Tuesday, January 7, 2014

Banyak Anak "Diajari" Melakukan Bullying Sedari Kecil


Gambar: livescience.com
Seorang anak yang baru berumur delapan tahun–sebut saja Yuda, tega menganiaya temannya sendiri dengan cara menenggelamkannya di sebuah kubangan.

Persoalan yang memicu tindakan Yuda adalah hal yang sangat sepele. Saat itu Yuda meminta uang sebesar seribu rupiah kepada temannya–sebut saja Asep. Ternyata Asep tidak mau menuruti kemauan Yuda. Akhirnya Yuda membenamkan kepala Asep ke dalam kubangan. Peristiwa itu berakhir tragis karena jiwa Asep melayang di tangan Yuda.

Peristiwa itu terjadi di negeri yang katanya menjunjung tinggi budaya sopan santun, saling tolong menolong, berkasih sayang, serta gemar menabung–yang terakhir adalah bahan candaan para ABG. Iya, itu terjadi di sini, di Republik Indonesia. Mungkin sangat sulit bagi akal kita mencerna peristiwa bullying tersebut. Seorang anak kecil mampu melakukan hal seperti itu.

Namun bila kita telaah lebih jauh, kita akan mafhum mengapa hal yang tidak disangka-sangka itu bisa terjadi.


Pendidikan (bagaimana caranya melakukan) bullying sejak dini

Anak kecil bagai kertas polos yang siap menerima coretan di atasnya-perumpamaan ini tidak sepenuhnya tepat tapi untuk memudahkan penyampaian ide saya gunakan perumpamaan ini.Idealnya, yang membuat coretan terbanyak sebelum anak bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, adalah orang tua. Orang tua yang berkewajiban memberi bimbingan agama serta tata krama.

Namun keadaan tidak selamanya ideal. Anak-anak terkadang mendapatkan pendidikan bagaimana cara melakukan bullying secara tidak sengaja. Orang tua seringkali “menaruh” anaknya di depan televisi sendirian ketika mereka sibuk dengan pekerjaan. Padahal tidak semua tayangan yang ada di televisi layak ditonton oleh anak-anak. Sebutlah berita kriminal yang menu wajibnya menayangkan tindak kejahatan, sinetron yang sarat dengan muatan bullying, bahkan film kartun sekalipun tidak bebas dari nilai-nilai bullying.

Atau ada juga orang tua yang membiarkan anak-anaknya yang masih kecil bermain di luar rumah tanpa pengawasan. Sementara di luar rumah, sang anak bisa bergaul dengan siapa saja. Ia mungkin bisa bergaul dengan anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Anak-anak yang lebih kecil rentan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari anak yang lebih tua. Baik secara verbal, emosional, bahkan secara fisik. Perbuatan tidak menyenangkan itu bisa dikategorikan sebagai bullying.
Yang paling mengkhawatirkan adalah, ketika anak-anak justru mendapat pendidikan bullying dari orang tuanya sendiri. Orang tua dapat mem-bully anaknya dengan cemoohan, labelling, bahkan sampai pada tindakan yang menyakiti secara fisik seperti pemukulan tanpa alasan yang tepat.

Bullying yang diterima oleh seorang anak akan terekam dalam pikiran bawah sadarnya. Dan bullying yang diterima secara berulang-ulang akan membuat sang anak “menciptakan” norma dalam pikirannya. Norma pertama yang mungkin diciptakannya adalah, bullying hal yang syah dilakukan oleh orang lain kepada dirinya. Sedang norma yang kedua adalah, ia pun boleh melakukan bullying pada orang lain.

Sang anak dalam kepolosannya bisa saja mempercayai norma tersebut. Bila ia meyakini norma pertama–ciptaannya, ia akan menjadi pribadi tertutup yang selalu merasa minder serta rendah diri, sehingga ia tidak dapat menghargai dirinya sendiri. Sedang bila sang anak percaya pada norma yang kedua, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang emosional, agresif, serta cenderung arogan.

