat itu lagi. Ternyata sang tuan tanah lebih rela tempat itu kosong daripada menyewakannya kepada mereka.
Akhirnya Rijal meneruskan kerja paruh waktunya. Tari pun masih memaksakan diri mengajar walau badannya sudah kepayahan diajak beraktifitas di luar rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah saja badan Tari sudah menjerit-jerit minta tolong. Padahal pekerjaan mencuci pakaian sudah dibantu oleh Rijal.
Untunglah tak lama dari sana, Rijal mendapat pekerjaan. Ia masuk dengan mudah ke dalam sebuah perusahaan. Rijal direkomendasikan oleh temannya kepada pemilik perusahaan. Tari berpikir positif bahwa perusahaan   tersebut    sangat   membutuhkan   karyawan, pasalnya dua orang karyawannya tiba-tiba mengundurkan diri.
Namun, setelah beberapa bulan bekerja di sana, barulah mereka bisa melihat kondisi perusahaan yang sebenarnya. Pekerjaan yang harus diselesaikan Rijal sangat banyak. Belum lagi tanggung jawab yang dipikul pun sangat besar tapi kompensasi dari perusahaan tidak sesuai.
Kebalikan dengan Rijal, pegawai dengan pekerjaan yang sedikit–bahkan kesibukan mereka hanya beberapa hari dalam sebulan, digaji dengan gaji yang lebih besar. Bila dibandingkan dengan karyawan pada perusahaan- perusahaan sejenis pun, gaji Rijal hanya setengah dari gaji karyawan dengan posisi yang sama.
Hal itu bisa menjelaskan kenapa banyak karyawan yang memutuskan untuk hengkang dari pekerjaannya. Sehingga karyawan pada posisi yang ditempati Rijal sekarang sering berganti-ganti. Bahkan posisi tersebut sering mengalami kekosongan.
Padahal posisi itu merupakan jantung perusahaan. Namun hal yang lebih mendukung para karyawan untuk angkat kaki adalah atmosfer perusahaan yang jauh dari kata sehat.
Rijal tetap bertahan di perusahaan tersebut karena belum ada gambaran untuk bekerja di tempat lain. Ia membutakan mata, menulikan telinga dan mengeraskan hatinya. Sampai pada suatu hari ia sudah tak tahan menyimpan keluh kesahnya. Ia bercerita panjang lebar. Tari tak menyangka keadaannya seburuk itu.
Ternyata Rijal harus menelan banyak kekecewaan, menahan kemarahan dan kesedihan, bahkan mungkin menahan harga dirinya. Terkadang ia diperlakukan tidak layak. Tidak manusiawi. Tari terenyuh.
“Terserah Abi lah, mau keluar lagi juga ga apa- apa…” Gamang Tari mengatakan hal itu. Tari tak bisa membayangkan bila Rijal kembali menganggur. “Tapi, kalaulah Abi mau bersabar, mungkin itu lebih baik. Tunggulah sampai Abi benar-benar menguasai bidang ini. Anggap saja Abi sedang belajar, mengambil ilmu dari perusahaan sambil dibayar. Setelah itu, Umi tak akan menghalangi Abi melakukan apapun.”
Rijal terdiam. Entah apa yang ada dalam kunyahan pikirannya. Tari tak tega melihatnya seperti ini. Ia orang yang baik. Orang yang sangat baik. Rijal mau menerimanya apa adanya−di saat tak seorang aktifis pun yang sudi meliriknya. Sekarang, Rijal sanggup menerima semua tekanan itu hanya karena memikirkannya. Bila tidak, mungkin Rijal sudah mengikuti jejak para karyawan yang lain: hengkang dari perusahaan itu.
Kepasrahan akan takdir Alloh yang selalu membuat Tari terkagum-kagum padanya. Ia dengan sabar mengingatkan Tari untuk tetap menerima semua yang berlaku pada diri mereka.
Bahkan, dulu, ketika mendengar kondisi tubuhnya, Rijal hanya sempat bimbang untuk waktu sebentar. Rijal mengatakan bahwa namanya adalah hasil dari istikhorohnya. Ia memantapkan hati kalau Tari memang jodohnya.
Tari memang beruntung mendapat suami sebaik dia. Tapi apakah ia beruntung mendapat istri sepertinya? Tapi Rijal selalu meyakinkan Tari, bahwa ia tak pernah menyesali keadaan dirinya.
“Ya, hidup kita memang berbeda dengan yang lain. Sudahlah, abi juga ga akan keluar cepet-cepet sebelum dapat pekerjaan baru. Abi mah cuman pengen ngeluarin unek-unek aja.”
 “Ya, mudah-mudahan Alloh melunakan hati si bos. Toh dia berbuat seperti itu kan atas izin Alloh. Bukannya yang membolak-balikkan hati manusia itu Alloh? Sekarang mah kita berusaha profesional saja. Melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Terlepas orang-orang mau menghargainya atau tidak. Jangan karena gaji kecil, jadi kerjanya asal-asalan. Itu sih resiko kita, kenapa mau kerja di sana.” Rijal hanya terdiam mendengar paparan Tari. Tari berusaha agar terlihat tegar walau jiwanya terasa remuk. Hilang bentuk.




Anak-anak Tangguh

Tari mengantarkan kepergian muridnya, Resno, sampai teras rumah. Resno mengambil sepeda ontel dan menumpanginya.
“Saya pulang dulu Bu! Assalamualaikum!” Resno pun berpamitan pulang sambil mulai mengayuh sepedanya.
“Waalikum salam!”
Tari terdiam sejenak di teras. Setelah Resno berlalu dari hadapannya, Tari masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu.
Resno datang seminggu sekali ke rumah Tari untuk belajar. Beberapa waktu lalu Resno merengek meminta tambahan pelajaran darinya. Resno akan menghadapi Ujian Nasional.
Sebelumnya Tari menolak bila harus mengajari matematika. Tari bukan guru matematika. Bahkan Tari tidak mengajar di kelas Resno. Namun Resno tidak mau meminta guru matematika mengajarinya.
Resno adalah anak yang cukup pandai. Namun, ia tak bisa mendapat prestasi gemilang. Nasib membawanya pada kehidupan yang jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Ia harus mencari biaya sendiri agar bisa bersekolah.
Dari keterangan seorang guru. Resno seringkali mengantuk di kelas. Mungkin ia terlalu kelelahan. Karena selain harus bekerja, ia pun harus mengayuh sepeda ke mana pun ia pergi. Sehingga Tari sangat menghargai usaha Resno untuk bisa belajar tambahan di sela keadaannya yang serba terbatas. Selain itu, Resno bahkan menyempatkan diri belajar bermain musik dan melukis.
Resno mengingatkan Tari kepada kakak kelas Resno, Asep. Cerita yang berbeda dialami oleh dua anak tersebut. Namun ada satu hal yang sama. Mereka sama- sama bekerja keras di sela-sela keterbatasan yang mengikat mereka.
Asep pun sempat mendapat pelajaran Kimia tambahan dari Tari. Asep tidak secerdas Resno. Bahkan bisa disebut, kemampuan kognitifnya sangat kurang. Ia lebih pandai dalam kemampuan kinestetik, kemampuan yang berkenaan dengan gerak. Ia akan lebih paham bila pelajaran yang disampaikan melibatkan gerak anggota tubuh. Ia sangat pandai dalam bidang olah raga dan keterampilan.
Namun, sistem pendidikan yang berlaku di republik ini menekankan pada kemampuan kognitif. Sehingga Asep harus berjuang dengan kelemahan dirinya. Padahal, menurut temannya, Asep sudah berusaha keras untuk belajar. Bahkan sangat keras. Ia rajin sekali membuka buku. Namun nilainya hampir tak pernah menyentuh angka enam. Sekeras apapun ia berusaha, ia selalu mengalami kekalahan.
Akhirnya, keduanya tak bisa lulus Ujian Nasional. Bahkan Resno sudah mempersiapkan uang untuk ujian remedial jauh-jauh hari sebelum Ujian Nasional di- langsungkan. Ia sudah mempersiapkan diri untuk tidak lulus ujian. Ironis.
Syukurlah, pada ujian remedial, mereka berdua berhasil “lolos”.





Tidak Cocok Untukku

Hampir satu tahun dari saat Tari diduga terkena infeksi ginjal. Staminanya belum juga pulih. Tari masih sering merasakan sakit pada pinggang belakang. Frekuensi ke kamar mandi masih dua puluh menit sekali.
Namun sekarang Tari sedikit lega karena di malam hari Tari hanya terbangun satu atau dua kali saja untuk ke kamar mandi.
Bahkan, bila tidurnya terlalu nyenyak, Tari tidak terbangun sama sekali. Namun, ada konsekuensi yang harus Tari tanggung bila tidak terbangun. Ginjalnya akan terasa sangat sakit.
Karena kondisi itu, Tari memasang alarm untuk membangunkannya di malam hari. Pada awal serangan infeksi ginjal, alarm dipasang sampai empat kali dalam semalam. Sekarang, Tari hanya memasang alarm sekali saja.
Selama ini Tari tidak lagi pergi ke dokter. Ia hanya meminum obat herbal dan meneruskan terapinya.
Sudah beberapa bulan belakangan tubuh Tari diserang rasa gatal. Rasa gatal sering menyerang bagian tubuh yang hampir sama: lengan, perut, punggung, lutut, kaki, dan punggung tangan. Kondisi terparah dialami oleh ketiga jari tangan kanan. Kulit pada jari tengah, jari manis, dan kelingking mengering dan mengelupas sedikit demi sedikit. Jaringan kulitnya mati.
Setelah jaringan kulit baru terbentuk, rasa gatal akan kembali menyerang. Begitu seterusnya. Selain itu, kulit tubuhnya menjadi kusam, kering, dan bersisik.
Sesekali kulit pada telapak kakinya tiba-tiba mengelupas. Mula-mula hanya sebesar pentul korek api. Namun bila dibiarkan−tidak diobati, kulit yang menge- lupas menjadi lebih besar.
Suatu hari, pak Kus−kepala sekolah yang baru di tempat Tari mengajar, menyarankan Tari untuk pergi ke sebuah klinik akupunktur. Pak Kus pun berobat ke sana. Pak Kus terkena kanker getah bening. Setelah berunding dengan sang istri dan seorang ahli farmasi, pak Kus memutuskan untuk menjalani pengobatan alternatif daripada pengobatan di rumah sakit. Setelah beberapa lama menjalani pengobatan akupuntur yang disertai konsumsi obat herbal, terlihat kemajuan yang signifikan. Oleh karena itu, pak Kus beserta istrinya terus memberi Tari semangat untuk berobat ke sana.
Sepasang suami istri itu membuat Tari terkagum- kagum. Di sela-sela ujian yang datang bertubi-tubi, mereka masih sempat memperhatikan Tari. Mereka meyakinkan Tari bahwa selama masih mau berusaha, Alloh akan memberikan kemudahan.
Akhirnya Rijal dan Tari mencoba berkonsultasi terlebih dulu dengan sang dokter ahli akupuntur. Dokter menyarankan paket pengobatan yang lengkap. Mulai dari minum jamu, akupuntur, serta pemberian cairan infus. Tapi harga cairan infus sangat mahal. Harganya lebih dari satu juta untuk sekali infus saja.
Mereka tak sanggup untuk membayar obat semahal itu. Jadi mereka mencoba terapi dengan jamu dan akupuntur saja.
Tapi ternyata tubuh Tari menolak kedua jenis terapi itu. Setelah minum jamu, ginjal dan jantung Tari terasa sangat sakit. Sedangkan efek akupuntur menyebabkan badannya merasa tidak nyaman dan sedikit demam. Mereka pun berkonsultsi kembali dengan dokter. Sang dokter menghentikan kedua terapi tersebut dan menyarankan Tari pergi ke laboratorium untuk men- dapatkan gambaran kondisi ginjal dan jantungnya yang terbaru.
Sebenarnya sebelum memulai terapi, dokter sudah meminta hasil pemeriksaan laboratorium terbaru, namun Rijal dan Tari mengabaikan permintaan dokter karena simpanan uang mereka sudah habis. Setelah tubuh Tari menolak diterapi, barulah mereka pergi ke rumah sakit. Mereka datang ke dokter penyakit dalam terlebih dulu sebelum melakukan pemeriksaan lab. Dokter me- nyarankan pemeriksaan urin, USG ginjal, dan rontgen jantung.
Menurut hasil USG, bentuk ginjal normal dan tidak terdapat batu ginjal. Menurut hasil pemeriksaan urin, masih terdapat protein, namun jumlahnya lebih sedikit dari hasil pemeriksaan setahun lalu. Leukosit yang ditemukan jumlahnya sangat sedikit. Menurut hasil rontgen, tampak adanya bronkhitis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan lab, Dokter mengatakan ginjal Tari baik-baik saja. Padahal sudah disebutkan Tari buang air kecil dua puluh menit sekali.
Bagaimana bisa Tari dikatakan baik-baik saja bila ia bolak-balik ke kamar mandi lebih dari empat puluh kali dalam sehari? Dokter tidak mengatakan apa-apa mengenai hasil rontgen.
Keesokan harinya, Tari kembali ke rumah sakit tersebut. Ia membutuhkan pendapat kedua dari dokter lain mengenai ginjalnya. Ternyata, selain kecewa, Tari pun sakit hati oleh ucapan dokter yang ditemuinya.
Dengan ringan sang dokter mengatakan bahwa ia tak punya urusan dengan masalah urin dan menyebutkan Tari terlalu memikirkan sakit jantungnya sehingga Tari jadi sering buang air kecil. Mungkin yang dimaksudkan oleh sang dokter adalah, Tari menderita stres karena terus memikirkan penyakit jantungnya.
Tari sangat ingin mendebatnya. Kalau dia spesialis jantung, janganlah ia berada di klinik penyakit dalam. Berdiam dirilah di klinik khusus jantung. Kalaulah Tari disebut stres karena memikirkan kondisi jantungnya, dokter salah besar! Tari pernah mengalami kondisi kejiwaan yang jauh lebih buruk dari sekarang, tapi Tari tidak pernah mengalami pengeluaran urin besar-besaran dari dalam tubuhnya.
Lagipula sudah sepuluh tahun berlalu setelah Tari terkena serangan jantung yang pertama. Bagaimana bisa Tari baru merasakan gejala stresnya sekarang? Diagnosa yang sangat absurd! Namun Tari hanya bisa menggigit lidah dalam kekesalan.
Setelah mendapatkan hasil lab, Rijal dan Tari kembali ke klinik akupunktur. Sang dokter menggeleng- gelengkan kepalanya melihat hasil pemeriksaan lab Tari.
“Mungkin virus di dalam tubuhnya terlalu banyak. Di ginjal ada infeksi, ini juga ada bronkhitis. Karena jantungnya tidak bekerja sempurna jadinya ada tekanan ke dalam paru-paru. Mungkin ini yang menyebabkan bronkhitis. Dan ada cairan di uterus, ini kista. Tapi ini masih kecil. Jadi terapinya tidak cocok. Kalau saja mau mencoba pakai infus, mungkin bisa berhasil.”
Sang dokter menerangkan dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata dan pelafalan yang sulit dipahami. Ia memang made in China, asli orang China. Jadi komunikasi di antara mereka berlangsung sedikit alot. Tari dan suaminya harus memutar otak untuk men- terjemahkan perkataan dokter tersebut. Ia pernah mengeluarkan bahasa Inggrisnya ketika ia putus asa melihat Rijal dan Tari tidak bisa memahami kata yang diucapkannya. Setelah ia mengatakannya dalam bahasa Inggris, barulah mereka paham.
Menanggapi saran sang dokter Tari hanya menggeleng sambil tersenyum. “Mungkin lain kali Dok. Saya tidak punya cukup uang untuk infus.” Sebenarnya untuk jamu dan akupuntur pun, uang mereka tidak cukup. Tapi mereka nekat untuk mencobanya. Harapan mereka, dengan tambahan metode pengobatan, Tari akan cepat sembuh.
Mendengar jawaban Tari, sang dokter tersenyum hambar. Entah apa arti senyumannya. Tapi dilihat dari tatapan matanya, ia terlihat iba. Di ujung perpisahan sang dokter berpesan agar menelponnya bila terjadi sesuatu.



