Wednesday, November 27, 2013

Ujung Penantian Panjang (bagian I)

Sumber Gambar:
www.digaleri.com

Aliya menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian ia menyatukan kedua tangan dan menariknya ke atas. Setelah tangannya turun, ia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Mencoba mengusir kekakuan yang menggayuti pundaknya sedari tadi. Pasien yang harus ditanganinya selalu banyak. Tak pernah kurang dari lima puluh orang. Hari ini saja ia harus melayani enam puluh satu pasien. Pasien terakhir meninggalkan ruangan Aliya beberapa menit yang lalu.
Baru saja Aliya melonggarkan kepenatannya sebentar, pintu ruangannya sudah diketuk kembali.
“Medrep...” Gumam Aliya lirih. Beberapa hari ini ia kerap didatangi oleh para medical representative dari berbagai perusahaan farmasi. Pasti rencana pembukaan klinik barunya sudah terendus oleh para medrep itu.
Pintu dibuka dari luar dan menyembullah sebentuk wajah ramah dari balik pintu.
“Boleh masuk Dok?” Si empunya wajah bertanya sambil tersenyum. Manis.
“Silahkan!” Aliya menyunggingkan senyum setengah terpaksa. Sebenarnya ia enggan berurusan dengan para medical representative.
Sekejap mata saja di hadapan Aliya berdiri sosok tegap dengan penampilan super rapih. Sepatu kulit tersemir mengkilap. Celana panjang yang memperlihatkan lipatan sempurna senada dengan jas yang dikenakannya. Serta rambut hitam klimis yang tersisir ala K-style.
“Rangga!” si tegap memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan hendak bersalaman. Namun Aliya hanya merapatkan kedua tangannya di depan dada sambil mengulum senyum. Aliya geli sendiri melihat orang di depannya terlihat kebingungan karena harus menjabat angin.
“Saya gak salaman dengan laki-laki.” Penjelasan Aliya seolah menjawab pertanyaan yang hanya dilontarkan Rangga dalam kepalanya.
“Silahkan duduk!” Aliya menunjuk kursi di hadapannya.
Rangga menarik kursi lalu mengambil posisi duduk. Ia terlihat kikuk. Ia masih mencerna penggalan kejadian yang baru saja dialaminya. Gak salaman dengan laki-laki? Pertanyaan itu terus terlontar dari benaknya.
***
“Gitu Dok! Kalo cuma Honda Jazz aja, kita bisa penuhi kok!” Rangga menutup penawarannya dengan iming-iming city car yang harganya cukup mahal itu. Sementara Aliya hanya mengerucutkan bibirnya sambil menatap Rangga dingin. Aliya sudah mendengar penawaran yang sama berulang kali.
“Saya maunya Alphard...” Aliya setengah bergumam menanggapi tawaran sang medrep.
“Apa? Alphard?” Rangga sedikit tersentak. Ia tak menyangka akan mendapat respon seperti itu.
“Hahaha saya bercanda!” Aliya tertawa gelak melihat ekspresi sang medrep.
“Dengar! Saya mendapat beasiswa untuk kuliah kedokteran. Jadi, rasanya saya tak harus kejar setoran untuk mengembalikan modal kuliah. Lagipula, saya tidak gila harta. So, saya tidak tertarik dengan suap yang anda tawarkan!” Tempo suara Aliya lambat namun tegas. Dengan penekanan intonasi di beberapa tempat.
Rangga mengerutkan dahi. Baru kali ini ia berhadapan dengan dokter aneh seperti ini. Terlalu berani. Terlalu berterus terang.
“Ini bukan suap, ini...”
“Sudahlah... Saya rasa jadwal kunjungan anda pastinya padat. Jangan membuang waktu anda untuk membujuk saya.” Aliya memotong kalimat medrep di hadapannya. Sudah tak ada gunanya lagi meneruskan pembicaraan. Aliya menyerahkan kembali brosur-brosur yang tadi disodorkan padanya.
“Oh, baiklah. Kalau begitu, saya pamit! Terima kasih atas waktunya Dok!” Rangga mencoba menyunggingkan senyum. Sejumput kekesalan tersemat di hatinya. Bagi Rangga, pernyataan Aliya terdengar terlalu arogan, sok suci, dan sok idealis. Toh dokter senior saja menyambut dengan senang hati paket liburan ke luar negeri yang disodorkan olehnya.
“Sama-sama!” Aliya mempersilahkan tamunya sambil melemparkan sesungging senyum.

