“Bagaimana Teh?”
Suara itu membuyarkan
lamunan Tari. Ia lalu menengok ke arah suara berasal. Seorang lelaki
berperawakan tinggi dan kurus sedang menatapnya. Menunggu jawaban.
Ia adalah seorang kenalan
Tari. Seorang sales buku. Mereka bertemu di sekolah tempat Tari mengajar.
Tari menghela napas. Berat.
Sejenak ia memandangi
lelaki yang duduk terpisah lebih dari satu meter di sebelah kiri tempatnya
duduk kini. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sepatu sport, celana jeans, jaket kulit, serta sebuah tas kecil
terselempang di bahunya. Hanya itu yang bisa ditangkap Tari dalam alam
sadarnya. Selebihnya Tari sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Benarkah semua ini? Ataukah hanya mimpi? Bila ia tahu
semuanya, akankah ia tetap pada pendiriannya? Seribu
tanya berdengung-dengung di telinga Tari.
“Kondisi saya seperti ini,
saya punya banyak kekurangan. Akang bener-bener mau sama saya?” akhirnya
setelah beberapa saat Tari angkat bicara. Nada suaranya tak bersahabat. Judes.
Mungkin ini yang menyebabkan seorang ikhwan pernah mengurungkan niatnya
berta’aruf dengannya. Lalu Tari terdiam.
Tari melemparkan pandangan
lurus ke depan. Sore ini banyak anak-anak bermain futsal. Selain karena
keributan yang mereka ciptakan, jarak tempat Tari dan sang ikhwan duduk pun
terpisah cukup jauh. Sehingga keduanya harus sama-sama meninggikan suara.
“Memangnya kekurangan teteh
apa saja?” sang ikhwan tampak mencoba mensikapi pernyataan Tari dengan bijak.
Pff… belum tahu dia! Seru Tari dalam hati.
“Pertama, temperamen saya
tinggi. Saya mudah marah. Kedua, saya keras kepala. Ketiga, saya penyakitan.”
Suara Tari bergetar menjawab pertanyaan sang ikhwan. Terlebih ketika
menyebutkan poin terakhir. Pandangan Tari masih lurus ke depan. Tari gamang.
“Saya sakit jantung, baru
saja terkena hepatitis A dan ginjal saya pernah bermasalah. Juga ada
penyumbatan pembuluh darah di kaki saya.” sang ikhwan tidak tahu riwayat
kesehatan Tari karena mereka tak pernah mengobrol banyak. Bertemu pun sangat
jarang.
Tari mengalihkan pandangan. Ia ingin menangkap ekspresi wajah
ikhwan di pinggirnya ketika mendengar semua pemaparannya. Tari menduga akan
mendapati dahi yang berkerut maksimal atau bahkan mulut yang ternganga. Namun,
Tari salah. Ia tak mendapati mimik itu.
Ikhwan tersebut hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang ada dalam kunyahan pikirannya, ia
tampak tenang. Justru malah Tari sendiri yang terkejut ketika ia tiba-tiba
menanyakan nama lengkap Tari, seolah tak tertarik untuk mendengar penjelasan
mengenai kondisi fisiknya dan mengalihkan pembicaraan.
“O iya Teh, nama lengkap
Teteh siapa?”
Tari sempat ragu
menjawabnya.
“Mentari Indah Kartika… Di
rumah, saya dipanggil Tari.” Tari terdiam sejenak. Kekagetannya masih bersisa.
“Kalo akang?” Tari cepat menguasai diri.
“Rijal Abdillah.”
***
Beberapa saat kemudian,
benteng pertahanan Tari mengendur. Suasana mulai mencair. Partikel atmosfer
melepas ikatannya satu sama lain. Mereka pun bisa bergerak bebas lagi.
Pembicaraan mulai terasa nyaman. Obrolan mereka pun sampai pada pertanyaan
tentang sifat orang tua masing-masing.
“Saya adalah copy-an sempurna dari bapak saya.” jawab Tari dengan tenang. Tari dan bapak
memiliki sifat yang hampir mirip. Keras kepala dan cenderung otoriter.
Walau sifatnya ini ramai
diperbincangkan, namun Tari tak pernah menyesal mempunyai sifat seperti ini. Ia
pun tak punya niatan untuk berubah. Hidupnya tidak seperti kebanyakan orang.
Hanya dengan seperti itu Tari bisa bertahan. Tetap tegak berdiri menjalani
hidup.
Pertemuan sore itu diakhiri
dengan janji yang diberikan Rijal. Ia akan datang ke rumah Tari untuk
membicarakan niatnya kepada bapak Tari.
***
Selama dua minggu Tari
menunggu keseriusan niat Rijal. Tari tak banyak berharap. Ia membiarkan
semuanya mengikuti aliran waktu dengan sendirinya. Bila Rijal serius dan mau
menerima keadaan Tari, ia akan datang ke rumahnya. Bila tidak, ia tak akan
pernah menginjakkan kakinya di rumah.
Ternyata, Rijal datang
menepati janji. Ia datang ke rumah Tari dengan mengendarai BMW. Bebek Merah
Warnanya.
Bapak terlihat termenung
menerima kedatangan Rijal. Tanpa ekspresi kegembiran, bapak berbincang dengan
Rijal. Tari paham perasaan bapak. Bapak bukannya tidak gembira. Hanya saja,
putri–kecil kesayangan, bapak dilamar oleh seorang sales buku yang tidak
mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Sedang Tari secara berkala memerlukan
pelayanan medis. Selain itu, penghasilan Rijal pun tidak terlalu besar.
Tapi bapak tidak menolak
niat baik Rijal. Bapak menyerahkan segala keputusan pada Tari. Karena yang akan
menjalani semuanya adalah Tari.
***
Dua minggu setelah itu,
orang tua Rijal datang ke rumah Tari untuk membicarakan perihal acara lamaran.
Dua minggu setelahnya, acara lamaran dilangsungkan. Tujuh bulan kemudian
pernikahan mereka pun digelar. Tari menikah di usia dua puluh tujuh tahun.
Beberapa bulan yang lalu
Tari sudah jengah dengan pertanyaan: kapan ia akan menikah? Orang-orang tak
meraba hatinya ketika melontarkan pertanyaan macam itu. Mereka tak menyadari
bahwa pertanyaan itu menyakiti Tari.
Kini Tari telah menemukan
pendamping hidup. Namun selama beberapa bulan, ia masih merasa semuanya adalah
mimpi. Terkadang Tari terbangun dari tidur dengan terkaget-kaget. Ada orang
asing tidur di sampingnya!