Terungkapnya Sebuah Tabir

“Tari, kayaknya ini teh disfungsi ginjal. Masalahnya kalau cuman infeksi aja, sembuhnya pasti cepet.” Bu Oce, terapis Tari menyatakan diagnosanya setelah satu jam melakukan terapi. Tari hanya mengangguk-anggukkan kepala. Yang ia tahu, artinya ginjalnya mengalami penurunan fungsi. Sama persis seperti yang terjadi pada jantungnya.
Hati Tari baal mendengar kabar seperti itu. Ia tak merasakan apa-apa, tak ada emosi sama sekali. Mungkin ia bingung karena musibah yang datang bertubi-tubi. Belum selesai satu musibah, musibah yang lain sudah datang menyusul.
Tari tak tahu harus bagaimana berekspresi. Boleh jadi yang dikatakan terapisnya memang benar. Masalah- nya, paru-parunya saja sudah terasa ringan, tapi kondisi ginjalnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.
“Maksudnya apa Bu?” Rijal meminta penjelasan.
“Tampaknya ada kerusakan pada ginjal, jadi fungsi ginjalnya menurun. Tapi kayaknya fungsinya masih di atas lima puluh persen.” Sang terapis terdiam sejenak sebelum akhirnya meneruskan kata-katanya. “Saya mengatakan ini dengan penuh pertimbangan. Saya inget-inget, kakak saya kan gagal ginjal juga. Gejala yang dialaminya sama persis dengan yang dialami oleh Tari. Saya juga baca-baca di internet. Akhirnya, ini kesimpulan saya. Terus, dicek juga gula darahnya. Saya takut ada diabetes juga. Gula darah sewaktu saja kalau ga bisa puasa mah.
Saum… Gumam Tari dalam hati. Romadhan kemarin saumnya diganti fidyah. Tari tak sanggup saum. Pernah dicoba saum sehari. Semakin siang, ginjalnya semakin terasa sakit. Begitu waktu menunjukkan pukul empat, tubuhnya sudah tidak bisa mengeluarkan urin lagi. Ginjalnya pun terasa sangat sakit. Hal itu berlangsung sampai buka tiba. Bahkan ketika adzan isya berkumandang, urin yang dikeluarkan dari tubuhnya masih sangat sedikit. Karena itulah, sebulan penuh Tari tidak saum.








Diet yang Menyiksa

Sepulang terapi, Tari mencari informasi tentang gagal ginjal di internet. Ia menemukan banyak artikel. Tari membaca artikel itu satu per satu dengan seksama, ia mencoba menghubungkan dasar pemahaman Biologi dan Biokimia yang ia punya dengan artikel-artikel yang didalaminya. Hasilnya adalah berita baik dan berita buruk.
Berita buruknya, semua keanehan yang terjadi pada tubuh Tari mengarah pada satu kesimpulan: gagal ginjal. Pengeluaran urin yang berlebihan, ditemukannya protein dalam urin, bahkan kadar kretinin dalam darah yang melebihi batas normal sudah cukup untuk menjadi dasar dugaan seseorang terkena penyakit ginjal kronis, atau lebih populer dengan sebutan gagal ginjal.
Lagi-lagi apa yang menimpa Tari mendapat “vonis mati”. Gagal ginjal bersifat irreversible, ginjal tak mungkin kembali sehat. Semua pengobatan yang dilakukan hanyalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi, dan memperlambat perkembangan penyakit. Bila kerusakan ginjalnya sudah sangat parah, seseorang harus menjalani dialisis atau bahkan cangkok ginjal.
Berita baiknya adalah, Tari bisa menepis dugaan ia terkena lupus. Infeksi hati, ginjal, dan paru-paru yang datang beruntun membuat Tari dan Sari berspekulasi mengenai serangan lupus. Tapi bu Oce mengatakan gejala penyakit yang dialami Tari berbeda dengan pasien-pasien lupus yang telah dan sedang ia tangani. Ia lebih yakin Tari terkena gagal ginjal daripada lupus.
Menurut kedokteran barat, gagal ginjal memang tak bisa disembuhkan. Berarti sekali lagi Tari harus berusaha keras meyakinkan hatinya bahwa tubuh manusia bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Perjuangan meneguhkan hati kalau jantungnya bisa disembuhkan tanpa pisau bedah saja sudah begitu melelahkan. Sekarang vonis itu menimpa pada ginjalnya. Rasanya habis sudah dayanya. Tari ingin menguap saja dari permukaan bumi menjadi partikel-pertikel gas. Berlari bersama angin menanggalkan semua beban yang menggelayuti pundaknya.
Berdasarkan informasi yang ia dapat dari internet, diet gagal ginjal lebih menyiksa dibandingkan dengan diet yang sudah ia jalani dua tahun terakhir. Makanan yang bisa disantap menjadi semakin sedikit. Kali ini Tari harus membatasi makanan berprotein tinggi, menghindari kacang-kacangan, termasuk makanan turunannya seperti tahu dan tempe. Mengkonsumsi makanan rendah kalium dan zat besi serta ia pun masih harus memperpanjang diet rendah lemaknya.
Artikel-artikel itu menjelaskan banyak hal. Menjelaskan kenapa perutnya selalu kembung setelah menyantap makanan favoritnya, lotek. Ternyata kacang tanah–yang kaya akan purin,  membuat  ginjalnya  bekerja  lebih berat. Hal yang sama akan terjadi bila Tari menyantap pisang agak banyak. Pisang dan kacang tanah mengandung kalium tinggi yang juga memberatkan kerja ginjalnya. Tari pun menjadi tahu kenapa staminanya bisa ambruk. Gagal ginjal saja membuat orang cepat sekali merasakan lelah. Apalagi bila ditambah komplikasi dengan sakit jantung sepertinya. Pastinya kelelahan lebih cepat menyerang.
Lebih parah lagi bila Tari mengkonsumsi makanan yang mengadung pengawet−natrium benzoat. Dampak yang ia rasakan bukan hanya perut kembung, tapi juga disusul dengan rasa pegal, panas, dan pedih pada pinggang bagian belakang.
Bahkan ada snack rasa keju yang tidak hanya menimbulkan rasa pegal, panas, dan pedih pada ginjalnya, namun juga bisa menyebabkan Tari mengalami sariawan sehari sesudah mengkonsumnsi snack tersebut. Padahal Tari hanya menyantap sanck itu sebuku ibu jari saja!
Lotek, pisang goreng, kolak pisang, pisang keju, pisang molen, rendang, gulai, sate kambing, ayam goreng, tempe goreng garing, tempe dan tahu bacem, tempe kering, oseng tempe, tempe tepung, pepes tahu, udang tepung, peuyeum goreng, urap kangkung, urap singkong, urap jagung, tumis genjer dan oncom, terung balado, keripik pisang, keripik singkong, bunga kol, ulukutek leunca, dan segudang makanan tiba-tiba menjadi terlarang baginya–kalaulah tidak disebut haram. Siapa yang tahan dengan diet macam itu?
Akhirnya, Tari mencoba-coba makanan yang paling nyaman di ginjalnya. Asalnya Tari menyantap sayur sop atau jagung rebus setiap hari. Namun ternyata kedua makanan tersebut masih saja menyebabkan ginjalnya tak nyaman.
Setelah hampir setahun trial and error, Tari mencoba menggunakan jamur tiram sebagai lauk. Ternyata ginjal Tari merasa nyaman. Tari pun mendapat satu kesimpulan. Sayuran yang paling aman untuk disantap dan yang paling mudah pengolahannya adalah jamur tiram. Harga jamur tiram pun cukup murah.
Hanya saja, kadang sulit mendapatkan jamur tersebut. Bila sudah begitu, Rijal harus berkeliling dari satu warung ke warung yang lain demi mendapatkan sebungkus jamur. Tak jarang jamur tiram tidak berhasil didapat. Alhasil, Tari hanya makan nasi putih seharian.
Semula Tari hanya merebus jamur bersama bawang. Bawang tidak ditumis terlebih dulu, karena minyak kelapa mengandung lemak jenuh yang tinggi. Ia tak mau memperberat kerja ginjalnya. Menurut artikel yang ia baca, minyak jagung cukup aman digunakan untuk menumis. Namun harga minyak jagung enam kali lipat harga minyak kelapa. Mereka tak sanggup membelinya.
Tapi setelah beberapa bulan mengkonsumsi jamur rebus, Tari mulai merasa bosan dengan bau langu jamur dan bawang. Akhirnya Rijal memaksakan diri membeli minyak jagung. Sekarang, makanan Tari jadi lebih “berasa”.
Setelah mengetahui seluk beluk gagal ginjal, Tari memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah. Dan melepas para murid privat. Sehingga yang tersisa hanya seorang murid saja yang datang ke rumah. Rumah murid tersebut dekat dengan rumahnya.
Kehidupan Rijal dan Tari berubah total. Selain berhenti mengajar, Tari berhenti melakukan pekerjaan rumah tangga. Rijal yang mengerjakan semuanya. Hanya memasak nasi yang masih dilakukan Tari. Selebihnya, Tari banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur.

