 |
Sumber Gambar: www.umarfaruq.com |
Ujung Penantian Panjang (bagian I)
Rangga
mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang, didapatinya kelompok-kelompok
pengajian kecil. Kelompok mentoring yang terdiri dari empat atau lima orang.
Orang yang ditunggunya belum menampakkan batang hidung. Sekitar lima meter dari
posisi duduknya, mata Rangga menangkap sebentuk wajah yang seolah tak asing
baginya.
Sambil
mengaduk-ngaduk memori di kepalanya, tanpa sadar Rangga mengamati gerak-gerik
si empunya wajah. Tampaknya ia adalah seorang kakak mentor yang sedang
membimbing adik-adiknya. Wanita yang sedang berbicara di dalam kelompok kecil
itu berkulit kuning kecoklatan. Hidungnya tidak terlalu mancung, namun tidak
bisa juga disebut pesek. Alis tebal di atas mata sipitnya menunjukkan bahwa
wajah sang mentor belum pernah tersentuh “pisau cukur”.
Pencarian
file di otak Rangga menemukan hasil dalam waktu beberapa menit.
Dokter Aliya? Masih
sempet memberi mentoring? Tanya Rangga dalam
hati. Ia tak yakin keakuratan hasil pencarian memorinya. Ia baru bertemu dengan
dokter idealis itu satu kali. Jadi ia tak yakin sang mentor adalah orang yang
sama dengan dokter yang ditemuinya tempo hari.
Beberapa
saat kemudian kelompok mentoring yang diamati Rangga membubarkan diri. Yang
tersisa di kumpulan itu hanyalah sang mentor. Tapi tak lama. Setelah
membereskan barang bawaannya, sang mentor pun beranjak pergi.
Tanpa
maksud apapun, Rangga mengikuti sang mentor dengan pandangannya. Kini Rangga
mengerutkan dahi. Dilihatnya gaya berjalan sang mentor yang sedikit timpang.
Tampak lebih berat ke arah kiri.
“Assalamualaikum...”
“Eh,
waalaikum salam...” Rangga sedikit terperanjat karena tiba-tiba sebuah tepukan
mendarat di bahunya. “Kang Asep, ngagetin aja!” Cepat-cepat Rangga menjabat
tangan si pemberi salam.
“Serius
amat! Lihat apa sih?” Asep menjulurkan kepala. Mencoba mencari objek
penglihatan yang bisa membuat Rangga abai terhadap kedatangannya.
“Emmmhh...
Akang kenal Teteh yang itu?” Rangga menunjuk sang mentor yang semakin menjauhi
pandangannya.
“Oh...
Itu teh Aliya. Kenapa gitu?”
“Dokter
Aliya?”
“Iya.
Kenal ama teh Aliya?”
“Enggak.
Baru ketemu sekali waktu nawarin obat.” Rangga terdiam sejenak. Ia ragu
mengutarakan isi kepalanya. “Apa... kaki dokter Aliya...” Rangga menggantung
kalimatnya. Kini ia menatap Asep lekat. Seolah meminta bantuan agar
mencarikannya kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Aliya.
“Ga
normal?” Asep menebak jalan pikiran Rangga. Rangga mengangguk cepat.
“Iya. Dokter Aliya kena polio waktu kecil.
Ironisnya, ia terkena polio justru setelah mendapat vaksinasi polio...” Walau
tipis, tergambar iba di wajah Asep. “Makanya, setelah menjadi dokter, teh Aliya
tak pernah mengimunisasi bayi. Ia punya konsep kesehatan sendiri. Ia banyak
berdiskusi dengan dokter-dokter di luar negeri yang juga sama-sama tidak
menganjurkan imunisasi pada bayi.”
“O...
gitu ya...” Rangga bergumam pelan. Seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Eh,
malah ngebahas teh Aliya.” Asep tertawa kekeh. Menyadari bahwa ia terlarut
dalam ceritanya sendiri.
“Minggu depan kamu punya waktu?” Asep mengalihkan
pembicaraan.
“Minggu
depan? Ada aja. Kenapa emang?”
“Mau
minta bantuannya. Minggu depan anak-anak IKMA mau out bond, jadi butuh
konseptor dan pembimbing juga!” Asep menatap mantan anggota pecinta alam itu
penuh harap.
“Oke.
Siap! Saya bisa!”
“Baguslah
kalau begitu.”
