Wednesday, November 27, 2013

Ujung Penantian Panjang (bagian II)

Sumber Gambar: www.umarfaruq.com




Ujung Penantian Panjang (bagian I)

Rangga mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang, didapatinya kelompok-kelompok pengajian kecil. Kelompok mentoring yang terdiri dari empat atau lima orang. Orang yang ditunggunya belum menampakkan batang hidung. Sekitar lima meter dari posisi duduknya, mata Rangga menangkap sebentuk wajah yang seolah tak asing baginya.
Sambil mengaduk-ngaduk memori di kepalanya, tanpa sadar Rangga mengamati gerak-gerik si empunya wajah. Tampaknya ia adalah seorang kakak mentor yang sedang membimbing adik-adiknya. Wanita yang sedang berbicara di dalam kelompok kecil itu berkulit kuning kecoklatan. Hidungnya tidak terlalu mancung, namun tidak bisa juga disebut pesek. Alis tebal di atas mata sipitnya menunjukkan bahwa wajah sang mentor belum pernah tersentuh “pisau cukur”.
Pencarian file di otak Rangga menemukan hasil dalam waktu beberapa menit.
Dokter Aliya? Masih sempet memberi mentoring? Tanya Rangga dalam hati. Ia tak yakin keakuratan hasil pencarian memorinya. Ia baru bertemu dengan dokter idealis itu satu kali. Jadi ia tak yakin sang mentor adalah orang yang sama dengan dokter yang ditemuinya tempo hari.
Beberapa saat kemudian kelompok mentoring yang diamati Rangga membubarkan diri. Yang tersisa di kumpulan itu hanyalah sang mentor. Tapi tak lama. Setelah membereskan barang bawaannya, sang mentor pun beranjak pergi.
Tanpa maksud apapun, Rangga mengikuti sang mentor dengan pandangannya. Kini Rangga mengerutkan dahi. Dilihatnya gaya berjalan sang mentor yang sedikit timpang. Tampak lebih berat ke arah kiri.
“Assalamualaikum...”
“Eh, waalaikum salam...” Rangga sedikit terperanjat karena tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahunya. “Kang Asep, ngagetin aja!” Cepat-cepat Rangga menjabat tangan si pemberi salam.
“Serius amat! Lihat apa sih?” Asep menjulurkan kepala. Mencoba mencari objek penglihatan yang bisa membuat Rangga abai terhadap kedatangannya.
“Emmmhh... Akang kenal Teteh yang itu?” Rangga menunjuk sang mentor yang semakin menjauhi pandangannya.
“Oh... Itu teh Aliya. Kenapa gitu?”
“Dokter Aliya?”
“Iya. Kenal ama teh Aliya?”
“Enggak. Baru ketemu sekali waktu nawarin obat.” Rangga terdiam sejenak. Ia ragu mengutarakan isi kepalanya. “Apa... kaki dokter Aliya...” Rangga menggantung kalimatnya. Kini ia menatap Asep lekat. Seolah meminta bantuan agar mencarikannya kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Aliya.
“Ga normal?” Asep menebak jalan pikiran Rangga. Rangga mengangguk cepat.
 “Iya. Dokter Aliya kena polio waktu kecil. Ironisnya, ia terkena polio justru setelah mendapat vaksinasi polio...” Walau tipis, tergambar iba di wajah Asep. “Makanya, setelah menjadi dokter, teh Aliya tak pernah mengimunisasi bayi. Ia punya konsep kesehatan sendiri. Ia banyak berdiskusi dengan dokter-dokter di luar negeri yang juga sama-sama tidak menganjurkan imunisasi pada bayi.”
“O... gitu ya...” Rangga bergumam pelan. Seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Eh, malah ngebahas teh Aliya.” Asep tertawa kekeh. Menyadari bahwa ia terlarut dalam ceritanya sendiri. 
“Minggu depan kamu punya waktu?” Asep mengalihkan pembicaraan.
“Minggu depan? Ada aja. Kenapa emang?”
“Mau minta bantuannya. Minggu depan anak-anak IKMA mau out bond, jadi butuh konseptor dan pembimbing juga!” Asep menatap mantan anggota pecinta alam itu penuh harap.