Tanyaku Terjawab Sudah

Malam ini Tari tak bisa tidur. Tak sekejap pun matanya bisa terpejam. Itu artinya ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Karenanya, Tari pun memutuskan untuk pindah tidur ke ruang tamu. Agar kegiatannya ke kamar mandi tidak mengganggu tidur suaminya.
Semakin malam, Tari merasakan tubuhnya be- reaksi sangat tidak wajar. Rasa gatal yang hampir setahun ini selalu menyerang, seolah menggila. Rasanya setiap jengkal tubuh Tari didera rasa gatal yang teramat sangat.
Kepekaan merespon sentuhan pun jadi berkurang. Tubuhnya seolah mati rasa. Tari bolak-balik ke kamar mandi, tapi urin tidak bisa keluar dengan lancar dari tubuhnya. Sedikit sekali urin yang bisa dikeluarkan.
Rijal yang sempat tertidur pun kembali terbangun karena mendapati Tari tak berada di kamar.
“Umi… kenapa tidur di sini?” Rijal yang masih setengah mengantuk menghampiri istrinya yang terbaring di  kursi  panjang.  Ia lalu  berlutut  di samping  Tari.  Tubuh Tari dibalut handuk dan tertutup sajadah. Udara malam di tempat tinggal Tari terkadang sangatlah dingin. Layaknya di pegunungan.
Karena mereka tak memiliki selimut cadangan, Tari menggunakan handuk dan sajadah untuk meng- hangatkan tubuh ringkihnya.
“Umi…” suara Tari tercekat di tenggorokan. “Ga bisa tidur…” Tari berusaha menyelesaikan kalimatnya. Tetes bening mulai menuruni pipi kurusnya. Bahunya kembali berguncang.
“Minum klorofil aja ya?” tanya Rijal lembut. Kini tangannya sibuk menghapus tetes bening di pipi Tari. Tari hanya mengangguk lemah. Akhirnya Rijal memberi Tari minum suplemen dengan dosis dua kali dari biasanya. Beberapa saat kemudian, Tari bangkit dari posisi tidurnya.
“Mau ke mana Mi?” Rijal membantu Tari bangun.
“Pipis…”
“Mau digendong?”
“Ga usah… sendiri aja…” Tari sedikit terhuyung ketika berjalan menuju kamar mandi. Sementara Rijal mengikutinya dari belakang. Sepulang dari kamar mandi, Rijal menyuruh Tari kembali tidur di kamar.
Menjelang dini hari, akhirnya Tari tertidur. Setelah adzan subuh, Tari kembali terbangun.
“Mi, kita ke Rumah Sakit Ginjal aja ya?” Rijal menatap Tari dengan wajah lelah. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. Ia lalu mengambil posisi duduk di samping Tari. Tari menggeleng lemah.
“Kenapa Mi?” Rijal meraih tangan kurus Tari dan mengelusnya.
“Kalau kita ke Rumah Sakit Ginjal, diagnosanya akan kembali dari awal lagi. Kita akan disuruh ke lab lagi. Kita kan gak punya uang…” jawab Tari lemah.
Mereka sudah menghabiskan banyak uang untuk berobat. Tari tak mau menghabiskan lebih banyak uang lagi.
“Ga apa-apa, kita coba aja. Biar jelas umi teh kenapa…” ada harapan yang ditangkap Tari dari nada suara suaminya.
Tari hanya diam, tapi akhirnya ia menurut juga. Dengan hati gamang, Tari menyiapkan segala keperluan. Air minum, tissue toilet, berkas-berkas pemeriksaan laboratorium, semuanya masuk ke dalam ransel Rijal.
Sesampainya di rumah sakit ginjal, seperti yang Tari duga, sebelum bertemu dokter, Tari disarankan untuk melakukan pemeriksaan urin. Namun Rijal minta bertemu dengan dokter terlebih dulu sebelum pergi ke lab. Ia ingin mengobrol panjang lebar karena selama ini mereka belum pernah mendapatkan pandangan secara medis mengenai penyakit Tari. Kebetulan saat itu tak ada satu pun pasien yang mengantri selain mereka.
“Ibu Mentari, apa pekerjaannya?” Dokter muda yang berambut sebahu itu bertanya dengan sangat ramah. Bahkan ia sempat tersenyum.
“Guru Dok!” Tari membalas senyumannya.
Setelah menuliskan pekerjaan Tari dalam rekam medis yang diberikan resepsionis, ia pun menanyakan keluhan yang dirasakan. Tari bercerita selengkap- lengkapnya tentang sakit yang telah lama ia derita. Mulai dari gangguan jantung karena kecelakaan yang menimpanya sampai kejadian kemarin malam. Sang dokter mendengarkan dengan seksama sambil melihat- lihat berkas pemeriksaan lab terdahulu.
“Hmm… Gini aja, coba ibu periksa lagi ke lab. Kalau masih ada protein di urinnya, berarti ginjal ibu bocor. Nanti  ibu  ga usah  datang lagi ke sini.  Langsung   aja  ke spesialis ginjal. Nanti saya kasih alamatnya. Terus, gula darahnya dicek juga sekalian. Soalnya, diabetes juga kan sama, kencing terus, ada gatal juga. Kalau yang ini, cuma pemeriksaan gula darah sewaktu, saya kurang yakin kalau dengan data ini saja. Coba periksa gula darah puasa dan sesudah makan ya! Tapi kalau tidak ada protein, ga usah ke dokter ginjal.”
Ini yang mereka butuhkan. Seorang dokter yang bersedia mendengarkan keluhan mereka dengan hati-hati. Tidak menyimpulkan apa-apa sebelum mereka selesai menguraikan semuanya serta tidak terburu-buru memberikan secarik resep. Sang dokter pun dengan terperinci memberi penjelasan pada mereka.
Selama ini mereka tidak bisa berbicara dari hati ke hati dengan para dokter. Para dokter tersebut tidak bisa menjawab tanda tanya besar yang ada dalam benak mereka dengan jelas. Para dokter itu selalu dikejar-kejar waktu. Pasien yang mengantri di belakang mereka puluhan orang.
“Dok, kalau misalnya ginjalnya bocor, pola makannya bagaimana? Ga boleh makan protein?” Rijal yang selalu over protektif masalah makanan Tari memanfaatkan momen berharga ini untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya.
“Protein boleh dikonsumsi, tapi dibatasi. Hanya saja, kurangi garam dan makanan yang berkalium tinggi.”
Semua penjelasan dokter sama persis dengan artikel-artikel yang dibaca Tari. Ia memang bukan dokter spesialis ginjal, namun ia sudah terbiasa menangani pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
“Makanya saya kasih ke dokter perempuan biar bisa banyak tanya. Perempuan kan biasanya lebih cerewet.” sang dokter tersenyum.
“Ia akan memberi penjelasan tanpa harus diminta.” lanjut sang dokter kemudian.
“Kira-kira berapa biayanya ke dokter spesialis ginjal ya Dok?”
Aduh suamiku… Kalau yang begitu tanyanya ke resepsionis saja. Tari berkata-kata dalam hati. Sang dokter tersenyum.
“Saya kurang tahu, mungkin kisaran seratus ribu. Tapi jangan khawatir, guru kan bisa pake Askes!”
Tari ingin tertawa terbahak-bahak. Askes? Asuransi dari mana? Dari Hongkong?
“Saya guru honor Dok! Belum PNS.” akhirnya Tari hanya bisa tersenyum. Getir. Di republik ini, orang kere macam mereka diharamkan sakit.
“O…” Sang dokter membulatkan mulutnya.
Setelah mendapat informasi yang lengkap, mereka pun berpamitan. Tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih. Mereka langsung pulang ke rumah dan tidak pergi ke lab seperti yang disarankan dokter. Masalah biaya. Lagipula, semua tanda tanya terjawab setelah berkonsultasi dengan dokter tadi. Tari menjadi semakin yakin bahwa ia terkena gagal ginjal. Penjelasan dokter menguatkan dugaan terapisnya.
Namun Tari tidak habis pikir dengan dokter-dokter lain yang ia datangi sebelumnya. Kenapa mereka tidak jeli memeriksanya? Bukankah adanya protein dalam urin adalah hal janggal yang sangat tidak wajar? Bukankah pengeluaran urin secara besar-besaran pun sudah menunjukkan adanya masalah di ginjalnya? Belum lagi kadar kreatinin yang melebihi batas normal?
Andai saja diagnosa gagal ginjal sudah disebutkan dari awal, mungkin kondisinya tidak akan memburuk seperti sekarang.  Penanganan  diet yang tepat  pastinya akan sangat meringankan penderitaannya. Setahun kemarin Tari banyak melakukan kesalahan dalam memilih makanan karena ketidaktahuannya mengenai sakit yang ia derita.
Mengenai kadar gula darahnya, Tari mempunyai kesimpulan sendiri. Garis keturunan bapak dan mama bebas dari diabetes. Tari menduga rendahnya kadar gula darahnya karena ginjal yang tidak berfungsi normal.
Ginjal berfungsi untuk menyerap asam-asam amino hasil dari pemecahan protein serta menyerap kembali air dan gula. Ginjal juga berfungsi membuang limbah sisa metabolisme seperti amonia, obat-obatan, serta kelebihan garam.
Bila ginjal rusak, maka akan terjadi gangguan penyerapan kembali zat-zat yang diperlukan tubuh. Pembuangan limbah dari dalam tubuh pun akan terganggu.
Mungkin gula lolos bersama urin karena gagal diserap kembali oleh tubuh. Sehingga wajar bila gula darahnya sangat rendah, hanya 80 mg/dL. Jauh lebih rendah dari batas normal. Gula darah normal berkisar 140 mg/dL. Selain gula, protein pun lolos bersama urin. Bila diperiksa di lab, akan ditemukan protein dalam urin. Yang lebih menyedihkan, tubuh akan keracunan karena limbah sisa metabolisme tidak bisa dikeluarkan. Hal ini ditandai dengan rasa gatal di sekujur tubuh.
Sebetulnya Tari tak mau menyimpulkan apa-apa mengenai kondisi tubuhnya. Tari sama sekali tidak mempunyai pengetahuan kedokteran. Tapi ia terpaksa. Uang mereka tidak cukup untuk bolak-balik ke dokter spesialis dan pergi ke lab. Terlebih beberapa dokter yang sudah ia temui pun tidak bisa memberikan jawaban pasti mengenai kondisi penyakitnya.
“Hhh… capek…” keluh Tari.
Badannya terasa remuk. Tak berbentuk. Pegal merayapi setiap persendian. Tari langsung memburu tempat tidur. Lalu terkapar tak berdaya. Tenaganya terkuras habis. Ia membiarkan jaket dan kaus kaki yang masih membalut tubuhnya. Kerudung pun tidak segera ia lepas.
“Gimana atuh Mi?” tanya Rijal sambil duduk di samping Tari. Ia meminta kepastian akan sikap Tari.
“Udahlah, umi dah lumayan enakan kok. Pipisnya juga udah lancar. Emang sih ginjalnya masih panas, perih, pegel, tapi badan umi dah ga baal lagi.” Tari terdiam sebentar. Menarik napas. Mencoba melonggarkan sesak yang menghimpiti dadanya.
“Sebenernya umi bukannya gak mau ke rumah sakit ginjal, tapi ya… itu… kita gak punya uang. Mending kalau satu kali ke lab langsung ketahuan penyakitnya. Kalau enggak? Kita kudu ke lab lagi, ke dokter lagi. Terus bolak-balik. Berapa duit tuh cuman buat diagnosa doang?”
Rijal terdiam. Ia selalu mengatakan, bila ia punya banyak uang, ia akan membawa Tari general check up agar jelas secara medis apa penyakitnya. Sehingga penanganan diet tidak lagi meraba-raba.
“Lagipula, umi dah yakin kalau umi kena gagal ginjal...”
“Ya udah atuh kalau gitu mah.” Rijal mengalah. Ia lalu termenung. Seperti memikirkan sesuatu.
“Atau Mi, cobain aja ke Cicaheum? Katanya sama pake transfer energi juga. Mungkin bisa cocok ke sana.”
Tari bangkit dari posisi tidur. Ia membuka jaket dan kaos kaki serta kerudungnya. Ternyata cuaca hari ini sangat panas. Tapi tetap saja tak sanggup  membuat  tu- buhnya mandi keringat.
Hanya sedikit saja keringat di kening Tari yang sempat tercipta.
“Abi… umi kan dah bilang, umi ga mau ambil resiko. Kalau umi pindah terapi, energi yang masuk belum tentu sama. Umi takut malah mengobrak-abrik susunan energi yang udah ada dalam tubuh umi. Nanti malah tenaga bu Oce ga bisa masuk. Kalau udah begitu, jangan- jangan umi ga bisa balik lagi ke bu Oce.”
“Tapi Mi, katanya tenaganya lebih besar dari bu Oce. Kalau berobat di sana, mungkin umi bisa cepat sembuh!” Rijal mencoba menguatkan argumennya.
“Abi… umi sudah ditangani oleh terapis terbaik. Umi pun sudah mendapat suplemen dengan kualitas terbaik. Kalaupun kesembuhan umi lambat, itu karena sakit umi kebanyakan. Jadinya, obat atau energi juga bingung mau ngobatin mana dulu. Tapi kan sebenernya bronkhitis umi, liver, maag, kista, penyempitan pembuluh darah, semuanya udah mendingan?”
Bahkan nyawa anak ayam kesayangan mama bisa terselamatkan oleh salah satu suplemen yang dikonsumsi Tari. Mama memberi anak ayamnya ekstrak daun alfalfa. Padahal, lidah si ayam sudah hampir putus karena terjerat tali.
Tari menelan ludah sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. Suaranya tersekat, ada tangis yang tertahan.
“Untuk gagal ginjal dan jantungnya, wajar aja kalau sembuhnya lama. Orang secara medisnya juga gak mungkin sembuh kan? Lagian, namanya juga jaringannya rusak, pasti perlu waktu untuk memperbaikinya.”
Pff… syukurlah tak ada butir bening yang melelehi pipiku. Bisik Tari dalam hati.
“Abi ga seneng dengan kata rusak. Seolah-olah mendramatisir keadaan. Pake bahasa yang lain saja!”
“Umi mencoba realistis, bukan mendramatisir! Memang pada kenyataannya ginjal umi rusak! Secara medis, gagal ginjal itu menurunnya fungsi ginjal. Kenapa fungsi ginjalnya menurun? Karena ada kerusakan di ginjalnya! Cuman tingkat kerusakannya yang berbeda- beda setiap stadiumnya!” suara Tari mulai meninggi.
Perdebatan yang selalu sama. Masalah bahasa. Ia sudah menerangkan berkali-kali. Tapi masih saja kata “rusak” menjadi masalah.
“Umi bukan orang yang senang memperhalus bahasa. Salah-salah, ketika bahasanya diperhalus malah mengaburkan makna yang seharusnya. Kalau kita sudah tahu kondisi yang sebenarnya, kan penanganannya jadi tepat.” suara Tari melembut. Rijal terdiam mendengar argumen Tari.
Latar belakang pendidikan yang berbeda membuat mereka sering perang argumen. Sebagai seorang mahasiswa jurusan kimia, Tari dipaksa untuk pandai menganalisis masalah. Kalau tidak mahir, Tari tak akan pernah bisa memecahkan soal-soal perkuliahan. Sedikit banyak ia pun tahu tentang tubuh manusia. Selain karena tuntutan pendidikan, Tari pun senang membaca artikel- artikel kesehatan. Sedang Rijal berlatar belakang pendidikan sosial. Ia seringkali menilai suatu “kasus” dengan sudut pandang yang berbeda dengan Tari.
“Trus, maunya umi gimana?”
“Umi ga mau coba-coba lagi. Umi kan dah bilang, umi dah ditangani oleh terapis terbaik dan mendapat suplemen dengan kualitas terbaik juga!” Jangan sebut ia Mentari kalau argumennya bisa dipatahkan begitu saja.
Akhirnya mereka sepakat untuk tidak pergi ke rumah sakit lagi. Karena semua pertanyaan mereka telah dijawab oleh pandangan ahli medis. Sang dokter.

Baru Tersadar

“Umi kenapa?” Rijal yang baru kembali dari kamar mandi terkejut mendapati Tari tergugu sambil membenamkan wajah di atas kasur. Tari bahkan belum beranjak dari posisi tahiyat terakhir selepas solat berjamaah tadi.
Semua masalah yang datang bertubi-tubi membuat pertahanan jiwa Tari runtuh. Porak poranda tak jelas bentuk. Jiwanya kian merapuh. Tari merasakan lelah yang teramat sangat.
Tari sudah berjuang bertahun-tahun melawan arus. Di kala para dokter menggelengkan kepala untuk kesembuhan jantungnya tanpa operasi, Tari bersikukuh bisa sembuh tanpa pisau bedah. Tapi ketika setitik harapan mulai terlihat, musibah yang lain datang lagi. Lebih dahsyat. Vonis gagal ginjal pun dijatuhkan padanya.
Terkadang ia ingin berhenti saja. Berhenti memper- juangkan apa yang ia yakini. Menyerah pada perkataan banyak orang.   Tapi ternyata  Tari tak bisa  menghentikan
mimpinya. Karena hanya mimpi yang ia punya. Hanya mimpi.
                Beban jiwa terkadang membuatnya memberontak. Tari menggugat. Ia merasa semuanya tidak adil. Tari berusaha keras menjaga kesehatannya. Menjaga pola makannya. Bahkan karena ketatnya menjaga pola makan, Tari dicap sebagai orang aneh.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun bisa dihitung dengan jari berapa kali Tari menyantap bakso. Pada saat kebanyakan gadis seusianya memasukkan makanan berbentuk bola itu ke dalam menu makanan wajib mereka, Tari mengekang diri untuk tak menyentuhnya.
Bakso kampung–begitu sebutan bagi bakso yang dijajakan dengan gerobak berkeliling pemukiman, sering memakai bahan-bahan yang tidak layak dikonsumsi: cuka anorganik, saus dengan pewarna tekstil, dan MSG dalam jumlah yang sangat banyak.
Tari bukan orang yang maniak terhadap rasa pedas. Ia pun termasuk orang yang makan dengan teratur. Kalau bukan karena tak sempat untuk makan siang di luar, Tari selalu makan tiga kali sehari. Tari bukan orang yang tahan tidak makan seharian atau memilih mengemil daripada makan.
Padahal setelah menderita sakit jantung, Tari sering sekali kehilangan selera makan. Tapi Tari tetap memaksakan diri menyantap makanan. Ia makan hanya untuk bertahan hidup.
Kalaupun nasi tidak tampak menarik lagi, Tari menggantinya dengan makanan lain yang sekiranya memenuhi standar kebutuhan nutrisi. Lotek lengkap dengan lontongnya, semangkuk bubur ayam atau bubur kacang−kadang ditambah dengan roti tawar, kadang- kadang semangkuk sop buah pun bisa jadi pengganti.
Bukankah selain halal, makanan juga harus thoyyib, baik, tidak menimbulkan kemudorotan? Tari terus memegang prinsip itu.
Ia pun rela menyisihkan uang sakunya hanya agar bisa menenggak segelas atau dua gelas susu setiap hari.
Selain itu, ia masih menyempatkan diri untuk melakukan olah raga ringan selama setengah jam. Dua kali seminggu.
Tapi ia merasa semuanya sia-sia. Lihat saja ia sekarang, terkapar tak berdaya. Tari iri pada orang-orang, mereka hidup semaunya, tapi mereka baik-baik saja.
“Berhenti nangisnya atuh mi…” Bujuk Rijal sambil mengelus kepala Tari.
“Lepas!” alih-alih menghentikan tangis, Tari malah mengibaskan tangan Rijal. Air mata semakin deras menuruni pipi Tari. Bahunya berguncang keras. Tangisnya semakin menjadi.
“Udah mi, nanti jantungnya sakit lagi…” pinta Rijal dengan suara lirih. Tangannya mencoba meraih Tari kembali. Gurat kekhawatiran tergambar begitu jelas di wajah Rijal.
“Pergi!” suara Tari terpotong oleh isak tangis. Ia kembali mengibaskan tangan Rijal. “Tinggalin aja Umi!” 
“Umi…” Rijal mendekap tubuh kurus Tari. Tari meronta. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri dari dekapan Rijal. Dalam usahanya itu, bahu dan lengan Tari beradu berkali-kali dengan pinggiran ranjang yang terbuat dari besi. Tapi Tari tak peduli. Ia terus meronta.
Akhirnya Rijal mengalah. Ia melepaskan dekapan- nya. Sekarang Rijal hanya bisa memandangi istrinya. Sementara Tari mendekap lututnya sendiri sambil menangis tersedu. Rijal benar, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya tersengal. Jantungnya sakit.
Lima menit, tujuh menit, sepuluh menit, entah berapa lama Tari menangis.
Setelah tangis Tari berhenti, Rijal mencoba meraih tangan Tari. Tari berusaha menghindar. Tapi tenaganya sudah terkuras habis. Tari tak kuasa mengibaskan tangan Rijal. Ia hanya bisa melarang Rijal dengan suara lemah “Pergi…”
Rijal tak menghiraukan larangan Tari. Ia mem- bimbing Tari naik ke atas tempat tidur dan mem- baringkannya. Rijal lalu membujuk Tari agar menceritakan apa yang tengah ia rasakan. Apa yang telah terjadi padanya. Awalnya Tari hanya diam. Ia  enggan berbagi perasaan yang tengah bergejolak dalam hatinya.
“Umi capek…” sesaat kemudian Tari membuka mulut. “Umi tahu, semua yang menimpa umi adalah yang terbaik. Tapi kenapa semuanya serba sulit bagi umi…” air mata Tari kembali meleleh, menuruni pipi yang sedikit berdaging.
“Jadi wanita, umi ga sukses. Jadi istri, umi ga becus. Jadi ibu, ga diberi kesempatan. Umi merasa tak berguna…” Hampir dua tahun pernikahan, tapi Tari belum bisa mempunyai anak. Tubuhnya terlalu lemah untuk menopang kehidupan dua nyawa. Kalaupun hamil, tubuhnya akan mengusir sang janin keluar dari rahimnya. Tanpa ampun.
“Selama ini umi menerima semuanya. Umi ga pernah mengeluh. Padahal, orang-orang yang peng- hasilannya jauh lebih besar, orang-orang yang kesehatannya jauh lebih baik dari umi, mereka sering mengeluh…” sisa isak hendak berubah menjadi tangis.
Rijal menghela napas demi mendengar penuturan istrinya. Sebelum akhirnya bersuara. “Umi, dari awal kita nikah,   gak   pernah   terbersit   sedikit   pun  di   pikiran  abi
bahwa umi itu lemah, tak berguna. Itu hanya perasaan umi saja.” Rijal terdiam sejenak. Ia menyeka air mata yang kembali menetes di pipi Tari.
“Hati-hati, setan akan membisikkan hal-hal itu ke dalam hati umi. Kalau umi terus begini, abi akan marah! Ibadah umi adalah bersabar. Ibadah abi, ya seperti ini, jadi bapak rumah tangga. Mungkin kehidupan kita memang harus seperti ini. Berbeda dengan orang lain. Umi baca majalah yang di bu Oce?”
“Iya…” Tari menjawab lemah.
“Apa katanya?”
“Katanya, orang yang sakit akan mendapatkan pahala yang sama dengan ketika ia sehat dan melakukan amal soleh…” Tari menarik napas panjang. Menangis membuat perasaanya sedikit lega. Seolah beban di pundaknya menjadi berkurang.
“Lagian, abi dah bilang berkali-kali tentang hal ini kan?”
“Tiga… kali…” jawab Tari tersendat-sendat.
“Apa?” Rijal mengerutkan dahi, tak mengerti maksud ucapan Tari.
“Abi udah bilang hal ini tiga kali…” Tari me- negaskan jawabannya.
“Nah? Itu masih inget!”
Plak. Tangan kanan Rijal menepuk kening Tari. Dengan satu kali tepukan pelan.
“Ah… abi mah… Seneng banget ngegeplak jidat umi…” Tari manyun. Sementara Rijal tertawa kecil. Memang hobinya melakukan hal seperti itu bila Tari berbuat kesalahan atau kebodohan macam tadi.
“Kita harus bersyukur pada apapun yang menimpa kita. Walau hanya sedikit kemajuan yang umi alami, syukuri!   Kalau   akhirnya  umi   tidak   sembuh   pun,  harus
tetap disyukuri. Masih banyak orang yang kehidupannya lebih sulit dari kita.”
Tari terdiam. Ridho menerima semuanya adalah satu hal. Bersyukur adalah hal yang lain.
Membuat hatinya ridho adalah hal yang sulit. Sedang untuk bersyukur, adalah hal yang jauh lebih sulit lagi. Sangat sulit bersyukur sementara musibah datang bertubi-tubi.
“Umi juga harus bersyukur dapat suami kayak abi. Coba kalau Umi dapat suami yang banyak nuntut? Kan Umi jadi repot sendiri!”
Tari mengangguk pelan. Suaminya benar. Tari tak bisa membayangkan bila suaminya tidak bisa menerima kondisi fisiknya. Bagaimana jadinya?
Tari bisa merasakan tulusnya kasih sayang yang Rijal berikan. Selama satu tahun lebih semenjak Rijal menikahinya, hampir setiap hari Rijal mengirimkan SMS. Padahal mereka hanya berpisah beberapa jam selama Rijal pergi ke kantor saja.
Dalam SMS-nya, Rijal sekedar menanyakan ke- adaan Tari, mengingatkannya makan, minum suplemen, serta melarangnya memaksakan diri dalam beraktifitas, baik dalam mengerjakan pekerjaan rumah ataupun ketika mengajar di sekolah.
Pasalnya, bila sedang beraktifitas di luar rumah, Tari selalu lupa bila fisiknya tidak seperti orang lain. Tari termasuk orang yang sangat lincah. Bahkan seringkali lebih lincah dari orang-orang “normal”. 
“Pura-pura sehat.” begitu komentar seorang adik kelasnya bila melihat Tari sudah bertingkah.
Rijal baru berhenti mengirimkan SMS setelah kondisi tubuh Tari membaik. Namun, bila kondisinya memburuk. Ia pun kembali mengirimkan SMS.
“Jantungnya sakit mi?” tanya Rijal sambil meng- elus kepala Tari.
“Iya…” Tari tersenyum hambar.
“Pokoknya sekarang umi ga boleh mikir macem-macem. Fokus aja sama kesehatan umi. Umi ngerti?” nada suara Rijal cukup tegas namun lembut.
Sejenak Tari memandangi wajah suaminya. Sesaat kemudian Tari mengangguk sambil tersenyum. Sekarang bukan hanya jantungnya yang sakit. Bahu dan lengannya pun terasa sakit. Hasil dari pertarungan tak seimbang antara tulang dengan besi.
“Sekarang umi istirahat aja! Jangan banyak pikiran ya!”
Lagi-lagi Tari mengangguk. Dalam hatinya, Tari bersyukur mendapat suami seperti Rijal.