Dirangkum dari berbagai sumber

Sinetron oh Sinetron


sinetron
Bije, seorang murid baru di sebuah Sekolah Dasar elit, sedang asyik membaca buku di selasar kelas. Tanpa disadarinya, tiga orang teman wanita menghampiri Bije. Salah seorang dari mereka menarik paksa buku yang ada dalam genggaman Bije. Bije sangat terkejut mendapat sambutan yang tidak disangka-sangka dari teman barunya itu.

Si perebut buku dengan judesnya menatap Bije sambil mengancam Bije agar ia tidak sok jagoan. Kemudian temannya menimpali bahwa di sekolah tersebut tidak ada yang berani melawan mereka.
Demi melihat kelakuan teman yang baru ditemuinya itu, Bije hanya terdiam sambil membelalakkan mata. Bahkan ketika buku tersebut dilemparkan ke atas begitu saja, Bije hanya bisa ternganga.


Menu wajib sinetron Indonesia

Tindakan ketiga anak tersebut memang hanya terdapat dalam sinetron yang diputar di salah satu stasiun televisi. Adegan senada memang selalu ada hampir di setiap sinetron kejar tayang. “Pelakunya” tidak hanya orang dewasa, tapi bocah ingusan pun sudah disetting sedemikian rupa melakukan adegan seperti yang diperagakan oleh Bije CS. Tidak hanya kekerasan verbal seperti ejek mengejek bahkan ancam mengancam, kegiatan yang lebih kejam pun sering disuguhkan. Mulai dari memukul, menjambak, sampai menabrak si korban atau tindakan kekerasan lain yang bisa membahayakan jiwa. Semua tindakan itu jelas-jelas tidak terpuji dan tidak patut ditiru.

Bila yang menonton sinetron tersebut adalah orang dewasa–yang bisa berpikir dengan jernih, mungkin adegan tersebut hanya dianggap sebuah hiburan belaka. Tapi bila yang menonton adalah anak kecil yang belum bisa membedakan mana baik dan buruk, bukan hal yang tidak mungkin adegan kekerasan tersebut dapat ditiru oleh mereka.

Celakanya, seringkali anak-anak menonton televisi tidak didampingi oleh orang tuanya. Atau, walaupun didampingi orang tuanya, orang tua malah sibuk sendiri menikmati adegan demi adegan dalam sinetron tanpa mencoba menjelaskan hal yang baik dan buruk dalam tayangan tersebut.

Di Indonesia, ada beberapa stasiun televisi yang memasukkan sinetron sebagai tayangan wajib. Durasi yang disediakan untuk tayangan sinetron sangatlah panjang. Dalam sehari bisa ditayangkan beberapa judul sinetron untuk setiap stasiun televisi.

Jadi bisa dibayangkan bila anak-anak begitu rajin duduk manis di depan televisi sambil menonton sinetron tanpa pengawasan orang tua, apa yang tertanam di alam bawah sadar anak-anak yang polos itu?


Layak tayang?

Adalah perlu meninjau kembali kelayakan sinetron sebagai hiburan bila tayangan kekerasan masih selalu dijadikan bumbu di dalamnya. Masih banyak hal lain yang bisa digali dalam seni peran tersebut. Tentunya hal positif yang bisa ditiru oleh penontonnya. Terutama oleh generasi muda bangsa ini.

Memang dibutuhkan peran orang tua agar bisa selektif dalam memberikan hiburan yang baik bagi buah hati mereka. Tapi peran vital yang sangat diperlukan adalah keseriusan pemerintah agar dapat terciptanya tayangan bermutu yang layak edar. Karena pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan hal tersebut. Pemerintah bisa memberi arahan sekaligus peringatan bahkan sanksi kepada para pekerja yang terlibat dalam pembuatan program televisi.

Namun kenyataan yang terjadi sekarang adalah, pemerintah yang diwakili oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), seolah tidak memiliki kontrol sama sekali atas seleksi penyiaran di televisi. KPI seolah hanya membubuhkan stempel “lulus sensor” pada setiap tayangan tanpa melihat terlebih dahulu isi tayangan tersebut. Bila hal ini terus dipertahankan, mau dibawa ke mana generasi muda bangsa ini?

Sunday, January 5, 2014

Matahari Terbit di Pegunungan


Sewaktu mudik, menyempatkan diri ngambil jepretan matahari yang sedang terbit. Di Bandung ga ada pemandangan seperti ini hehehehe.