“Oya
kang, mau tanya. Tadi kan ga sengaja dengerin orang-orang ngobrol, kok banyak
sekali nama Ana di sini?” Asep mengerutkan dahi mendengar pertanyaan adik
sepupunya itu. Setahu Asep, yang bernama Ana di IKMA hanya istrinya saja.
“Dan herannya, mereka tuh cowok semua...” Rangga melanjutkan kalimatnya. Raut
mukanya serius. Asep langsung mengulum senyum mendengar kalimat yang terakhir.
“Ana
yang dimaksud itu bukan nama tapi kata ganti untuk kata saya. Itu bahasa Arab.”
“Oh,
gitu... hehehe” Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tertawa kekeh.
Ia memang tak tahu banyak tentang pergaulan di IKMA – Ikatan Keluarga Masjid
al-Huda. Berbeda dengan Asep yang sudah tertarik untuk mengkaji Islam sejak
masih kuliah, Rangga memilih bergelut dengan alam. Tak pernah terpikir olehnya
untuk memperdalam agamanya sendiri. Jadi tidak heran bila Islam Rangga abangan.
Hanya tahu solat, zakat, puasa, haji itu wajib. Sedang miras, judi, zina itu
haram. Selebihnya ia tak tahu apa-apa. Dalam pelaksanaannya pun ia sering
melanggar batas wajib dan haram itu.
***
J
Rocks membangunkan Luna dengan lagu Fallin In Love-nya. Luna menggapai hp di
atas meja dengan mata masih setengah tertutup. Ia bahkan belum beranjak dari
posisi tidurnya. Setelah mendapatkan yang dicari, ia menekan tombol “berhenti”.
J Rocks pun berhenti bernyanyi. Luna tidak segera bangun dari tempat tidur.
Sebenarnya ia ingin berdiam diri di atas tempat tidur seharian. Kemarin ia menghabiskan
malam di tempat dugem dan baru pulang ke rumah jam tiga pagi. Tapi apa mau
dikata, ia harus menghadiri jadwal pemotretan.
“Aaaa...!”
Tiba-tiba Luna berteriak. Kesal. Kemarin ia baru saja diputuskan Rangga untuk
alasan yang tak masuk akal baginya.
“Berkerudung?
Yang benar saja?” Gumam Luna pada dirinya sendiri. Rangga memintanya berhenti
menjadi model dan merubah penampilannya secara ekstrim. Tentu saja Luna
keberatan, menjadi model adalah cita-citanya sejak kecil. Ia tak bisa berhenti
di tengah jalan hanya karena permintaan pacarnya. Bukan hanya itu, Rangga pun
mengajaknya menikah.
Menikah? Aku tak
bisa! Aku ingin mengejar mimpiku dulu. Itu
yang Luna katakan kepada Rangga kemarin.
***
Luna
terduduk sambil memeluk lututnya sendiri. Hidung mancungnya memerah. Mata
sembabnya menatap nanar foto di atas meja. Foto dirinya bersama Rangga. Setelah
efek alkohol hilang, barulah ia bisa merasakan hatinya yang sakit. Rasanya
ribuan duri tajam ditancapkan pada hatinya secara bersamaan. Sekarang, ia baru
menyadari bila hatinya terluka sangat dalam. Ia mendapati kekasih hatinya
berubah hanya dalam hitungan bulan. Semenjak Rangga memutuskan untuk
mempelajari Islam, Luna tak lagi bisa meraih Rangga. Rangga yang dulu seolah
hilang bersama kenangan manis yang telah mereka rajut bersama selama delapan
tahun.
***
“Ngapain
ke rumah?” Aliya mengerutkan dahi ketika Rangga meminta izin untuk berkunjung
ke rumahnya.
“Ada
yang ingin saya bicarakan dengan Dokter.” Rangga sedikit berhati-hati menjawab
pertanyaan Aliya.
“Udah
saya bilang, jangan panggil saya “dokter” kalo lagi di luar klinik! Emhh...
kenapa ga di sini aja? Orang kita udah ketemu di sini!”
Rangga
mengedarkan pandangan berkeliling. Selasar masjid memang sudah lengang. Hanya
satu dua orang saja yang duduk-duduk di sana.
“Ga
enak Dok! eh, Teh!”