“Oke. Siap! Saya bisa!”
“Baguslah kalau begitu.”
“Oya kang, mau tanya. Tadi kan ga sengaja dengerin orang-orang ngobrol, kok banyak sekali nama Ana di sini?” Asep mengerutkan dahi mendengar pertanyaan adik sepupunya itu. Setahu Asep, yang bernama Ana di IKMA hanya istrinya saja. “Dan herannya, mereka tuh cowok semua...” Rangga melanjutkan kalimatnya. Raut mukanya serius. Asep langsung mengulum senyum mendengar kalimat yang terakhir.
“Ana yang dimaksud itu bukan nama tapi kata ganti untuk kata saya. Itu bahasa Arab.”
“Oh, gitu... hehehe” Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tertawa kekeh. Ia memang tak tahu banyak tentang pergaulan di IKMA – Ikatan Keluarga Masjid al-Huda. Berbeda dengan Asep yang sudah tertarik untuk mengkaji Islam sejak masih kuliah, Rangga memilih bergelut dengan alam. Tak pernah terpikir olehnya untuk memperdalam agamanya sendiri. Jadi tidak heran bila Islam Rangga abangan. Hanya tahu solat, zakat, puasa, haji itu wajib. Sedang miras, judi, zina itu haram. Selebihnya ia tak tahu apa-apa. Dalam pelaksanaannya pun ia sering melanggar batas wajib dan haram itu.
***
J Rocks membangunkan Luna dengan lagu Fallin In Love-nya. Luna menggapai hp di atas meja dengan mata masih setengah tertutup. Ia bahkan belum beranjak dari posisi tidurnya. Setelah mendapatkan yang dicari, ia menekan tombol “berhenti”. J Rocks pun berhenti bernyanyi. Luna tidak segera bangun dari tempat tidur. Sebenarnya ia ingin berdiam diri di atas tempat tidur seharian. Kemarin ia menghabiskan malam di tempat dugem dan baru pulang ke rumah jam tiga pagi. Tapi apa mau dikata, ia harus menghadiri jadwal pemotretan.
“Aaaa...!” Tiba-tiba Luna berteriak. Kesal. Kemarin ia baru saja diputuskan Rangga untuk alasan yang tak masuk akal baginya.
“Berkerudung? Yang benar saja?” Gumam Luna pada dirinya sendiri. Rangga memintanya berhenti menjadi model dan merubah penampilannya secara ekstrim. Tentu saja Luna keberatan, menjadi model adalah cita-citanya sejak kecil. Ia tak bisa berhenti di tengah jalan hanya karena permintaan pacarnya. Bukan hanya itu, Rangga pun mengajaknya menikah.
Menikah? Aku tak bisa! Aku ingin mengejar mimpiku dulu. Itu yang Luna katakan kepada Rangga kemarin.
 ***
Luna terduduk sambil memeluk lututnya sendiri. Hidung mancungnya memerah. Mata sembabnya menatap nanar foto di atas meja. Foto dirinya bersama Rangga. Setelah efek alkohol hilang, barulah ia bisa merasakan hatinya yang sakit. Rasanya ribuan duri tajam ditancapkan pada hatinya secara bersamaan. Sekarang, ia baru menyadari bila hatinya terluka sangat dalam. Ia mendapati kekasih hatinya berubah hanya dalam hitungan bulan. Semenjak Rangga memutuskan untuk mempelajari Islam, Luna tak lagi bisa meraih Rangga. Rangga yang dulu seolah hilang bersama kenangan manis yang telah mereka rajut bersama selama delapan tahun.
***
“Ngapain ke rumah?” Aliya mengerutkan dahi ketika Rangga meminta izin untuk berkunjung ke rumahnya.
“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Dokter.” Rangga sedikit berhati-hati menjawab pertanyaan Aliya.
“Udah saya bilang, jangan panggil saya “dokter” kalo lagi di luar klinik! Emhh... kenapa ga di sini aja? Orang kita udah ketemu di sini!”
Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Selasar masjid memang sudah lengang. Hanya satu dua orang saja yang duduk-duduk di sana.
“Ga enak Dok! eh, Teh!”