Ujung Penantian Panjang (bagian II)

Sumber Gambar: www.umarfaruq.com




Ujung Penantian Panjang (bagian I)

Rangga mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang, didapatinya kelompok-kelompok pengajian kecil. Kelompok mentoring yang terdiri dari empat atau lima orang. Orang yang ditunggunya belum menampakkan batang hidung. Sekitar lima meter dari posisi duduknya, mata Rangga menangkap sebentuk wajah yang seolah tak asing baginya.
Sambil mengaduk-ngaduk memori di kepalanya, tanpa sadar Rangga mengamati gerak-gerik si empunya wajah. Tampaknya ia adalah seorang kakak mentor yang sedang membimbing adik-adiknya. Wanita yang sedang berbicara di dalam kelompok kecil itu berkulit kuning kecoklatan. Hidungnya tidak terlalu mancung, namun tidak bisa juga disebut pesek. Alis tebal di atas mata sipitnya menunjukkan bahwa wajah sang mentor belum pernah tersentuh “pisau cukur”.
Pencarian file di otak Rangga menemukan hasil dalam waktu beberapa menit.
Dokter Aliya? Masih sempet memberi mentoring? Tanya Rangga dalam hati. Ia tak yakin keakuratan hasil pencarian memorinya. Ia baru bertemu dengan dokter idealis itu satu kali. Jadi ia tak yakin sang mentor adalah orang yang sama dengan dokter yang ditemuinya tempo hari.
Beberapa saat kemudian kelompok mentoring yang diamati Rangga membubarkan diri. Yang tersisa di kumpulan itu hanyalah sang mentor. Tapi tak lama. Setelah membereskan barang bawaannya, sang mentor pun beranjak pergi.
Tanpa maksud apapun, Rangga mengikuti sang mentor dengan pandangannya. Kini Rangga mengerutkan dahi. Dilihatnya gaya berjalan sang mentor yang sedikit timpang. Tampak lebih berat ke arah kiri.
“Assalamualaikum...”
“Eh, waalaikum salam...” Rangga sedikit terperanjat karena tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahunya. “Kang Asep, ngagetin aja!” Cepat-cepat Rangga menjabat tangan si pemberi salam.
“Serius amat! Lihat apa sih?” Asep menjulurkan kepala. Mencoba mencari objek penglihatan yang bisa membuat Rangga abai terhadap kedatangannya.
“Emmmhh... Akang kenal Teteh yang itu?” Rangga menunjuk sang mentor yang semakin menjauhi pandangannya.
“Oh... Itu teh Aliya. Kenapa gitu?”
“Dokter Aliya?”
“Iya. Kenal ama teh Aliya?”
“Enggak. Baru ketemu sekali waktu nawarin obat.” Rangga terdiam sejenak. Ia ragu mengutarakan isi kepalanya. “Apa... kaki dokter Aliya...” Rangga menggantung kalimatnya. Kini ia menatap Asep lekat. Seolah meminta bantuan agar mencarikannya kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Aliya.
“Ga normal?” Asep menebak jalan pikiran Rangga. Rangga mengangguk cepat.
 “Iya. Dokter Aliya kena polio waktu kecil. Ironisnya, ia terkena polio justru setelah mendapat vaksinasi polio...” Walau tipis, tergambar iba di wajah Asep. “Makanya, setelah menjadi dokter, teh Aliya tak pernah mengimunisasi bayi. Ia punya konsep kesehatan sendiri. Ia banyak berdiskusi dengan dokter-dokter di luar negeri yang juga sama-sama tidak menganjurkan imunisasi pada bayi.”
“O... gitu ya...” Rangga bergumam pelan. Seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Eh, malah ngebahas teh Aliya.” Asep tertawa kekeh. Menyadari bahwa ia terlarut dalam ceritanya sendiri. 
“Minggu depan kamu punya waktu?” Asep mengalihkan pembicaraan.
“Minggu depan? Ada aja. Kenapa emang?”
“Mau minta bantuannya. Minggu depan anak-anak IKMA mau out bond, jadi butuh konseptor dan pembimbing juga!” Asep menatap mantan anggota pecinta alam itu penuh harap.
