Thursday, December 26, 2013

Dilema Pedagang Barang KW (Baca: Palsu)


Fashion dunia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Entah itu mode pakaian, tas, sepatu, maupun asesoris. Para desainer berlomba-lomba menciptakan rancangan yang menjadi ciri khasnya.

Berbicara mengenai fashion bukan melulu membahas tentang kebutuhan untuk "berpakaian" tapi juga akan menyentuh pada bagian gaya hidup serta prestise-gengsi. Sehingga tidak heran bila banyak orang rela merogoh saku dalam-dalam untuk membeli produk fashion yang dibandrol berkali-kali lipat dari ongkos produksinya itu sendiri. Harganya mulai berkisar dari belasan juta sampai ratusan juta rupiah. Bahkan ada yang sampai pada angka milyar. Merk di dunia fashion yang sudah terkenal sebutlah Hermes, Louis Vuitton, Gucci, Chanel, D&G, Christian Dior, Armani, Prada, Adidas, Nike, Boss, Oakley, dll, mampu membuat para penggila barang bermerk bertekuk lutut.

Demam barang-barang mahal sampai juga ke negara kepulauan Indonesia. Para orang kaya dari berbagai kalangan seperti selebritis, pengusaha, pejabat serta koruptor gemar sekali memakai barang yang dalam harganya terdapat banyak angka nol tersebut. Namun, sebagai negara-yang katanya, berkembang, mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari golongan masyarakat menengah dan pas-pasan. Tentunya kebanyakan masyarakat tidak mampu membeli barang-barang branded super mewah yang harganya melangit. Tapi demam sudah terlanjur mewabah, masyarakat golongan ekonomi menengah dan pas-pasan pun ingin "mencicipi" rasanya memakai barang bermerk. Akhirnya masyarakat golongan ini merelakan diri mencicipi barang KW alias tiruannya saja yang dijual dengan harga sangat murah, sangat sangat sangat jauh dari harga aslinya.

Di mana ada permintaan, di situ ada produksi. Minat masyarakat untuk tampil gaya dengan barang palsu ini dilirik oleh para produsen. Dan tercipatalah mata rantai ekonomi yang melibatkan produsen, distributor (termasuk di dalamnya importir), pedagang besar, pedagang kecil, serta konsumen barang KW. Entah kenapa, di republik ini mata rantai barang KW begitu mudah berkembang, bak cendawan di musim hujan. Padahal konon katanya ada undang-undang hak cipta yang tidak memperbolehkan penjiplakan atau pemalsuan suatu merk. Konon katanya juga, ada razia terhadap para produsen serta pedagang barang-barang KW.

Namun, peraturan tinggallah peraturan, peredaran barang palsu di republik ini sangatlah subur. Seolah sama sekali tanpa halangan. Kalaupun ada "penertiban", yang terkena dampaknya adalah mata rantai paling ujung dari sebuah distribusi, yaitu para pedagang kecil. Sementara produsen atau importir (pasokan barang palsu didapat dari luar negeri juga) seolah jarang sekali tersentuh oleh hukum. Hal inilah yang membuat dilema di kalangan pedagang, di satu sisi menjual barang palsu melanggar undang-undang, di sisi lain permintaan akan barang tersebut sangatlah tinggi. Tidak sedikit orang yang ogah memakai merk dalam negeri yang "tidak terlalu terkenal".

Namun bagaimanapun, dapur harus terus mengepul, akhirnya para pedagang bermain petak umpet dengan aturan. Mereka tetap menjual barang tiruan tersebut walau kadang diliputi sedikit kekhawatiran akan terjaring razia.

Berangus peredaran barang KW dari akarnya dan galakkan produksi merk dalam negeri

Mengenai peredaran barang KW ini, seharusnya pemerintah tegas memberlakukan aturan yang ada. Sudah sepatutnya pemerintah menindak produsen barang-barang KW serta menutup keran impor barang tersebut. Hal ini jauh lebih efektif untuk memberangus peredaran barang KW daripada mengejar-ngejar pedagang kecil-yang tidak punya banyak pilihan dalam bisnisnya.

Dengan menjegal peredaran barang KW, produksi dalam negeri akan menggeliat kembali. Tentunya dengan merk dalam negeri juga. Masyarakat pun "dipaksa" memakai merk-merk dalam negeri. Sehingga suatu saat akan tumbuh kebanggaan mereka terhadap hasil karya anak negeri. Hal ini akan menguntungkan semua pihak. Produsen dalam negeri kembali "hidup", pedagang tak usah cemas akan dirazia karena memasarkan produk "legal", masyarakat pun terdidik untuk menggunakan barang-barang produksi dalam negeri.

Jadi, apa lagi yang ditunggu oleh pemerintah?

No comments:

Post a Comment