“Udahlah di sini aja. Biar ga ribet janjian lagi!” Aliya tetap pada pendiriannya. Bukan hal mudah bagi Aliya untuk menjadwal ulang kegiatannya.
Akhirnya Rangga kalah jurus. Sebelum memulai kalimatnya, Rangga menarik napas dalam-dalam. Ia  mengumpulkan segenap keberanian yang ia punyai.
“Emmh... Saya... bermaksud melamar Dokter... eh, Teteh...” Rangga menundukkan kepala. Ia tak berani memandang wajah Aliya. Kini ia merasa tak lagi menjejak tanah.
“Apa? Melamar saya?” Aliya membelalakkan mata. Mulutnya ternganga. Seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Iya Teh...” Rangga memberanikan diri mengangkat wajah.
“Tunggu dulu, kenapa sampai kepikiran melamar saya?”
“Itu hasil istikhoroh saya Teh.” Kini Rangga mulai berani memandang Aliya.
Sedang Aliya kehilangan kata-kata. Perasaannya kacau balau: antara senang, takut, serta tak percaya. Semua teraduk menjadi satu. Jangan-jangan ini hanya lelucon? Atau ia melamarku hanya karena kasihan padaku? Seribu tanya berdengung-dengung di benak Aliya.
“Emmhh... Kenapa saya?” Aliya mencoba menguasai diri. Ia menarik kesadarannya ke alam nyata kembali.
“Semua perjuangan Teteh di IKMA... mentoring hari Minggu yang Teteh jalani di saat orang lain pergi berlibur, rapat-rapat malam yang Teteh hadiri di saat orang lain diam beristirahat, serta waktu yang Teteh gratiskan sementara orang lain menarik bayaran... Semua itu menyentuh hati saya...” Kata-kata itu mengalir lancar dari mulut Rangga apa adanya. Jujur dari relung hatinya yang terdalam.
Sejenak mereka tenggelam dalam diam. Keduanya sibuk dengan kunyahan pikirannya masing-masing.
“Tapi... Bagaimana dengan kaki saya...? Kaki saya tidak sempurna...” Suara Aliya memecah kebekuan. Ia terbata. Di luar Aliya tampak tegar. Seolah tak pernah bermasalah dengan keterbatasaanya. Namun dalam hatinya, Aliya terkadang merasakan kesedihan yang teramat sangat. Sebenarnya ia sangatlah rapuh.
“Selama ini tak ada satu ikhwan pun yang sudi melirik saya...” Suara Aliya melemah. Bibirnya mulai bergetar. Ia tak tahu alasan kenapa para ikhwan tak sudi menjadikannya sebagai pendamping hidup. Entah karena kecacatannya atau sebab yang lain. Yang jelas, ia sudah menggenapkan usianya di kepala tiga beberapa bulan yang lalu dan ia masih sendiri.
Rangga menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaan Aliya.
“Teteh salah... Selama ini banyak ikhwan yang mengidolakan Teteh... Namun mereka merasa Teteh terlalu istimewa sehingga mereka tak berani mengajukan diri untuk menjadi pendamping Teteh. Dokter adalah profesi yang sangat disegani Teh! Belum lagi kecerdasan dan kevokalan Teteh dalam menyerukan pendapat, ditambah kinerja Teteh di IKMA yang tak diragukan lagi. Semua itu membuat para ikhwan minder sama Teteh...”
Aliya membekap mulutnya sendiri. Matanya memanas. Sebentar saja mata Aliya mulai berkaca-kaca. Lalu sebutir tetes bening meluncur jatuh.
“Teh... Maukah Teteh jadi pendamping hidup saya? Maukah Teteh menjadi ibu dari anak-anak saya? Lalu mendidik mereka menjadi anak-anak yang soleh solehah? Seperti yang Teteh lakukan pada adik-adik mentor Teteh sekarang?” Rangga menatap Aliya penuh harap.
Aliya mengangguk pelan. Kini pandangannya mengabur. Air mata mengalir deras menuruni pipinya. Penantian panjangnya akhirnya menemukan ujung.
***
Dunia modelling digemparkan oleh kematian super model Luna Aprilia. Ia ditemukan tewas di kamar hotel karena over dosis obat penenang yang ditenggaknya bersama minuman beralkohol.



No comments:

Post a Comment