“Oke. Siap! Saya bisa!”
“Baguslah kalau begitu.”
“Oya kang, mau tanya. Tadi kan ga sengaja dengerin orang-orang ngobrol, kok banyak sekali nama Ana di sini?” Asep mengerutkan dahi mendengar pertanyaan adik sepupunya itu. Setahu Asep, yang bernama Ana di IKMA hanya istrinya saja. “Dan herannya, mereka tuh cowok semua...” Rangga melanjutkan kalimatnya. Raut mukanya serius. Asep langsung mengulum senyum mendengar kalimat yang terakhir.
“Ana yang dimaksud itu bukan nama tapi kata ganti untuk kata saya. Itu bahasa Arab.”
“Oh, gitu... hehehe” Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tertawa kekeh. Ia memang tak tahu banyak tentang pergaulan di IKMA – Ikatan Keluarga Masjid al-Huda. Berbeda dengan Asep yang sudah tertarik untuk mengkaji Islam sejak masih kuliah, Rangga memilih bergelut dengan alam. Tak pernah terpikir olehnya untuk memperdalam agamanya sendiri. Jadi tidak heran bila Islam Rangga abangan. Hanya tahu solat, zakat, puasa, haji itu wajib. Sedang miras, judi, zina itu haram. Selebihnya ia tak tahu apa-apa. Dalam pelaksanaannya pun ia sering melanggar batas wajib dan haram itu.
***
J Rocks membangunkan Luna dengan lagu Fallin In Love-nya. Luna menggapai hp di atas meja dengan mata masih setengah tertutup. Ia bahkan belum beranjak dari posisi tidurnya. Setelah mendapatkan yang dicari, ia menekan tombol “berhenti”. J Rocks pun berhenti bernyanyi. Luna tidak segera bangun dari tempat tidur. Sebenarnya ia ingin berdiam diri di atas tempat tidur seharian. Kemarin ia menghabiskan malam di tempat dugem dan baru pulang ke rumah jam tiga pagi. Tapi apa mau dikata, ia harus menghadiri jadwal pemotretan.
“Aaaa...!” Tiba-tiba Luna berteriak. Kesal. Kemarin ia baru saja diputuskan Rangga untuk alasan yang tak masuk akal baginya.
“Berkerudung? Yang benar saja?” Gumam Luna pada dirinya sendiri. Rangga memintanya berhenti menjadi model dan merubah penampilannya secara ekstrim. Tentu saja Luna keberatan, menjadi model adalah cita-citanya sejak kecil. Ia tak bisa berhenti di tengah jalan hanya karena permintaan pacarnya. Bukan hanya itu, Rangga pun mengajaknya menikah.
Menikah? Aku tak bisa! Aku ingin mengejar mimpiku dulu. Itu yang Luna katakan kepada Rangga kemarin.
 ***
Luna terduduk sambil memeluk lututnya sendiri. Hidung mancungnya memerah. Mata sembabnya menatap nanar foto di atas meja. Foto dirinya bersama Rangga. Setelah efek alkohol hilang, barulah ia bisa merasakan hatinya yang sakit. Rasanya ribuan duri tajam ditancapkan pada hatinya secara bersamaan. Sekarang, ia baru menyadari bila hatinya terluka sangat dalam. Ia mendapati kekasih hatinya berubah hanya dalam hitungan bulan. Semenjak Rangga memutuskan untuk mempelajari Islam, Luna tak lagi bisa meraih Rangga. Rangga yang dulu seolah hilang bersama kenangan manis yang telah mereka rajut bersama selama delapan tahun.
***
“Ngapain ke rumah?” Aliya mengerutkan dahi ketika Rangga meminta izin untuk berkunjung ke rumahnya.
“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Dokter.” Rangga sedikit berhati-hati menjawab pertanyaan Aliya.
“Udah saya bilang, jangan panggil saya “dokter” kalo lagi di luar klinik! Emhh... kenapa ga di sini aja? Orang kita udah ketemu di sini!”
Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Selasar masjid memang sudah lengang. Hanya satu dua orang saja yang duduk-duduk di sana.
“Ga enak Dok! eh, Teh!”