Mimpi-mimpi

“Emh si umi… abi pergi, lagi tiduran. Abi pulang, lagi tiduran juga!” Rijal sering menjadikan kegiatan sehari- hari Tari sebagai candaan. Tapi Tari selalu menjawabnya dengan tawa kekeh.
Sebenarnya sudah sebulan ini badan Tari sedikit lebih segar. Ia sudah bisa memasak makanannya sendiri dan menyetrika barang dua atau tiga potong pakaian. Tapi ia belum bisa mengerjakan hal lain.
Setelah berganti pakaian, Rijal duduk di samping Tari. Ia menatap wajah Tari lekat, lalu mencubit pipi Tari pelan.
“Perasaan pipinya makin tembem?” Tari hanya menjawab dengan kekehan. Berat badannya naik dua kilo gram. Namun bila ginjalnya drop, berat badannya akan kembali ke angka tiga puluh tujuh.
“Dah makan belum Mi?”
“Makan yang ke berapa kali?” Tari malah kembali bertanya sambil mengulum senyum.
“Lah? Sekarang dah makan berapa kali?” Rijal membundarkan mata dan membuka mulutnya. Ter- nganga. Ia senang mengolok frekuensi makan Tari.
“Umi baru makan tiga kali…” Tari cekikikan melihat ekspresi suaminya.
“Haha… tiga kali kok baru? Emangnya mau makan berapa kali lagi?” Rijal tertawa gelak.
“Satu kali lagi!” Tari nyengir kuda.
“Nanti makan lagi jam berapa?”
“Jam enam atau setengah tujuh…”
“Ih, dasar gembul!” Rijal kembali tertawa.
“Biarin…” Tari memajukan bibirnya. Manyun.
Standar makan Tari adalah empat kali sehari. Bila kurang, tubuhnya akan lemas. Pegal merayapi setiap jengkal badannya, kepala sakit, rasanya seperti berputar- putar, dan pandangan menjadi gelap. Mungkin gula darahnya drop. Bila sudah demikian, ia harus cepat-cepat minum air gula untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Baru ia bisa menyantap makanan berat.
“Geser sana! Abi mau berbaring!”
“Ga mau, Abi yang sebelah sana! Umi kan bolak- balik ke aer. Susah kalo harus melangkahi Abi terus!” Tempat tidur mereka terjepit oleh tiga dinding. Hanya satu sisi saja yang bebas. Sebenarnya kamar mereka tidak terlalu sempit, namun bentuknya memanjang. Sehingga tempat tidur hanya bisa ditempatkan di sudut kamar.
Akhirnya Rijal mengalah. Ia mengambil posisi berbaring di dekat tembok.
Biasanya sepulang Rijal kerja, mereka akan berbincang tentang banyak hal. Tentang kondisi tubuh Tari, kejadian di kantor, kejadian di rumah, pokoknya apapun bisa jadi bahan perbincangan. Bahkan mereka sering  membahas  hal-hal  yang  menjadi  impian  masing-  masing. Sebenarnya lebih banyak membahas mimpi- mimpi Tari.
Diam di rumah tanpa kegiatan membuat otak Tari terus bekerja. Ide-ide bermunculan dengan serta merta. Mulai dari ide membuka warung kecil-kecilan sampai bisnis rumah makan. Dari mengelola bimbel sampai mendirikan sekolah.
Ide yang paling “gila” adalah mendirikan sebuah sekolah dengan kualitas yang sangat baik tapi biaya pendidikannya dapat dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah. Bahkan, kalau memungkinkan, sekolah bisa memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Ia menginginkan guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah guru yang berkualitas bagus dan peduli terhadap pendidikan. Atas usahanya, para guru akan diberi kompensasi yang sepadan. Sehingga mereka tidak terlalu pusing memikirkan penghasilan tambahan.
Kurikulum di sekolah pun tidak menjadikan para muridnya melulu disibukkan oleh pelajaran. Murid-murid akan dibekali pelajaran hidup. Mereka akan dibekali dengan berbagai keterampilan. Layaknya yang dilakukan oleh ibu kembar−yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak tidak mampu.
Selain itu, para murid pun akan didorong untuk menguasai bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. Tapi bukan berarti bahasa pengantar pelajaran di kelas menggunakan bahasa Inggris. Hal tersebut hanya akan “menyiksa” murid.
Memahami materi pelajaran saja sudah mem- punyai kesulitan tersendiri. Bila pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris, tentunya akan lebih menyulitkan murid-murid untuk memahami penjelasan para gurunya.
Untuk mensukseskan program penguasaan bahasa asing tersebut, sekolah akan memberikan porsi pelajaran bahasa Inggris yang lebih banyak serta melengkapi fasilitas pembelajaran dengan berbagai media. Audio dan visual.
Sekolah pun akan memberi para muridnya bekal  pendidikan agama yang lebih banyak. Karena Tari yakin, dengan pendidikan agama, akan terbentuk generasi muda yang beriman sehingga mereka akan selalu berusaha untuk melakukan hal yang benar. Mereka akan takut bermaksiat. Takut melakukan dosa. Lebih jauhnya, hal tersebut akan menciptakan generasi anti kejahatan. Anti pergaulan bebas, anti korupsi, anti suap, anti narkoba, anti miras, dan anti keburukan yang lainnya.
Satu hal lagi yang sangat diinginkan Tari ada dalam sekolah yang didirikannya: suasana kekeluargaan. Sama seperti halnya yang terdapat di sekolah farmasi tempat Tari mengajar dulu.
Loncatan-loncatan pikiran itu seringkali tidak bisa dihentikan. Bila sudah begitu, kepala Tari akan terasa pening dan kelelahan menyergap tubuhnya.
Hal yang bisa menghentikan loncatan-loncatan pikiran itu adalah menonton televisi dan membaca. Tapi membaca menguras konsentrasi Tari. Membuat tubuhnya kelelahan juga. Jadi, satu-satunya pengalih pikiran Tari hanyalah televisi.
“Eh Mi, kok tangannya halus?” Rijal membolak- balikkan tangan kanan Tari sambil meraba-raba jari tengah, jari manis, dan kelingking.
“Iya Bi, sekarang-sekarang, kalo ginjalnya enakan, kulitnya jadi halus… Tapi kalo ginjalnya drop, tangannya jadi ikutan kasar. Kakipun jadi pecah-pecah lagi.”
“Alhamdulillah… Bagus atuh segitu juga!”
“Emang…” Tari tersenyum. Manis.
“Eh Mi, Bi Iyam ginjalnya kambuh lagi!”
“Oh, gitu? Kok bisa?” Tari membundarkan mata sipitnya.
“Iya. Katanya mah kebanyakan makan daging sama kacang goreng. Trus kayaknya kecapekan. Da bi Iyam teh ngajar TK.”
“Ngajar TK? Uluh! Kebayang capeknya! Belum lagi ngurus dede bayi?” Tari kembali membundarkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala. Terbayang olehnya kerepotan yang dialami bi Iyam. Bi Iyam sempat sembuh dari sakit ginjalnya dan bisa mempertahankan kehamilan sampai bayinya lahir dengan selamat.
“Bi, kalaulah nanti umi diberi kesembuhan, berarti dietnya harus tetep dijalani ya? Itu bi Iyam juga bisa kambuh lagi? Trus, umi juga ga boleh over capek ya? Jadinya, umi ga akan ngajar lagi ah! Mau bisnis aja!” Tari mencecar Rijal dengan banyak pertanyaan. Rijal ter- senyum. Istrinya memang super cerewet.
Nya sok atuh sembuh dulu!” Rijal menjawab pertanyaan Tari dengan satu kalimat. Bingung bila dijawab satu-satu.
”Eh Bi, dulu bi Iyam teh kenapa? Kata emak mah, dokter bilang kalau bi Iyam udah ga bisa diobatin…” Emak adalah nenek Rijal.
”Sama kayak umi!”
“O… gitu…” Tari pun membulatkan mulut. “Waktu itu berobat ke mana Bi?” Tari selalu penasaran dengan banyak hal.
“Berobat ke alternatif. Ada di kampung. Pake jamu ama dipijit. Trus pake terapi jus juga.”
“Emang sakitnya udah berapa lama gitu Bi?” tanya Tari lagi penasaran.
“Abi juga gak tahu. Tapi pastinya lebih dari tujuh tahun.”
“Ha? tujuh tahun? Lama amat?” mata Tari ter- belalak. Sejenak ia terdiam.
“Bi, bi, bi, kalo umi dikasih kesempatan untuk sembuh dan punya dede, umi akan urus dia dengan tangan umi sendiri! Ga akan dititip-titip ke siapa-siapa. Bahkan, kalo ada rizki, umi bakalan bikin sekolah sendiri. Mulai dari TK sampe SMP. Trus, si dede akan umi didik menjadi orang yang bertanggung jawab, disiplin, tegas, dan mandiri! Tentunya harus beriman!” Tari sering mengalihkan pembicaraan ke sana ke mari. Tinggal di rumah selama dua puluh empat jam membuat ke- mampuan komunikasinya juga menurun. Hal ini sering ia lakukan tanpa sadar.
“Ibu kita yang satu ini… banyak maunya!”
Rijal tertawa kekeh melihat tingkah laku istrinya. Ia lalu bangkit dan turun dari tempat tidur. Ia mengambil posisi berdiri di depan cermin sambil mendekatkan wajahnya ke cermin.
“Ga ada salahnya bermimpi kan Bi? Kali aja diaminin sama malaikat.”
“Amiin..” Rijal mengamini celotehan istrinya tanpa menoleh. Ia masih sibuk memperhatikan wajahnya di cermin. Melihat sisi kanan dan kiri wajahnya bergantian.
“Eh mi, perasaan abi makin kurus?”
“Emang! Abis makannya susah pisan! Padahal tenaga ama pikiran diperes.” Bibir Tari mengerucut. Manyun.
“Ah… sekarang mah udah banyak makannya.”
“Iya deng! Ga usah dicubitin terus kalo disuruh makan. Tapi abi mah kumaha mood makan teh. Aturan mah ada apa juga  dimakan,   yang  penting  perut  keisi!   Bukannya makan banyak kalo lauknya Abi doyan. Kalo Abi ga doyan, makannya cuma seemprit.”
“Hehe kebiasaan!” Rijal menggaruk kepala.
“Umi mah udah jelas sakit. Coba atuh Abi mah jaga kesehatannya. Kalau Abi sakit kan riweuh. Umi juga ga bisa ngurusin Abi. Ngurus diri sendiri aja umi ga bisa.” Hati Tari teriris mengatakan bahwa mengurus diri sendiri pun ia tak sanggup.
Rijal beranjak dari depan cermin. Ia berjalan keluar kamar dan merebahkan tubuhnya di kursi panjang yang sudah tak karuan bentuknya. Kain pelapis jok yang sobek di sana-sini memperlihatkan busa bagian dalam yang telah tercabik-cabik. Di daerah kaki kursi sebelah kanan selalu dikotori oleh serbuk kayu hasil pelapukan kerangka kursi oleh rayap. Tangannya meraih remote control TV yang ada di atas meja.
Tari mengikuti Rijal dari belakang. Ia pun mengambil posisi duduk di samping suaminya. Tari mencari posisi paling nyaman. Sedikit memaksakan memang. Padahal kursi panjang yang mungil itu telah penuh oleh tubuh Rijal.
“Emh, Kerjaan kita teh kayak gini weh… Nempel terus!”
“Hehe… Kayak penganten baru ya Bi!” Tari tertawa geli. Mereka sudah menikah hampir dua tahun, tapi Tari masih merasa seperti baru menikah. Pergi ke mana-mana hanya berdua. Tak ada tawa dan tangis anak kecil di rumah mereka. Hati Tari sering merasa miris. Tapi Rijal selalu menjadikan kondisi mereka sebagai lelucon. Sehingga Tari menjadi tidak terlalu merasa bersalah atas ketidak mampuannya menjadi istri yang baik.
 Perbincangan pun dilanjutkan. Terkadang bila sedang  mengobrol,  Tari  terlalu  bersemangat.   Mulutnya
mengeluarkan banyak kalimat. Bila sudah begitu, Rijal akan menghentikan pembicaraan. “Umi harus hemat tenaga!” katanya. Terlebih bila kondisi Tari sedang drop, Rijal sering sekali memotong cerita Tari.
“Mi, kalo berobat ke Ciparay gimana?” Tanya Rijal tiba-tiba.
“Ke tempatnya bi Iyam itu?” Tari kembali bertanya sambil mengerutkan dahi.
“Iya!” jawab Rijal mantap. Ia lalu memindahkan saluran TV, lagi-lagi acara berita yang ia cari.
“Umi takut ga cocok lagi kayak yang di si sinse.”
“Cobain aja atuh! Bi Iyam juga bisa sembuh.”
Tari termenung. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tari bosan menonton berita. Isinya selalu tentang kabar buruk. Rasanya sangat jarang sekali ia melihat kabar baik. Atau mungkin tak ada? Sejenak Tari menimbang baik buruknya usulan Rijal.
“Ya sudahlah. Terserah Abi aja!” Akhirnya Tari mengiyakan usulan Rijal.
“Nanti abi ke bi Imas dulu, nanya-nanya!”
Perbincangan terus berlanjut. Tak terasa hari mulai gelap. Adzan maghrib berkumandang. Mereka pun telah menghabiskan satu hari lagi sisa umur di dunia ini.
Tak lama setelah perbincangan itu, Rijal datang ke rumah dengan membawa jamu. Jamu-jamu itu dibuat dalam paket satu kali minum. Tapi Tari meminumnya hanya setengah dari dosis yang disarankan. Setengah bungkus sekali minum.
Ternyata nasibnya tak jauh berbeda dengan jamu dari dokter China. Jamu tersebut ditolak oleh tubuh Tari. Ginjalnya terasa pegal setelah meminum jamu tersebut. Tubuhnya pun menjadi kesulitan mengeluarkan urin untuk beberapa saat.
Akhirnya Tari tak meneruskan pengobatan tersebut. Padahal bila jamu tersebut cocok untuknya, mereka bisa menekan biaya pengobatan hampir separuhnya.







