Wednesday, April 15, 2015

Rijal Abdillah (Cuplikan Novel Kisah Nyata My Dreams)


“Bagaimana Teh?”
Suara itu membuyarkan lamunan Tari. Ia lalu menengok ke arah suara berasal. Seorang lelaki berperawakan tinggi dan kurus sedang menatapnya. Menunggu jawaban.
Ia adalah seorang kenalan Tari. Seorang sales buku. Mereka bertemu di sekolah tempat Tari mengajar.
Tari menghela napas. Berat. Sejenak ia memandangi lelaki yang duduk terpisah lebih dari satu meter di sebelah kiri tempatnya duduk kini. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sepatu sport, celana jeans, jaket kulit, serta sebuah tas kecil terselempang di bahunya. Hanya itu yang bisa ditangkap Tari dalam alam sadarnya. Selebihnya Tari sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Benarkah semua ini? Ataukah hanya mimpi? Bila ia tahu semuanya, akankah ia tetap pada pendiriannya? Seribu tanya berdengung-dengung di telinga Tari.
“Kondisi saya seperti ini, saya punya banyak kekurangan. Akang bener-bener mau sama saya?” akhirnya setelah beberapa saat Tari angkat bicara. Nada suaranya tak bersahabat. Judes. Mungkin ini yang menyebabkan seorang ikhwan pernah mengurungkan niatnya berta’aruf dengannya. Lalu Tari terdiam.
Tari melemparkan pandangan lurus ke depan. Sore ini banyak anak-anak bermain futsal. Selain karena keributan yang mereka ciptakan, jarak tempat Tari dan sang ikhwan duduk pun terpisah cukup jauh. Sehingga keduanya harus sama-sama meninggikan suara.
“Memangnya kekurangan teteh apa saja?” sang ikhwan tampak mencoba mensikapi pernyataan Tari dengan bijak.
Pff… belum tahu dia! Seru Tari dalam hati.
“Pertama, temperamen saya tinggi. Saya mudah marah. Kedua, saya keras kepala. Ketiga, saya penyakitan.” Suara Tari bergetar menjawab pertanyaan sang ikhwan. Terlebih ketika menyebutkan poin terakhir. Pandangan Tari masih lurus ke depan. Tari gamang.
“Saya sakit jantung, baru saja terkena hepatitis A dan ginjal saya pernah bermasalah. Juga ada penyumbatan pembuluh darah di kaki saya.” sang ikhwan tidak tahu riwayat kesehatan Tari karena mereka tak pernah mengobrol banyak. Bertemu pun sangat jarang.
Tari mengalihkan pandangan. Ia ingin menangkap ekspresi wajah ikhwan di pinggirnya ketika mendengar semua pemaparannya. Tari menduga akan mendapati dahi yang berkerut maksimal atau bahkan mulut yang ternganga. Namun, Tari salah. Ia tak mendapati mimik itu.
Ikhwan tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang ada dalam kunyahan pikirannya, ia tampak tenang. Justru malah Tari sendiri yang terkejut ketika ia tiba-tiba menanyakan nama lengkap Tari, seolah tak tertarik untuk mendengar penjelasan mengenai kondisi fisiknya dan mengalihkan pembicaraan.
“O iya Teh, nama lengkap Teteh siapa?”
Tari sempat ragu menjawabnya.
“Mentari Indah Kartika… Di rumah, saya dipanggil Tari.” Tari terdiam sejenak. Kekagetannya masih bersisa. “Kalo akang?” Tari cepat menguasai diri.
“Rijal Abdillah.”
***

Beberapa saat kemudian, benteng pertahanan Tari mengendur. Suasana mulai mencair. Partikel atmosfer melepas ikatannya satu sama lain. Mereka pun bisa bergerak bebas lagi. Pembicaraan mulai terasa nyaman. Obrolan mereka pun sampai pada pertanyaan tentang sifat orang tua masing-masing.
“Saya adalah copy-an sempurna dari bapak saya.”  jawab Tari dengan tenang. Tari dan bapak memiliki sifat yang hampir mirip. Keras kepala dan cenderung otoriter.
Walau sifatnya ini ramai diperbincangkan, namun Tari tak pernah menyesal mempunyai sifat seperti ini. Ia pun tak punya niatan untuk berubah. Hidupnya tidak seperti kebanyakan orang. Hanya dengan seperti itu Tari bisa bertahan. Tetap tegak berdiri menjalani hidup.
Pertemuan sore itu diakhiri dengan janji yang diberikan Rijal. Ia akan datang ke rumah Tari untuk membicarakan niatnya kepada bapak Tari.
***

Selama dua minggu Tari menunggu keseriusan niat Rijal. Tari tak banyak berharap. Ia membiarkan semuanya mengikuti aliran waktu dengan sendirinya. Bila Rijal serius dan mau menerima keadaan Tari, ia akan datang ke rumahnya. Bila tidak, ia tak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah.
Ternyata, Rijal datang menepati janji. Ia datang ke rumah Tari dengan mengendarai BMW. Bebek Merah Warnanya.
Bapak terlihat termenung menerima kedatangan Rijal. Tanpa ekspresi kegembiran, bapak berbincang dengan Rijal. Tari paham perasaan bapak. Bapak bukannya tidak gembira. Hanya saja, putri–kecil kesayangan, bapak dilamar oleh seorang sales buku yang tidak mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Sedang Tari secara berkala memerlukan pelayanan medis. Selain itu, penghasilan Rijal pun tidak terlalu besar.
Tapi bapak tidak menolak niat baik Rijal. Bapak menyerahkan segala keputusan pada Tari. Karena yang akan menjalani semuanya adalah Tari.
***

Dua minggu setelah itu, orang tua Rijal datang ke rumah Tari untuk membicarakan perihal acara lamaran. Dua minggu setelahnya, acara lamaran dilangsungkan. Tujuh bulan kemudian pernikahan mereka pun digelar. Tari menikah di usia dua puluh tujuh tahun.
Beberapa bulan yang lalu Tari sudah jengah dengan pertanyaan: kapan ia akan menikah? Orang-orang tak meraba hatinya ketika melontarkan pertanyaan macam itu. Mereka tak menyadari bahwa pertanyaan itu menyakiti Tari.
Kini Tari telah menemukan pendamping hidup. Namun selama beberapa bulan, ia masih merasa semuanya adalah mimpi. Terkadang Tari terbangun dari tidur dengan terkaget-kaget. Ada orang asing tidur di sampingnya!

No comments:

Post a Comment