“Udahlah di sini aja. Biar ga ribet janjian lagi!” Aliya tetap pada pendiriannya. Bukan hal mudah bagi Aliya untuk menjadwal ulang kegiatannya.
Akhirnya Rangga kalah jurus. Sebelum memulai kalimatnya, Rangga menarik napas dalam-dalam. Ia  mengumpulkan segenap keberanian yang ia punyai.
“Emmh... Saya... bermaksud melamar Dokter... eh, Teteh...” Rangga menundukkan kepala. Ia tak berani memandang wajah Aliya. Kini ia merasa tak lagi menjejak tanah.
“Apa? Melamar saya?” Aliya membelalakkan mata. Mulutnya ternganga. Seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Iya Teh...” Rangga memberanikan diri mengangkat wajah.
“Tunggu dulu, kenapa sampai kepikiran melamar saya?”
“Itu hasil istikhoroh saya Teh.” Kini Rangga mulai berani memandang Aliya.
Sedang Aliya kehilangan kata-kata. Perasaannya kacau balau: antara senang, takut, serta tak percaya. Semua teraduk menjadi satu. Jangan-jangan ini hanya lelucon? Atau ia melamarku hanya karena kasihan padaku? Seribu tanya berdengung-dengung di benak Aliya.
“Emmhh... Kenapa saya?” Aliya mencoba menguasai diri. Ia menarik kesadarannya ke alam nyata kembali.
“Semua perjuangan Teteh di IKMA... mentoring hari Minggu yang Teteh jalani di saat orang lain pergi berlibur, rapat-rapat malam yang Teteh hadiri di saat orang lain diam beristirahat, serta waktu yang Teteh gratiskan sementara orang lain menarik bayaran... Semua itu menyentuh hati saya...” Kata-kata itu mengalir lancar dari mulut Rangga apa adanya. Jujur dari relung hatinya yang terdalam.
Sejenak mereka tenggelam dalam diam. Keduanya sibuk dengan kunyahan pikirannya masing-masing.
“Tapi... Bagaimana dengan kaki saya...? Kaki saya tidak sempurna...” Suara Aliya memecah kebekuan. Ia terbata. Di luar Aliya tampak tegar. Seolah tak pernah bermasalah dengan keterbatasaanya. Namun dalam hatinya, Aliya terkadang merasakan kesedihan yang teramat sangat. Sebenarnya ia sangatlah rapuh.
“Selama ini tak ada satu ikhwan pun yang sudi melirik saya...” Suara Aliya melemah. Bibirnya mulai bergetar. Ia tak tahu alasan kenapa para ikhwan tak sudi menjadikannya sebagai pendamping hidup. Entah karena kecacatannya atau sebab yang lain. Yang jelas, ia sudah menggenapkan usianya di kepala tiga beberapa bulan yang lalu dan ia masih sendiri.
Rangga menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaan Aliya.
“Teteh salah... Selama ini banyak ikhwan yang mengidolakan Teteh... Namun mereka merasa Teteh terlalu istimewa sehingga mereka tak berani mengajukan diri untuk menjadi pendamping Teteh. Dokter adalah profesi yang sangat disegani Teh! Belum lagi kecerdasan dan kevokalan Teteh dalam menyerukan pendapat, ditambah kinerja Teteh di IKMA yang tak diragukan lagi. Semua itu membuat para ikhwan minder sama Teteh...”
Aliya membekap mulutnya sendiri. Matanya memanas. Sebentar saja mata Aliya mulai berkaca-kaca. Lalu sebutir tetes bening meluncur jatuh.
“Teh... Maukah Teteh jadi pendamping hidup saya? Maukah Teteh menjadi ibu dari anak-anak saya? Lalu mendidik mereka menjadi anak-anak yang soleh solehah? Seperti yang Teteh lakukan pada adik-adik mentor Teteh sekarang?” Rangga menatap Aliya penuh harap.
Aliya mengangguk pelan. Kini pandangannya mengabur. Air mata mengalir deras menuruni pipinya. Penantian panjangnya akhirnya menemukan ujung.
***
Dunia modelling digemparkan oleh kematian super model Luna Aprilia. Ia ditemukan tewas di kamar hotel karena over dosis obat penenang yang ditenggaknya bersama minuman beralkohol.