Potret Kebodohan

Tari sudah tiba di desa tempat Rijal dibesarkan sejak kemarin siang. Tari  berada di sini karena Rijal harus bertugas ke luar Jawa. Sumatra. Setiap kali Rijal pergi ke sana, Tari “dititipkan” di rumah ibu. Agar Tari tidak kecapekan. Begitu alasan Rijal menitipkan Tari. Pasalnya, bila Rijal pergi tidak ada yang membantu Tari mengurus rumah. Mereka belum bisa menggaji seorang pembantu.
“Ada apa Bu? Pagi-pagi udah rame?” Tari mengiris kol sambil terus mendengarkan percakapan orang-orang di luar rumah. Tampak bapak mengatur keberangkatan anak-anak. Entah hendak pergi ke mana.
“Anak-anak mau ujian.” Ibu masih meneruskan mengupas wortel. Ibu membantu memasak makanan Tari. Di desa sangat sulit menjumpai jamur. Sehingga Tari mengganti menu makanannya dengan sayur sop.
“Ujian?” Tari mengerutkan dahi.
“Iya, anak-anak yang ikut SMP Terbuka.”
“Banyak muridnya Bu?” tanya Tari penasaran.
Baru kali ini Tari menemukan tempat yang me- miliki sekolah terbuka.
“Asalnya banyak. Belasan. Yang ngajar Teh Uyu. Eh, pada berhenti. Sekarang tinggal empat orang sisanya. Orang di sini mah banyak yang ga peduli dengan pendidikan. Asal lulus SD. Sudah. Pada ga diterusin lagi.”
“O…” Tari membulatkan bibir.  Tangannya ber- henti bekerja sejenak. Tari tak percaya dengan apa yang ia dengar. Waktu tempuh Bandung dan tempat ini hanya satu setengah jam. Tapi corak kehidupan keduanya sungguh jauh berbeda.
“Lulus SD Bu? Trus ngapain setelah lulus?” tanya Tari masih penasaran. Ia lalu meneruskan pekerjaannya mengiris kol.
“Pada pergi ke kota. Yang perempuan jadi pembantu, yang laki-laki jadi kuli.” Ibu mulai memotong- motong wortel yang telah dikupas. Tari pun sudah selesai mengiris kol. Giliran sang bawang yang harus ia iris.
Ternyata anak-anak yang tidak beruntung men- dapat pekerjaan di kota akan kembali ke kampung dan menjadi pengangguran. Beberapa orang dari mereka malah mencuri di rumah tetangganya sendiri.
“Mereka juga nikahnya pada masih kecil. Paling lima belas tahun juga sudah nikah.” Lanjut ibu lagi.
Tari membelalakkan mata. Ia bergidik mem- bayangkannya. Usia lima belas tahun ia masih sibuk berkutat dengan pelajaran di sekolah dan sedang senang- senangnya menjelajahi hal baru. Belajar bermain gitar–namun sampai sekarang Tari tak pernah bisa memain-kannya, berkunjung ke rumah teman sekelas, sampai nongkrong di pinggir jalan sekedar menghabiskan waktu.
Bahkan mama Tari saja pendidikan terakhirnya SMP. Mama tidak melanjutkan ke SMA karena letak sekolah yang jauh dan waktu itu  mama  sering  sakit.  Jadi kakek dan nenek menjadikan alasan tersebut untuk tidak menyekolahkan mama ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adik-adik mama semuanya lulusan SMA.
Sedang bapak tidak meneruskan sekolah ke SMA karena harus membiayai hidup nenek dan kelima orang adiknya. Kakek meninggal dunia pada saat usianya masih sangat muda.
Mama dan bapak pun menikah di usia dua puluh tiga tahun. Padahal mama lahir di tahun lima puluhan−dimana anak-anak dinikahkan di usia empat belas tahun. Walau tetangga sudah ramai menyebut mama perawan tua, mama tak mau menikah muda.
Katanya faktor ekonomi menyebabkan anak-anak di desa ini putus sekolah. Kebanyakan penduduk di sini bekerja sebagai buruh tani. Pendapatannya sangat sedikit. Namun alasan yang lebih kental terletak pada tidak sadarnya mereka akan pentingnya pendidikan.








Apakah Masih Zaman?

“Siapa yang meninggal Teh?” tanya Tari kepada teh Uyu setelah mulutnya kosong dari makanan. Tadi pagi Tari mendengar pengumuman berita duka dari pengeras suara masjid. Teh Uyu menyebut nama seorang anak perempuan.
“Kenapa Teh, sakit?”
“Iya Bi Tari.” Teh Uyu menyebutnya bibi untuk mencontohkan kepada keponakan-keponakannya agar memanggilnya bibi juga.
“Lagi pesantren, pulang. Katanya ga enak badan. Di sini teh udah dua minggu ga bisa jalan. Berjemur juga harus digendong ke luar rumah.”
“Oh gitu? Kata dokter sakit apa?” Tari me- ngerutkan dahi.
“Justru itu Bi Tari, kata dokter teh tifus. Belum dibawa ke dokter lagi. Baru mau dibawa teh nanti. Besok mungkin.”
“Masya Alloh…” Tari kaget sekali mendengarnya.
Rasanya, di zaman sekarang tifus bukanlah penyakit yang mematikan.
Menurut teh Uyu, orang tuanya baru saja selesai merombak rumah. Berarti, mereka punya uang untuk membawanya ke dokter. Minimal ke Puskesmas. Letak Puskesmas tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.
Jalanan di desa ini bisa dilalui kendaran. Tidak terlalu repot bila ada keperluan ke arah kota. Bila tidak memiliki kendaraan, tersedia sarana ojeg yang bisa dipanggil lewat SMS. Atau bila tidak punya uang, bisa minta tolong kepada tetangga mengantarkan ke Puskesmas. Banyak orang yang memiliki motor di pemukiman ini.
Apakah masih zaman, ada orang sakit, sampai saatnya ia meninggal, tapi belum dibawa ke dokter? Rasanya itu kabar dari abad yang mana?
Jauh berbeda dengan keluarganya. Ketika Tari sakit dan kondisinya memburuk, mereka langsung melarikannya ke rumah sakit. Ketika harus dirawat pun, bapak dan Aa banting tulang memenuhi segala kebutuhan pengobatannya. Bahkan, bapak sampai harus berhutang guna melunasi biaya rumah sakit. Sedang mama merelakan perhiasannya dijual.
Dibalik semua musibah yang menimpanya, masih terselip rasa syukur. Alloh masih memberikan rizki yang berlimpah sehingga Tari tidak terlambat ditangani medis karena ketiadaan biaya. Tari pun sangat bersyukur atas limpahan kasih sayang yang ia dapatkan dari keluarganya.
“Padahal mah Bi Tari, anaknya teh meni soleh. Ga banyak minta ini itu…” ada nada penyesalan dalam suara teh Uyu.
Tari jadi teringat akan muridnya yang juga meninggal beberapa waktu lalu.  Mungkin,  umurnya sama dengan anak ini. Muridnya pun anak yang baik. Cerdas dan sedikit pemalu. Tapi, ia dan teman-temannya senang menggoda Tari. Menjodoh-jodohkan Tari dengan guru lain. Muridnya meninggal karena radang usus.
Tari hanya bisa menghela napas mendengar kabar seperti itu. Kenapa anak sebaik mereka berumur pendek? Gumamnya dalam hati.











Keputusan yang Berat

Jam delapan malam. Rijal belum juga pulang. Tak biasanya ia tidak memberi kabar. SMS yang Tari kirim tidak mendapat balasan. Sambil berbaring di kursi panjang, Tari menunggu suaminya pulang. Tangan Tari sibuk memindah-mindahkan saluran TV. Ia menyalakan TV hanya untuk meramaikan suasana. Rumah ini terlalu senyap. Tari sendirian di sini. Adiknya memang tidur di rumah yang sama dengannya. Namun selain untuk tidur, adiknya hanya sesekali datang kemari.
Tak berapa lama terdengar derum motor yang tak asing lagi di telinga Tari. Suamiku pulang! Tari bersorak dalam hati. Ia bergegas menuju pintu samping. Di- bukakannya pintu lebar-lebar guna memberi jalan untuk motor. Ruang ini menjadi “kandang” motor.
Sebelumnya ini adalah ruang TV. Biasanya ada dua motor terparkir di sini. Motor Rijal dan motor adiknya. Namun, kini motor adiknya sudah dijual. Bisnis bapak yang sedang memburuk  membuat  keputusan  itu  dibuat. Beberapa waktu lalu, salah satu dari dua mobil tua yang mereka punya pun terpaksa dijual. Tua, bukan antik.
Rijal turun dari motornya. Setelah menaruh helm di atas lemari, ia mengambil posisi duduk di kursi panjang. Tari menyediakan segelas air untuknya. Rijal pun langsung menenggak habis isi gelas yang disodorkan Tari.
Wajah Rijal tampak berkerut-kerut. Tak ber- sahabat. Tari pun tak berani bertanya demi melihat ekspresi muka Rijal. Beberapa saat mereka tenggelam dalam diam.
“Abi  capek  banget.  Turun  naik  tangga  sambil lari-lari. Kaki pegel-pegel…” suara Rijal memecah kesunyian. Tari masih terdiam.
“Tadi ditelepon suruh ke kantor…” ia melanjutkan kalimatnya dengan suara berat. Demi mendengar kabar itu, emosi Tari terbit.
“Abi… Udah umi bilang berkali-kali… kalau ada telepon dari kantor, jangan diangkat…” Tari mencoba menekan emosi, tapi suaranya terkadang masih meninggi.
“Habisnya, diteleponin terus walo ga diangkat juga. Sudahlah, abi lapar pisan. Tolong siapin nasi. Ada ayam di tas, ambilin!”
Tari pun menyiapkan makan malam untuk Rijal.
Rijal mulai melahap makanan yang disiapkan Tari. Namun, tampaknya ia masih menyimpan gunungan ke- kesalan.
“Abi belum makan dari pagi…”
Setiap hari Minggu Rijal berlatih olah raga pernapasan. Jadi ia pergi dari rumah tanpa sarapan terlebih dahulu. Hanya sedikit cemilan saja yang mampir di perut Rijal.
“Emang ga dikasih makan Bi?” Tari masih terus menekan emosi.
“Dikasih, tapi ga diberi kesempatan makan. Abi ga sempet makan. Kerjaannya harus beres hari ini juga, yang ngerjainnya cuma abi sendiri…”
“Kenapa sih, abi terus yang dijadikan tumbal? Sekali-kali, temen abi yang bertugas di hari libur! Kalau mereka punya acara, abi juga punya. Sekali-kali mereka yang membatalkan acara…”
Rijal pun mulai mengeluhkan banyak hal yang menimpanya selama mengabdi di perusahaan tempatnya bekerja. Padahal selama ini ia sangat jarang mengeluh.     
Demi mendengar semua keluhannya, Tari tak sanggup lagi menahan diri. Ia meminta Rijal untuk mengundurkan diri dari kantor hari itu juga. Mengikuti jejak pendahulunya.
Semula Rijal bimbang. Bahkan mereka sempat bersitegang karenanya. Namun setelah berpikir sebentar, akhirnya Rijal mau melepas pe- kerjaannya.
Beberapa bulan kemudian, empat orang rekan Rijal mengikuti jejak Rijal: mengundurkan diri dari perusahaan.
