“Udahlah
di sini aja. Biar ga ribet janjian lagi!” Aliya tetap pada pendiriannya. Bukan
hal mudah bagi Aliya untuk menjadwal ulang kegiatannya.
Akhirnya
Rangga kalah jurus. Sebelum memulai kalimatnya, Rangga menarik napas
dalam-dalam. Ia mengumpulkan segenap
keberanian yang ia punyai.
“Emmh...
Saya... bermaksud melamar Dokter... eh, Teteh...” Rangga menundukkan kepala. Ia
tak berani memandang wajah Aliya. Kini ia merasa tak lagi menjejak tanah.
“Apa?
Melamar saya?” Aliya membelalakkan mata. Mulutnya ternganga. Seolah tak percaya
dengan pendengarannya sendiri.
“Iya
Teh...” Rangga memberanikan diri mengangkat wajah.
“Tunggu
dulu, kenapa sampai kepikiran melamar saya?”
“Itu
hasil istikhoroh saya Teh.” Kini Rangga mulai berani memandang Aliya.
Sedang
Aliya kehilangan kata-kata. Perasaannya kacau balau: antara senang, takut,
serta tak percaya. Semua teraduk menjadi satu. Jangan-jangan ini hanya lelucon? Atau ia melamarku hanya karena kasihan
padaku? Seribu tanya berdengung-dengung di benak Aliya.
“Emmhh...
Kenapa saya?” Aliya mencoba menguasai diri. Ia menarik kesadarannya ke alam
nyata kembali.
“Semua
perjuangan Teteh di IKMA... mentoring hari Minggu yang Teteh jalani di saat
orang lain pergi berlibur, rapat-rapat malam yang Teteh hadiri di saat orang
lain diam beristirahat, serta waktu yang Teteh gratiskan sementara orang lain
menarik bayaran... Semua itu menyentuh hati saya...” Kata-kata itu mengalir
lancar dari mulut Rangga apa adanya. Jujur dari relung hatinya yang terdalam.
Sejenak
mereka tenggelam dalam diam. Keduanya sibuk dengan kunyahan pikirannya
masing-masing.
“Tapi...
Bagaimana dengan kaki saya...? Kaki saya tidak sempurna...” Suara Aliya memecah
kebekuan. Ia terbata. Di luar Aliya tampak tegar. Seolah tak pernah bermasalah
dengan keterbatasaanya. Namun dalam hatinya, Aliya terkadang merasakan
kesedihan yang teramat sangat. Sebenarnya ia sangatlah rapuh.
“Selama
ini tak ada satu ikhwan pun yang sudi melirik saya...” Suara Aliya melemah.
Bibirnya mulai bergetar. Ia tak tahu alasan kenapa para ikhwan tak sudi
menjadikannya sebagai pendamping hidup. Entah karena kecacatannya atau sebab
yang lain. Yang jelas, ia sudah menggenapkan usianya di kepala tiga beberapa
bulan yang lalu dan ia masih sendiri.
Rangga
menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaan Aliya.
“Teteh
salah... Selama ini banyak ikhwan yang mengidolakan Teteh... Namun mereka
merasa Teteh terlalu istimewa sehingga mereka tak berani mengajukan diri untuk
menjadi pendamping Teteh. Dokter adalah profesi yang sangat disegani Teh! Belum
lagi kecerdasan dan kevokalan Teteh dalam menyerukan pendapat, ditambah kinerja
Teteh di IKMA yang tak diragukan lagi. Semua itu membuat para ikhwan minder
sama Teteh...”
Aliya
membekap mulutnya sendiri. Matanya memanas. Sebentar saja mata Aliya mulai
berkaca-kaca. Lalu sebutir tetes bening meluncur jatuh.
“Teh...
Maukah Teteh jadi pendamping hidup saya? Maukah Teteh menjadi ibu dari
anak-anak saya? Lalu mendidik mereka menjadi anak-anak yang soleh solehah?
Seperti yang Teteh lakukan pada adik-adik mentor Teteh sekarang?” Rangga
menatap Aliya penuh harap.
Aliya
mengangguk pelan. Kini pandangannya mengabur. Air mata mengalir deras menuruni
pipinya. Penantian panjangnya akhirnya menemukan ujung.
***
Dunia
modelling digemparkan oleh kematian
super model Luna Aprilia. Ia ditemukan tewas di kamar hotel karena over dosis
obat penenang yang ditenggaknya bersama minuman beralkohol.