Wednesday, November 13, 2013

Kita Bisa Saja Tidak Peduli, Tapi....

Sumber Gambar: kisahcikmaz.blogspot.com

Seorang ibu bercerita sambil menahan tangis. Sebut saja Adi, anaknya yang ke-dua terjaring razia di sekolah. Adi ketahuan menyimpan majalah porno. Ternyata masalahnya tidak berhenti sampai di sana. Sang anak dilaporkan telah melakukan pelecehan pada beberapa orang anak perempuan. Anak 15 tahun itu sudah kecanduan konten porno.

Kabar ini menjadi tamparan yang sangat keras bagi kedua orang tua Adi. Bagaimana tidak, mereka telah mendidik anak-anaknya sesuai dengan tuntunan nabi sejak si anak dalam rahim sang ibu. Setelah menginjak usia sekolah, anak-anak itu disekolahkan di sekolah yang berbasis Islam. Namun ternyata magnet pergaulan begitu kuat menarik Adi ke dalam pusarannya. Ia goyah dalam pendiriannya.

Kejadian di atas hanya satu dari sekian kisah yang terjadi di negeri yang katanya religius ini. Banyak anak-anak yang menjadi korban pergaulan yang salah. Padahal mereka berasal dari keluarga baik-baik: diberi pendidikan yang baik di rumah dan disekolahkan di tempat yang baik. Tapi apa mau dikata, lingkungan tempat kita hidup juga memberi warna pada anak-anak.

Dalam Lima belas tahun terakhir, dunia berubah sangat banyak. Ada perubahan yang positif, ada juga yang negatif. Perubahan yang sangat pesat adalah dalam bidang teknologi. Termasuk di dalamnya kemajuan teknologi komunikasi.

Namun kemajuan teknologi komunikasi bak dua sisi uang koin yang memuat dua hal berlainan. Sisi manfaat dan kerusakan. Manfaatnya tak harus dirunut karena sudah jelas adanya. Namun daya perusaknya bersifat halus. Hampir tak terlihat. Tahu-tahu, sebuah kerusakan besar telah menganga di depan mata karena dampak negatifnya.

Televisi adalah kemajuan teknologi yang bisa dinikmati oleh hampir semua golongan masyarakat. Si kaya dan si miskin sama-sama dapat mengakses informasi dari kotak ajaib ini. Sekali lagi, televisi juga memberi dampak positif dan negatif. Melalui layar televisi disebarlah gaya hidup yang Katanya modern: mulai dari perkenalan minuman keras, clubbing, gaya hidup mewah sampai pergaulan bebas.


Dulu, masyarakat umum memandang pergi ke diskotik untuk berjoget dan menenggak minuman keras adalah perbuatan yang melanggar batas norma. Pada hari ini clubbing menjadi gaya hidup. Dulu, hamil di luar nikah adalah hal tabu yang memalukan (bicara soal dosa, tidak semua orang menganggap perbuatan zina itu sebagai dosa). Namun sekarang, hal tersebut menjadi wajar adanya karena begitu banyak orang yang melakoninya. Dulu, yang dikabarkan korupsi hanya orang-orang dalam lingkaran kekuasaan. Sekarang, level lurah bahkan RT sekalipun ada yang melakukan praktek haram tersebut.

Kita bisa saja menutup mata dan tidak peduli melihat fenomena yang ada dalam masyarakat. Kita mungkin bisa memilih untuk menjaga keluarga kita tanpa harus repot-repot memikirkan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita. Tapi, bila semua orang hanya memikirkan diri dan keluarganya saja, akan dibawa ke mana masa depan negeri ini?

Kekacauan yang terjadi hari ini adalah hasil dari keacuhan kita dan para pendahulu kita. Di mana sangat sedikit orang yang mau bersusah payah memikirkan pergaulan tetangganya, kondisi lingkungannya, atau mengamati tingkah laku para pemimpin. Setiap orang hanya peduli terhadap kehidupannya masing-masing. Ketika menginjak usia sekolah, sibuk dengan setumpuk PR dan ulangan. Ketika lulus dari bangku sekolah atau kuliah, disibukkan oleh mencari pekerjaan. Setelah bekerja, kerepotan dengan seabreg tugas. Dan kesibukan bertambah ketika telah menikah, apalagi setelah mempunyai anak.

Oleh karena itu, sebelum terjadi kerusakan yang lebih dahsyat lagi, marilah kita meningkatkan kepedulian terhadap keadaan sekitar kita dan memulai langkah nyata menuju perubahan dimulai dari diri kita, keluarga, lalu lingkungan.