Pekerjaan Baru

“Aduh… di luar panas banget… muka sama tangan abi rasanya panas, seperti terbakar…”
Rijal yang baru saja pulang kerja memberikan komentar terhadap cuaca kota kembang akhir-akhir ini. Ia langsung mengambil posisi duduk di kursi panjang. Ia lalu membiarkan tubuhnya melorot. Gurat kelelahan nyata sekali tergambar di wajahnya.
Rijal menjadi kolektor di sebuah penerbit buku setelah melepas pekerjaannya yang lalu. Ia bekerja dengan sistem out sourching. Rijal menerima pekerjaan itu karena mengharapkan jenjang karir yang cukup menjanjikan. Perusahaan penerbitan itu termasuk perusahaan yang cukup besar. Cabangnya tersebar di banyak tempat di Indonesia.
Saat ini Rijal belum mendapat gaji tetap. Ia mendapat bayaran hanya bila melakukan penagihan kepada konsumen.
Tari mengambil posisi duduk di samping Rijal. Tari tak tahu harus menghibur suaminya seperti apa.
“Di rumah saja panas, apalagi di luar…” ternyata ia hanya bisa menyetujui komentar suaminya terhadap cuaca.
Hujan baru beberapa hari tidak turun. Musim pancaroba baru saja dimulai. Tapi udara sudah sangat panas. Bahkan di beberapa daerah, rakyat sudah menjerit kekurangan air bersih.
Sementara di musim hujan kemarin, air “sangat berlimpah”. Terjadi banjir di sana-sini. Disusul dengan longsor di mana-mana. Mungkin Alloh murka melihat manusia semena-mena memperlakukan alam. Sehingga Alloh memerintahkan alam melawan manusia? Apa daya manusia melawan alam?
Tapi ternyata perusakan tetap saja terjadi. Pelakunya tak mengambil hikmah dari semua gejala alam yang terjadi.
Ketika banjir dan longsor datang, mereka menyalahkan curah hujan yang terlalu tinggi. Ketika kesulitan air menghadang, mereka menuding musim kemarau yang terlalu lama.
“Abi nagih dari ujung ke ujung! Udah nagih dari Cimahi, harus nagih ke Banjaran…” gumamnya lirih.
“Waduh! Itu sih benar-benar ujung ke ujung Bi! Cimahi di Bandung barat, bahkan mungkin sedikit ke barat daya. Sementara Banjaran ada di Bandung selatan. Mungkin sedikit ke arah tenggara.” Tari trenyuh mendengar penuturan suaminya.
“Emang ga dibagi wilayah Bi?”
“Belum. Tapi katanya nanti mau dibagi-bagi. Mana datanya berantakan. Yang harus ditagih, yang sudah bayar, yang nunggak, yang macet, semuanya nyampur! Tadi juga cari-cari dulu, udah gitu dicocokin dengan data akuntan. Takutnya kita tagih, tapi dianya udah bayar…” Rijal menghela napas. Mungkin membayangkan pe- kerjaannya tadi. Semrawut.
“Nanti keliatan ga professional ya Bi?”
“Iya. Minta minum Mi!”
Rijal menenggak setengah isi gelas yang di- sodorkan Tari.
“Kok perusahaan segede itu manajemennya acak- acakan Bi?”
“Ga ada yang ngerekap datanya Mi. Akuntannya keluar.” Rijal terlihat lebih santai sekarang.
“Loh? Emang kolektor ga ngerekap data kunjungan? Ga bertanggung jawab sekali!”
“Ga tahu atuh. Itu mah kerjaannya akuntan.”
“Trus, akuntannya pergi dan gak ada yang menggantikan kerjaannya? Aneh! Lagian, kan harusnya ada data di masing-masing kolektor dong!” seperti biasa, Tari mengomentari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan logikanya.
“Ga semudah itu kali mi! Namanya juga perusahaan gede.”
“Justru itu, karena perusahaan gede, pasti ada team work-nya! Kalo ada satu yang keluar, tugasnya digantikan sementara oleh orang lain. Jadi, gak akan mengacaukan sistem kayak gini!”
”Ga semudah itu kali mi…” Rijal tetap bersikukuh dengan argumennya.
“Iya kali bi!”
Akhirnya Tari mengalah. Itu kan perusahaan orang. Kenapa harus mereka yang ribut?
Empat bulan pun berlalu. Persoalan data masih belum diselesaikan.  Kabar  tentang kepastian kontrak pun
belum terdengar. Semuanya mengambang. Bila data-data tersebut masih berantakan, konsumen yang ditagih oleh Rijal menjadi sangat sedikit. Tentu saja gaji yang diterima menjadi sangat sedikit pula. Rijal banyak menghabiskan waktu menyusun daftar kunjungan.
Menurut Rijal, teman-teman kerjanya sangat tidak bertanggung jawab. Mereka kerap berlaku seenaknya. Data-data yang telah dipisahkan dengan susah payah oleh Rijal, dicampuradukkan kembali ketika mereka mencari data.




Berdamai

“Udah atuh Mi ga usah ngajar. Istitahat aja…” Rijal memandang Tari cemas. Ia takut Tari akan kehilangan janin dalam tubuhnya–lagi.
“Anaknya udah datang Bi. Lagipula, umi ga akan membatasi kegiatan umi. Gerak umi sudah sangat terbatas. Seharian umi di tempat tidur. Kegiatan mana lagi yang harus umi batasi? Kalau ia mau bertahan, ia akan bertahan. Kalau tidak, lebih baik keluar saja sekarang- sekarang. Sebelum ukurannya semakin besar. Masalah- nya, kalau sudah besar, akan jadi sangat merepotkan. Umi ga mau dikiret!” Tari berkata tanpa tedeng aling-aling.
Rijal terdiam mendengar pemaparan Tari. Mungkin ia merasa pendapat Tari ada benarnya juga.
“Kalau mau bertahan, ia harus tahan banting seperti umi dan abinya! Karena kehidupannya mungkin akan keras! Ia tidak boleh lembek!” lanjut Tari dengan nada datar. Tari mengeraskan hati dan membekukan perasaan. Ibu mana yang mau kehilangan calon anaknya?
Tari hanya tak ingin terus larut dalam kesedihan bila harus kehilangan apa yang akan ia miliki. Jalan ini yang ia pilih untuk melindungi hatinya. Tari mencoba berdamai dengan keadaan.
Pada akhirnya Tari tetap kehilangan calon anaknya. Ketika pertama kali mengalaminya, ia menangis dan terus menangis. Namun, kali ini ia bahkan tak meneteskan air mata. Hatinya mati rasa.





Belum Saatnya Berubah

                Sudah beberapa hari ini Tari tak bisa tidur nyenyak. Hanya dua atau tiga jam saja matanya bisa terpejam. Hal ini sudah menjadi kejadian rutin setelah Tari menderita gagal ginjal.
                Beberapa hari dalam sebulan hampir bisa dipastikan Tari mengalami kesulitan tidur. Bahkan kadang bisa sampai seminggu tidurnya terganggu.
                “Tadi sempet tidur Mi?” Rijal tahu betul jika beberapa hari ke belakang Tari sedang susah tidur. Kebetulan hari ini Rijal pulang larut malam.
                “Enggak Bi… pas mau nyenyak, datang tukang mie. Tek… tek… tek… tek…” Tari menirukan wajan yang dipukul oleh penjual mie keliling sambil manyun. Matanya separuh tertutup menandakan rasa kantuk yang tidak terpuaskan.
“Mau nyenyak, pengen pipis. Mau nyenyak lagi, datang motor. Knalpotnya ribut pisan! Terakhir, mau nyenyak  lagi!   Datang  motor  satu lagi!”   Tari  bercerita dengan kondisi setengah teler. Ada dua motor di pemukiman itu yang knalpotnya tidak “berperasaan”. Sang pemilik motor tidak memikirkan kenyamanan orang lain. Kedua orang itu pun sering pulang larut malam. Kadang jam dua malam mereka baru pulang atau bahkan baru pergi dari rumahnya! Belakangan ada beberapa motor lagi yang mengikuti tipe knalpot motor mereka.
Jangankan suara knalpot, suara orang bercakap- cakap di luar kamar saja sanggup membuat Tari terus terjaga. Bahkan setelah percakapan berakhir, Tari akan tetap kesulitan memejamkan mata.
“Marahin atuh motornya!” Rijal tertawa kekeh. Ia mengolok sifat Tari yang pemarah. Tari memang pemarah, tapi ia selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangganya.
“Sudah didoain mogok. Dua-duanya umi doain mogok!”
“Oh gitu ya? Sama umi teh didoain mogok?” Rijal kembali tertawa kekeh.
“Kalau gitu, motor abi juga didoain mogok? Kan ganggu tidur umi?” 
“Enggak… da motor Abi mah ga ribut…”
“Ya udah atuh tidur sana!” Rijal menyuruh Tari untuk mencoba memejamkan mata.
“Mau pipis dulu…” Tari beringsut turun dari tempat tidur.
Sepulang dari kamar mandi, Tari naik kembali ke atas tempat tidur. Rijal sudah berada di sana.
“Abi udah solat Isya?”
“Udah.” jawab Rijal pendek.
“Udah makan?” tanya Tari lagi.
“Udah.”
“Makan apa? Nasi?”
“Iya.”
“Sama apa makannya?”
“Telur ceplok.”
Tari biasa “menginterogasi” suaminya jika ia makan di luar. Pasalnya, banyak makanan “beracun” yang beredar di luar sana.
Jadi bila keesokan hari Rijal mengalami masalah pencernaan, Tari akan segera mengetahui penyebabnya berdasarkan jenis makanan yang disantap oleh Rijal. Sehingga di lain hari Rijal tidak membeli makanan sejenis−di tempat yang sama.
Kadang Tari merasa bersalah karena tak bisa menyediakan makanan sehat untuk suaminya. Jadi upaya yang ia lakukan hanyalah “menginterogasi” suaminya.
Setelah Tari mendapat posisi berbaring yang nyaman, Rijal pun mulai bercerita.
“Mi, katanya pengangkatan pegawai kontrak baru adanya tahun depan.”
“Hah? Tahun depan? Berapa bulan lagi tuh?” Tari menghitung bulan. Hampir enam bulan lagi.
Gaji kolektor pegawai kontrak memang tidak terlalu besar. Tapi setidaknya penghasilan mereka tidak bergantung pada tagihan yang seringkali tidak jelas itu.
Gaji Rijal sekarang tak dapat mencukupi kebutuhan pengobatan Tari. Jatah suplemen yang ia minum jadi semakin berkurang. Dosisnya dikurangi sampai dosis minimal. Dan ada satu suplemen yang tidak dibeli. Jadwal terapi pun tinggal satu kali seminggu. Dari asalnya dua kali seminggu.
Akibatnya, ginjal Tari drop kembali. Ia sudah mulai merasakan ginjalnya pegal, panas dan perih. Jantungnya pun sering terasa sakit. Bronkhitis ikut-ikutan kambuh. Secara   syariat,   hidup   Tari   memang  bergantung   pada pasokan suplemen dan terapi. Nyawanya ditopang oleh kedua hal tersebut.
“Kok bisa Bi?” Tari mengerutkan dahi.
”Katanya bulan sekarang ada pengangkatan?” lanjut Tari lagi.
“Iya. Tadinya begitu. Ternyata di perusahaan lagi ada masalah keuangan. Banyak konsumen yang nunggak.”
Padahal Rijal hanya selangkah lagi menuju penandatanganan kontrak. Ia sudah mengisi aplikasi rekening bank. Katanya, bila sudah begitu, hampir bisa dipastikan pihak perusahaan akan mengontraknya. Temannya yang beberapa minggu bekerja lebih awal di sana sudah diangkat menjadi pegawai kontrak.
Tari menghela napas mendengar kabar tersebut. Inilah nasib mereka. Belum saatnya berubah.
“Jadinya abi mau kerja di penerbit buku pelajaran lagi aja. Setidaknya di sana ada gaji pokoknya.”
Kebetulan teman Rijal baru membuka perusahaan penerbitan kecil-kecilan. Perusahaan itu mendistribusikan buku dari penerbit lain juga.
“Bukannya sekolah dah gak boleh jual buku Bi?” Tari mengernyitkan dahi.
“Buku proyek Mi. Buat pengadaan di perpus- takaan.”
“Bukannya itu udah dipegang sama penerbit-penerbit gede Bi?”
“Ya, sedikit-sedikit mah masih ada celah untuk yang kecil.”
“Oh, gitu. Terserah Abi lah.”
“Udah ah tidur! Abi ngantuk.”
“Emmhhh…” Tari hanya mendehem untuk menjawab ajakan suaminya.
Tak sampai lima menit, Rijal telah terlelap. Sementara Tari masih kesulitan memejamkan matanya. Tapi untunglah, setelah dua kali ke kamar mandi, ia pun bisa tertidur.





Tegar

“Punya istri teh jangan dimanja. Ke mana-mana dianterin. Istri saya mah lagi hamil sembilan bulan juga pergi sendiri.” Tampak gurat kesedihan yang nyata di wajah Rijal ketika menuturkan perkataan temannya. “Ya, da istri abi mah beda dengan istri orang…” ia meneruskan kata-katanya seperti bergumam pada dirinya sendiri. Dari sorot matanya, terlihat ada segores luka di hati Rijal.
Hampir Tari menangis mendengar penuturan suaminya. Air mata sudah menggenangi kelopak mata Tari.
Tak seharusnya teman suamiku membanding- bandingkan aku dengan istrinya. Guman Tari dalam hati. Padahal teman suaminya tahu Tari sedang sakit.
Kalau ia tidak tahu kondisi  yang sebenarnya, lebih baik ia diam saja. Tak selayaknya kondisiku dijadikan guyonan olehnya. Tari terus berkata-kata dalam hati.
 Biasanya Tari selalu mandiri. Selama bisa berjalan, sesakit  apa  pun,  sepayah  apa  pun,   Tari selalu  pergi  ke mana-mana sendiri. Tari jarang minta ditemani. Setelah terkena gagal ginjal, Tari kerepotan bila harus bepergian dengan kendaraan umum. Pasalnya selama perjalanan Tari harus berhenti  setiap dua puluh menit sekali untuk pergi ke kamar mandi. Tidak mudah menemukan toilet di sepanjang jalan. Yang artinya, Tari harus mencari-cari toilet dengan berjalan kaki. Belum lagi Tari harus naik turun angkot. Semua itu menguras tenaganya.
Selain pertimbangan tenaga, ada pertimbangan lain. Masalah ongkos. Biaya memakai kendaraan umum empat kali lipat lebih mahal daripada bila memakai motor.
Mereka harus berhemat dan memperhitungkan pengeluaran uang dengan sangat cermat.
Tari menghela napas. Dipeluknya Rijal dengan erat. Tari tak bisa mengatakan apa-apa untuk meng- hiburnya. Nasib mereka memang begini. Mau diapakan lagi. Namun Tari tergelitik  untuk bertanya dalam hati.
Apabila teman suamiku mengalami hal yang sama dengan kami, apakah ia akan jauh lebih tegar dari kami? Apakah ia akan membiarkan istrinya pergi sendirian− seperti yang ia banggakan sekarang?
Ada beberapa nada miring yang diterima Tari dan Rijal. Diantaranya adalah Rijal disebut sebagai suami takut istri. Hal itu secara tidak langsung menuduh Tari sebagai istri yang tak tahu diri. Tak bisa menjalankan peran sebagai istri yang harusnya mentaati suami. Walau perkataan itu disampaikan dalam guyonan, namun hal tersebut mewakili apa yang ada di dalam benak si empunya guyonan.
Akhirnya, Tari dan Rijal tenggelam dalam diam. Mereka sibuk dengan kunyahan pikiran masing-masing.

Kutukan

Tari melihat jam di HP-nya, hampir tengah malam. Matanya belum juga bisa terpejam. Perlahan ia beringsut meninggalkan tempat tidur. Disambarnya jaket dari gantungan baju. Hati-hati ia mengambil dua bantal lépét dari tempatnya berbaring tadi.
Tari membuka pintu sepelan mungkin agar engselnya tidak menjerit-jerit. Ia mengendap-endap menuju ruang tamu dan membiarkan pintu kamar terbuka. Tari tak ingin menimbulkan kegaduhan di tengah malam.
Dilemparkannya bantal ke atas kursi panjang. Sekejap mata remote di atas meja telah berada dalam genggamannya. Sejenak Tari berdiri berkacak pinggang sambil memindah-mindahkan saluran TV. Olala, ada Tom Cruise! Serunya dalam hati. Biasanya film yang dibintangi oleh Tom Cruise selalu asyik ditonton.
Setelah itu, Tari mencari posisi tiduran ternyaman di atas kursi panjang.   Betul saja  filmnya  bagus.   Sayang,
film telah sampai di tengah cerita. Tari dibuat menahan napas melihat Tom Cruise meluncur bebas dari atas gedung pencakar langit. Film itu membuat Tari tegang sampai akhir cerita.
Tari pergi ke kamar mandi di sela-sela iklan. Setiap dua kali jeda. Entah jam berapa film berakhir. Jam di ruang tamu telah lama mati kehabisan baterai. Setelah film selesai, Tari belum bisa memejamkan mata juga.
Akhirnya Tari pindah kembali ke kamar dan berbaring di sebelah suaminya yang tengah terlelap. Syukur tidur Rijal jarang sekali terganggu oleh aktifitas Tari di malam hari bila sedang tidak bisa tidur.
Celakanya,  kini  Rijal  tidur  sambil  mendengkur.  Suara dengkuran akan membuat Tari terjaga. Biasanya bila terlalu lelah, Rijal akan mendengkur.
Namun Tari punya cara jitu untuk menghilangkan dengkuran Rijal. Yaitu dengan membuat posisi tubuh suaminya miring. Selang beberapa waktu, Tari pun tertidur.
Jam lima pagi Sherina membangunkan Tari dengan lagu Cinta Pertama dan Terakhir-nya. Dengan mata setengah terbuka Tari mencari-cari HP di atas lemari pendek. Letak lemari bersebelahan dengan tempat tidur. Setelah mendapat yang ia cari, Tari memijit kunci navigasinya dua kali.
Sherina pun berhenti bernyanyi. Tari bangun dari posisi tidurnya. Kemudian ia mengambil posisi duduk. Setelah nyawanya terkumpul semua, baru ia beranjak dari tempat tidur.
Sambil berdiri, Tari mencari kaca mata di atas lemari. Ia meraba-raba dalam gelap. Tapi kegelapan tidak menyulitkannya untuk mencari kaca mata. Beberapa detik saja, Tari sudah bisa memegang kaca matanya. Mata Tari yang minus lima tidak bisa melihat jelas tanpa bantuan kaca mata.
Setelah solat, memasak air dan nasi, serta menyiapkan sarapan, Tari loncat kembali ke atas tempat tidur. Setelah terlebih dulu sarapan tentunya. Mendahului suaminya. Biasanya perut Tari sudah menagih sarapan bahkan semenjak ia bangun tidur.
“Mi, tadi malam tidur jam berapa?” Rijal yang sudah berdandan rapi menyempatkan duduk di samping Tari. Ia baru saja selesai sarapan. Sebelumnya ia berkeliling dulu ke warung-warung. Hunting jamur! Lalu mencuci piring. Setelah semuanya selesai, baru ia akan pergi mandi.
“Gak tau, pokoknya jam dua belas umi masih nonton Tom Cruise.”
“Tumben umi nonton?” Rijal mengulum senyum.
“Abis gugulutukan sendiri. Kan abi pernah bilang, daripada umi bengong ngelamunin yang enggak-enggak, mending umi nonton. Ya udah, umi nonton aja!” bibir Tari maju satu senti. Manyun.
“Hahaha.” Rijal tertawa gelak.
“Udah gitu, abi ngorok pula!” Tari masih manyun.
“Kemaren abi capek banget Mi. Gimana abi ngoroknya?”
“Asalnya sih, ngerek, krrr… krrr. Lama-lama jadi ngorok! Krok.. krok..” Tari menirukan suara dengkuran suaminya.
“Udah aja badan Abi digulingin sama umi!”
“Hahaha.” Rijal tertawa gelak kembali. Ia senang menyuruh Tari menirukan dengkurannya selagi tidur.
“Ya udah atuh, sekarang mah umi tidur lagi!” Rijal merapikan selimut yang membalut tubuh Tari. Pagi ini dingin sekali.
“Abi tahu, pagi-pagi ato siang, umi gak bisa tidur…” Tari memelas.
“Ya udah, tiduran aja!” Rijal tersenyum. “Abi pergi dulu ya!” Rijal lalu mengulurkan tangan sambil berdiri. Tari mengangguk cepat sambil menyambut uluran tangan Rijal dan menciumnya.
“Eh Bi, jambu umi habis…” Tari menarik tangan Rijal yang hendak terlepas dari genggamannya.
“Kapan habisnya?” Rijal mengerutkan dahi.
Tari tak segera memberi tahu persediaan jambunya telah habis karena ia melihat beberapa hari lalu dompet Rijal hanya berisi beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Uang sejumlah itu baru cukup untuk bensin dan lauk super sederhana untuk beberapa hari saja. Sedang jadwal gajian masih lama. Sekarang Tari berani minta dibelikan jambu karena ia tahu Rijal mendapat uang kemarin.
“Tiga ato empat hari yang lalu…” Tari tidak yakin. Tinggal di rumah selama dua puluh empat jam mem- buatnya tak bisa membedakan hari.
“Kapan terakhir BAB?” Dahi Rijal semakin berkerut.
“Sama dengan terakhir makan jambu!” Tari mengakhiri jawabannya dengan nyengir kuda. Sembelit yang dialami Tari selepas mengkonsumsi obat liver−tiga tahun yang lalu, tak kunjung sembuh hingga sekarang.
Jambu biji merah menjadi pencahar alami untuknya. Cukup satu buah sehari. Buah dan sayur lain tidak bisa melakukan tugas sebaik jambu.
“Iya, nanti siang abi beli.” Rijal menarik tangannya.
“Umi istirahat aja ya, jangan ngapa-ngapain! Assalamu alaikum…” Rijal membungkuk dan mengacak- acak rambut Tari.
“Waalaikum salam…” jawab Tari sambil ter- senyum. Rijal pun berlalu meninggalkan Tari.
Kalau boleh jujur, hati Tari tidak mengizinkan bila Rijal kembali menjadi sales buku. Tari tak tega melihatnya door to door dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Kalau cuaca panas, ia akan kepanasan. Bila hujan, ia kehujanan. Tapi apa mau dikata, hidup mereka mungkin memang begini. Mudah-mudahan esok lusa kehidupan mereka akan lebih baik. Terlebih bila Tari sudah sembuh. Mungkin jalan yang mereka lalui akan jauh lebih mudah.
Namun sebenarnya mereka masih sangat beruntung. Mereka masih tinggal di bangunan permanen yang disebut rumah. Walau menumpang, mereka punya kamar tidur, ruang tamu, bahkan dapur dan kamar mandi yang terpisah dari keluarga mereka. Mereka pun masih bisa makan nasi dengan kualitas baik lengkap dengan lauknya.
Hanya saja kondisi fisiknya yang seringkali membuat Tari merasa tak berdaya. Tapi Tari sering menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Padahal entah berapa banyak Tari menangis. Hanya Tari saja yang tahu.
Tari menangis diam-diam. Dalam diamnya, dalam solat, dalam doa, atau dalam keterjagaannya di tengah malam di kala yang lain terlelap. Tari tak ingin orang tahu betapa ringkih jiwanya.
Tari tak bisa membagi beban yang ia rasakan selain dengan suaminya. Namun tak jarang beban itu ia tanggung sendiri. Hanya olehnya. Keluarganya sekalipun tak terlalu paham dengan kondisi fisiknya–apalagi jiwanya. Yang mereka tahu ginjal Tari bermasalah dan Tari harus berhenti mengajar untuk beristirahat−itupun Tari harus menerangkannya berkali-kali kepada mereka.
Tari tak bisa menuntut banyak agar orang-orang bisa memahami apa yang terjadi pada dirinya. Tari tahu, sulit bagi siapa pun untuk bisa memahami apa yang telah terjadi pada tubuhnya. Terlalu rumit−kecuali bagi beberapa orang yang sangat paham tentang seluk beluk kesehatan.
Jadi, walau Tari tinggal bersebelahan dengan keluarganya, keluarga Tari hampir tak pernah tahu ketika ginjal atau jantung Tari drop. Bahkan Rijal pernah membawa Tari ke UGD tanpa sepengetahuan keluarga mereka.
Setelah matahari meninggi, Tari baru bisa melepas selimut. Ia melihat jam di HP-nya. Jam setengah sembilan. Tari lalu melihat keadaan halaman belakang. Cahaya matahari sudah menyapa sebagian besar lahan di sana. Tari menyiapkan kursi plastik. Hendak berjemur. Cahaya matahari terlambat sampai di halaman belakang karena terhalang oleh bangunan rumah sebelah. Sehingga jadwal berjemur Tari menjadi lebih siang.
Selama off dari segala kegiatan, Tari sering merenung. Dalam diam, ketika sendiri, atau seperti sekarang, ketika sedang berjemur. Bagaimana bisa kesehatannya berada di titik nadir terendah?  Selama lebih dari dua tahun Tari tak tahu pasti apa yang menyebabkan ia bisa mengalami gagal ginjal. Gagal ginjal adalah penyakit dengan proses yang sangat perlahan, bukan hasil kerja satu malam. Jadi agak sulit baginya merunut kembali penyebab kerusakan ginjalnya.
Namun, pada suatu hari Tari seolah mendapat “ilham”. Terlintas dalam kepalanya untuk memulai pelacakan dari obat liver yang dulu sempat membuat ginjalnya panas dan pegal. Susah payah ia mengingat nama obat itu.  Ia mencari nama obat itu dalam  memori di
otaknya selama berjam-jam. Bahkan tidur Tari dibuat tak nyenyak karenanya.
Setelah mencari di internet, Tari mendapati kontra indikasi obat tersebut adalah kerusakan ginjal yang parah.  Setelah bertanya kepada seorang guru farmasi, Tari paham bahwa obat itu tidak boleh diberikan kepada orang yang ginjalnya bermasalah.
Mungkin obat itu dicerna dalam ginjal sehingga menyebabkan ginjal bekerja lebih berat. Untuk orang dengan ginjal yang bermasalah, hal ini akan membuat penyakitnya lebih parah. Atau mungkin obat itu mengandung senyawa yang bisa merusak ginjal? Tari tak tahu pasti. Namun, dengan informasi kontra indikasi, Tari yakin obat itulah yang menjadi penyebab Tari mengalami gagal ginjal.
Beberapa tahun yang lalu Tari pernah menderita batu ginjal. Mungkin setelah mendapat “hadiah“ batu, ginjalnya mengalami kerusakan. Pasalnya, waktu itu frekuensi kencingnya menjadi sedikit lebih sering. Hampir dua jam sekali. Padahal sebelumnya tak kurang dari tiga jam sekali.
Jadi, Tari termasuk orang yang tak boleh mengkonsumsi obat liver tersebut. Obat itu akan membuat ginjalnya lebih menderita. Dan hal itu terbukti dengan adanya rasa tidak nyaman pada ginjalnya dan frekuensi kencing yang tiba-tiba menjadi kurang dari satu jam sekali setelah mengkonsumsi obat tersebut.
Celakanya Tari tidak tahu bila frekuensi kencing yang meningkat merupakan gejala awal gagal ginjal. Sehingga Tari mengkonsumsi ekstrak teripang dan susu kedelai. Keduanya mengandung protein yang sangat tinggi. Selain itu, kacang kedelai juga mengandung kalium yang   sangat   tinggi.    Dua-duanya  “haram”  tidak   boleh dikonsumsi oleh penderita gagal ginjal. Pola makan Tari pun tinggi protein. Daging ayam dan telur hampir setiap hari tersedia di meja makan. Kadang-kadang daging sapi pun tersedia di sana.
Alhasil, kondisi ginjal Tari memburuk. Ketika ia sadar ada masalah, semuanya telah terlambat. Ginjalnya sudah rusak.
Jam sepuluh. Anak-anak kecil berkeliaran di depan rumah Tari. Sebagian dari mereka bahkan baru genap berusia tiga tahun. Sebagian lagi baru lebih sedikit dari umur empat tahun. Yang lainnya sudah menginjak bangku sekolah. Kelas satu SD.
Mereka bermain dalam kelompok-kelompok. Ada yang bermain sepeda, ada yang anyang-anyangan, ada juga yang sekedar berlari-lari.
Tari tak melihat satu pun ibu mereka mendampingi anak-anaknya bermain. Bukan satu dua kali ia mendapati para bocah itu bermain tanpa pengawasan orang dewasa.
Bahkan anak-anak itu lebih sering berkeliaran tanpa ibu mereka. Entah ibu mereka berada di mana. Setahu Tari, kebanyakan ibu dari anak-anak itu adalah ibu rumah tangga.
Padahal, beberapa waktu lalu seorang anak tetangga hampir saja hilang diculik. Untungnya si anak ditinggalkan penculiknya karena sang penculik hanya mengambil sepeda si anak. Si anak ditemukan oleh tetangganya cukup jauh dari pemukiman mereka.
Baru sebentar permainan digelar, sudah terdengar jerit tangis seorang bocah. Disusul tangisan bocah yang satu lagi. Iwan dan Dwi berebut sepeda roda tiga milik Dwi. Kedua bocah yang berebut sepeda bahkan belum bisa berbicara dengan lancar. Sambil menangis, keluarlah bahasa-bahasa  planet  dari  mulut  kedua bocah itu. Anak-
anak yang lebih besar mencoba menenangkan  keduanya. Namun tak berhasil.
Tak berapa lama muncullah ibu Dwi. Ia mencoba membujuk anaknya berbagi sepeda dengan temannya. Namun si bocah malah menangis lebih keras. Berteriak- teriak. Iwan pun tidak mau kalah. Dia berusaha menangis lebih keras dari temannya. Koor.
Beberapa saat kemudian datang ibu Iwan. Akhirnya kedua bocah itu dibawa ke rumahnya masing-masing. Sayup-sayup masih terdengar tangis kedua bocah. Sementara itu, anak-anak yang lain meneruskan permainannya maing-masing.
Itulah potret kehidupan sehari-hari yang dilihat Tari. Diam-diam dari balik tirai. Hati Tari sering miris melihatnya. Pedih. Terkadang ia merasa keberadaan anak-anak itu adalah kutukan baginya. Alih-alih sebagai penghibur hati. Terselip rasa iri melihat para bocah itu. Entah kapan Tari bisa menggendong anaknya sendiri.
Namun di sisi lain Tari bersyukur mertuanya sudah mendapat cucu dari anak-anak yang lain. Kakak-kakak iparnya. Rijal adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Sehingga Tari tidak merasa terlalu terbebani bila sampai hari ini belum bisa memberikan cucu bagi mertuanya.
Tari menarik napas panjang. Ia ingin mengisi penuh paru-parunya dengan udara. Ia lalu meninggalkan jendela dan menghempaskan tubuh kurusnya di atas kursi panjang.
Tari mengedarkan pandangan berkeliling ruang tamu. Kaca-kaca buram, meja-lemari berdebu, lantai yang tiada mengkilap, jejak air di langit-langit. Rumahnya tak lagi terurus semenjak ia sakit.
Pandangan Tari terhenti pada lemari penyekat yang memisahkan  ruang tamu  dengan  kamar  yang tidak
lagi berpenghuni. Berdus-dus dan berbotol-botol kemasan suplemen memenuhi sebagian lemari kecil itu.
Masya Alloh… sudah begitu banyak suplemen yang kuminum selama empat tahun terakhir. Padahal sebagian kemasan itu telah kubuang. Tapi tetap saja lemari itu hampir penuh. Gumam Tari dalam hati.
Ternyata hidupnya menjadi sangat rumit. Padahal Tari tak pernah membayangkan semuanya menjadi seperti ini. Berada dalam kondisi sulit membuatnya sempat menarik diri dari pergaulan. Tari bersembunyi di dalam rumah. Setiap kali ada temannya yang  hendak berkunjung, Tari akan mengeluarkan segala jurus agar kunjungan itu tidak pernah terlaksana. Kalaupun akhirnya ia mengizinkan temannya datang, itu karena Tari menghargai niat baik temannya. Kadang temannya terus- terusan menanyakan kepastian jadwal kunjungan ke rumahnya. Tari pun tak pernah menghubungi teman- temannya.
Ia melakukan semua itu hanya untuk melindungi hatinya. Tari tak mau disiksa rasa iri melihat teman- temannya datang menimang bayi mereka. Bahkan di antara mereka ada yang umurnya beberapa tahun lebih muda darinya. Tari memakai kacamata kuda dalam menjalani kehidupan. Tak mau melihat ke kiri dan ke kanan. Fokus  pada jalannya sendiri. 
Ia berusaha untuk bisa ridho dan bersyukur akan semua takdir yang menimpanya dengan sangat susah payah. Sampai saat ini Tari masih terus berusaha menanamkan dua kata itu di hatinya. Tari belum berhasil seratus persen. Jadi Tari tak mau usahanya sia-sia hanya karena rasa iri yang membakar hati.



Menikmati Hidup

Tak terasa Tari sudah melewati tiga kali lebaran bersama suaminya. Waktu cepat sekali berlalu. Hari demi hari terlewati begitu saja.
Tari menghabiskan libur lebaran tahun ini di desa suaminya. Lebaran adalah saat liburan bagi Tari. Libur dari diet yang menyiksa. Saatnya menikmati hidup!
Tari diizinkan membandel oleh suaminya. Padahal biasanya, Rijal sangat ketat mengawasi pola makannya. Tari harus merengek-rengek bila ingin membandel. Atau bahkan membandel di belakang Rijal. Nakal!
“Boleh lah, setahun sekali.” Ucap Rijal ketika mengizinkan Tari menyantap makanan “beracun”. Tari bahkan tidak meminta Rijal memberinya izin. Rijal yang menyuruhnya.
Hore! Tari bisa menyantap kue-kue kering yang kandungan lemak jenuhnya tinggi. Serta makan protein dengan porsi sedikit lebih banyak. Tapi, semua kesenangan itu harus dibayar dengan harga mahal.
Pulang ke rumah Tari terlihat lebih “berisi”. Bukan karena tubuhnya menggemuk, tapi membengkak. Terjadi penimbunan cairan dalam tubuh Tari. Harga yang pantas untuk kesenangan selama seminggu!
Namun, Tari tidak terlalu merasa khawatir. Sudah beberapa kali ia mengalami hal serupa. Biasanya, setelah ia memperbaiki pola makan dan memperbanyak istirahat, dalam waktu kurang lebih satu minggu, tubuh Tari akan kembali pulih.
Sebelumnya Tari berhasil “melobi” untuk mem- bandel seminggu sekali. Tari bisa menyantap serabi yang notabene memakai kelapa sebagai bahan dasarnya. Kalium dan lemak jenuhnya sangat tinggi. Selain serabi, kadang Tari membeli nasi kuning–yang juga meng- gunakan santan kelapa.
“Umi hanya ingin menikmati hidup.  Salahkah itu? Kalau mau makan yang kaliumnya rendah, susah Bi. Sayuran yang paling rendah kaliumnya cuman bawang.” Begitu bujukan yang dilancarkan Tari. Memang begitulah adanya. Hanya daging dan ikan serta buah-buahan saja yang mengandung kalium rendah. Setelah bosan, Tari berhenti sendiri memakan “racun” itu.
Tari memang sebisa mungkin menikmati apapun yang ia lakukan. Termasuk ketika pergi terapi. Tari membayangkan pergi ke sana untuk jalan-jalan. Nongkrong!
Terkadang Tari merasa datang bukan sebagai orang sakit, tapi hanya berkunjung untuk sekedar mengobrol dengan bu Oce. Obrolan para wanita.
Bu Oce pun tidak memperlakukan Tari layaknya orang sakit. Mereka jarang membicarakan perihal penyakit Tari. Setelah Tari menyampaikan keluhan yang dirasakannya,  obrolan  akan  mengarah  pada  topik  lain–sementara tangan bu Oce men-transfer energi pada dada, perut, punggung, pinggang, serta kaki Tari.
Mungkin hal itu yang menyebabkan orang-orang yang ia temui di tempat terapi tak pernah menyangka sakit Tari cukup serius. Bahkan tak menyangka Tari sakit. Mereka selalu bertanya pada Tari, “Siapa yang sakit?”
Setelah tahu sakit yang diderita Tari, terkadang mereka menampakkan wajah keheranan. 




Titik Terang

Kriingg!!! Tari melirik asal sumber suara. Timer di HP-nya berbunyi. Sudah waktunya urin dikeluarkan dari tubuh Tari. Ia melemparkan Inuyasha yang sedang dibacanya. Perlahan Tari beringsut turun dari tempat tidur.
Sepulang dari kamar mandi, Tari minum setengah gelas air putih hangat. Kegiatan yang satu ini menjadi ritual Tari setelah mengeluarkan urin. Tak ada literatur yang menyebutkan ia harus melakukan hal tersebut. Namun Tari berpikir, ia harus mengganti cairan yang baru saja ia keluarkan. Urin yang keluar dari tubuhnya setiap dua puluh menit sekitar setengah gelas. Bila tak diganti, sudah bisa dipastikan ginjalnya akan terasa sakit. Dan Tari bisa mengalami dehidrasi.
Tari kembali naik ke singgasananya. Tempat tidur yang empuk. Melanjutkan membaca komik yang ia pinjam dari Eni. Sebuah komik dilalapnya dalam waktu kurang dari satu jam. Tari baru berani meminjam komik karena ia merasa sudah sanggup membaca kembali. Walau selera mereka sedikit berbeda, Tari dan Eni mempunyai kegemaran yang mirip. Membaca komik dan menonton film kartun. Beberapa cerita sama-sama mereka senangi.
Kondisi badan Tari sekarang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keadaan awal ia terkena gagal ginjal.
Hasil tes laboratorium beberapa waktu yang lalu cukup menggembirakan. Tak ada lagi protein dalam urin Tari.
Dalam beberapa bulan ini berat badan Tari stabil di angka empat puluh. Bahkan kadang hampir empat puluh satu. Memang masih jauh dari angka empat puluh delapan. Bobot tubuh sebelum ia terkena serangan jantung. Stamina tubuhnya pun jauh lebih bagus. Tari memang masih perlu banyak berbaring, tapi ia sudah bisa meninggalkan posisi tidur jauh lebih lama dari sebelumnya. Ia sudah bisa membaca, mencoba menulis, dan sedikit demi sedikit mengasah kemampuan meng- gambarnya. Konsentrasi ketika melakukan semua hal itu tak terlalu menguras tenaganya lagi.
Terlebih setelah Tari melakukan terapi “tapping”, kualitas tidurnya pun bertambah baik. Ia sudah jarang mengalami gangguan tidur.
Tapping adalah terapi sentuhan. Ia mulai melaku- kan terapi beberapa bulan yang lalu. Ia melakukan terapi tersebut setiap hari sebelum tidur. Gerakan yang baginya lebih mirip ketukan alih-alih sentuhan itu tidak hanya berpengaruh terhadap tidurnya, namun mampu membuat tangan kanannya berfungsi–mendekati, normal kembali.
Tari menyusuri titik-titik nyeri di kaki, punggung, pundak, leher, kepala, dan wajahnya. Jumlah titik tersebut banyak sekali. Hampir semua ketukan dilakukan oleh Tari sendiri. Kadang-kadang Rijal membantu melakukan “tapping” pada punggung kanannya. Tangan kanan Tari tak bisa dipaksakan mengetuk punggung lama-lama.
Dua tahun yang lalu Tari merasakan gejala aneh pada tangan kanannya. Awalnya hanya rasa tak nyaman. Tangannya kadang terasa sedikit pegal. Dari bahu sampai lengan. Hal itu berlangsung selama beberapa bulan. Namun suatu hari ketika bangun tidur Tari dikejutkan oleh rasa baal pada tangannya. Tangannya mati rasa. Tari tak bisa merasakan sentuhan bahkan cubitan sekalipun.
Tari panik sekali waktu itu. Ia takut bila harus melakukan terapi seperti penyembuhan penyumbatan pembuluh darah pada kakinya. Biayanya sangat mahal. Setiap minggu Tari harus pergi ke dokter. Bukan dokter biasa. Ia seorang profesor. Tarip pemeriksaan di klinik sang profesor dua kali lipat dari dokter penyakit dalam dan empat kali lipat dari dokter umum. Bukan tarip dokter di rumah sakit pemerintah, tapi rumah sakit swasta dua. Tempat Tari dirawat dulu karena sakit jantung. Belum lagi Tari pun harus pergi ke laboratorium seminggu sekali. Periksa darah. Tari menjalani terapi selama empat bulan.
Dokter penyakit dalam mengatakan tangan Tari mati rasa karena pengaruh dari jantungnya. Untuk mengatasi hal tersebut, sang dokter memberi Tari beberapa macam obat.
Baru saja Tari mengkonsumsi sebutir obat yang diberikan dokter, kondisi jantungnya malah memburuk. Tari merasakan napasnya sesak. Detak jantungnya menjadi lebih tak beraturan. Akhirnya obat seharga ratusan ribu itu dibuang ke tempat sampah.
Terapi transfer energi cukup membantu. Setelah diterapi, baal tidak sering menyerang tangannya. Namun rasa  pegal  masih  terus  datang.   Pegal  akan menyergap tangan kanannya bila Tari banyak melakukan aktifitas. Bahkan hanya sekedar menulis.
Namun, setelah meneliti cukup lama, Tari menyimpulkan bahwa baal pada tangannya bukan pengaruh dari jantung. Tampaknya ada cedera fisik. Seperti keseleo atau semacamnya. Atau ada sesuatu yang terjepit? Syaraf? Tari merasakan sakit bila daerah tulang belikat sebelah kanan ditekan dengan agak keras.
Setelah melakukan “tapping” selama hampir satu tahun, Tari tak lagi mengalami mati rasa. Hanya pegal yang sesekali menyerang setelah tangannya terlalu banyak beraktifitas. Sekarang yang tersisa hanyalah sedikit rasa tak nyaman.















Pencerahan

Seiring membaiknya kondisi tubuh Tari, kondisi jiwanya pun ikut membaik. Namun, belum seratus persen. Masih banyak sisa-sisa luka yang membekas. Tari sudah tak banyak menangis. Jiwanya sudah lebih berdamai dengan kondisi fisiknya. Karena Tari sadar, bagaimana pun kerasnya ia menggugat, pada akhirnya ia akan dipaksa bertekuk lutut menerima takdirnya.
Tari pun sudah bisa melubangi “kepompong” tempatnya bersembunyi. Mengintip dunia dari celah yang ia buat. Dan akhirnya Tari punya kekuatan untuk me- langkah keluar dari kepompongnya.
Tari mulai berani menghubungi teman-temannya. Bahkan mengizinkan mereka datang ke rumah. Ia pun membuat aktifitas baru. Ber-facebook ria!
Syukurlah, ternyata masih saja ada teman Tari yang menyempatkan diri mengunjunginya−di sela-sela kesibukan mereka atau sekedar menghubunginya lewat SMS dan facebook.
Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Ada cerita suka, ada juga cerita duka. Teman Tari yang telah menikah rata-rata sudah mempunyai dua orang anak. Namun ada juga yang bernasib sepertinya, belum dikaruniai momongan. Sementara beberapa teman Tari yang lain bahkan belum menikah.
Sekolah farmasi−tempatnya mengajar, sekarang telah mengalami banyak kemajuan. Sementara SMP tetangganya mengalami kebangkrutan. SMP tersebut ditutup setahun yang lalu.
Sekolah telah menyewa gedung baru yang lebih layak disebut sebagai sekolah. Tampaknya kondisi keuangan mengalami perbaikan. Bahkan, telah dibuka jurusan baru: informatika dan manajemen. Murid yang masuk pun sudah melalui proses saringan. Kini, para “pejabat” selalu berada di sekolah. Hanya saja, pak Kus tak lagi menjabat sebagai kepala sekolah di sana. Pak Kus wafat setahun yang lalu.
Ada rasa sakit ketika Tari mendengar pak Kus wafat. Bukan karena kepergiannya, tapi caranya pergi yang menyisakan luka. Kala itu kondisi pak Kus sudah cukup stabil. Namun, ternyata pak Kus tidak meneruskan pengobatan yang tinggal satu paket lagi. Padahal pak Kus sudah menempuh lima paket pengobatan. Masalah klise, biaya.
Harga satu paket pengobatan memang sangatlah mahal. Biaya untuk sekali infus, tusuk jarum, dan jamu lebih dari satu juta. Sedangkan satu paket pengobatan terdiri dari sepuluh kali terapi. Berarti pak Kus telah menghabiskan uang lebih dari lima puluh juta.
Tari merasa getir. Di satu sisi, banyak orang harus menderita karena masalah uang. Di sisi lain, segelintir orang  menghambur-hamburkan   kekayaan  yang dimiliki-  nya. Bahkan kacamata yang dibeli oleh mereka sama harganya dengan harga satu paket pengobatan. Belasan juta. Harga sepatu lebih dari dua kali lipat harga paket pengobatan. Puluhan juta. Harga pakaian pengantin lebih dari dua puluh kali lipatnya. Ratusan juta. Dunia macam apa yang ia diami sekarang?
Bagi Tari pun tidak mudah menempuhi semua lekuk dan liku kehidupan. Namun, ia selalu berusaha mengucap banyak kata syukur atas segala sesuatu yang menimpanya. Terlebih, sekarang kondisi kesehatannya sudah jauh lebih baik.
Kemajuan kesehatan yang dialami Tari memberi kekuatan kepadanya agar tidak pernah berhenti berharap. Walau ia tak pernah tahu kapan kesembuhan itu akan datang, Tari tetap bermimpi bahwa suatu saat ia bisa sembuh. Rijal pun memegang teguh mimpi itu.
Semua kemajuan kesehatan yang dialami Tari sudah berhasil mematahkan “dogma” bahwa gagal ginjal bersifat irreversible−tak akan mengalami kesembuhan.
Tari merasa hidup kembali. Tidak lagi seperti mayat hidup–yang  hidup segan mati belum waktunya.
Setiap hari partikel udara−di rumah yang ditinggali Rijal dan Tari, senantiasa merangkum doa-doa yang terpanjat. Mereka masih terus berdoa akan kesembuhan Tari. Tidak lupa, mereka pun memohon kesabaran dan kekuatan serta kemudahan dalam menempuh jalan hidup mereka.






Catatan Penulis

Tak banyak yang mengenal sosok Mentari (bukan nama sebenarnya). Mentari memang bukan seorang pahlawan yang ikut berperang membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan. Ia bukan pula seorang pem- bawa perubahan dalam masyarakat. Mentari pun bukanlah sosok kharismatik yang mengagumkan.
Mentari hanyalah sosok sederhana yang mem- punyai banyak mimpi. Dalam mencapai mimpi-mimpinya, tak jarang ia harus bertentangan dengan mainstream.
Mentari sudah berbeda bahkan sejak dia masih sangat  kecil.  Setelah  beranjak  dewasa,  terkadang  ia mempunyai pola pikir, sikap, perilaku, serta mimpi yang juga berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.
Namun−terlepas dari siapa Mentari itu dan seberapa besar jasa Mentari dalam kehidupan ber- masyarakat, saya merasa tertarik untuk menuliskan kisah hidup Mentari ke dalam sebuah novel.
Lewat kisah ini, saya ingin mengatakan pada dunia bahwa berbeda dari orang kebanyakan tidaklah selalu buruk. Selama kita masih berjalan dalam koridor yang telah ditentukan oleh Alloh SWT, hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat wajar.
Akhirnya, hanya satu yang saya harapkan: mudah- mudahan ada hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dari kisah yang saya tulis ini.







My Dreams
Kisah Perjalanan Panjang Meraih Impian
@ 2011, Mayasari Sucan




Sampul dikerjakan oleh
Tiktik

Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit CV. Quanta Publishing


Cetakan I, 2011

Saya ucapkan terima kasih kepada:
Suami tercinta yang telah menemani saya melalui hari-hari yang melelahkan

Mama dan bapak yang telah memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreativitas

Ibu dan bapak yang telah menyayangi saya

Eni Chandraeni dan keluarga yang telah banyak membantu dalam penulisan novel ini