Sumber Gambar: www.digaleri.com |
Aliya
menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian ia menyatukan
kedua tangan dan menariknya ke atas. Setelah tangannya turun, ia menggerakkan
kepala ke kiri dan ke kanan. Mencoba mengusir kekakuan yang menggayuti
pundaknya sedari tadi. Pasien yang harus ditanganinya selalu banyak. Tak pernah
kurang dari lima puluh orang. Hari ini saja ia harus melayani enam puluh satu
pasien. Pasien terakhir meninggalkan ruangan Aliya beberapa menit yang lalu.
Baru
saja Aliya melonggarkan kepenatannya sebentar, pintu ruangannya sudah diketuk
kembali.
“Medrep...”
Gumam Aliya lirih. Beberapa hari ini ia kerap didatangi oleh para medical
representative dari berbagai perusahaan farmasi. Pasti rencana pembukaan klinik
barunya sudah terendus oleh para medrep itu.
Pintu
dibuka dari luar dan menyembullah sebentuk wajah ramah dari balik pintu.
“Boleh
masuk Dok?” Si empunya wajah bertanya sambil tersenyum. Manis.
“Silahkan!”
Aliya menyunggingkan senyum setengah terpaksa. Sebenarnya ia enggan berurusan
dengan para medical representative.
Sekejap
mata saja di hadapan Aliya berdiri sosok tegap dengan penampilan super rapih.
Sepatu kulit tersemir mengkilap. Celana panjang yang memperlihatkan lipatan
sempurna senada dengan jas yang dikenakannya. Serta rambut hitam klimis yang
tersisir ala K-style.
“Rangga!”
si tegap memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan hendak bersalaman. Namun
Aliya hanya merapatkan kedua tangannya di depan dada sambil mengulum senyum.
Aliya geli sendiri melihat orang di depannya terlihat kebingungan karena harus
menjabat angin.
“Saya
gak salaman dengan laki-laki.” Penjelasan Aliya seolah menjawab pertanyaan yang
hanya dilontarkan Rangga dalam kepalanya.
“Silahkan
duduk!” Aliya menunjuk kursi di hadapannya.
Rangga
menarik kursi lalu mengambil posisi duduk. Ia terlihat kikuk. Ia masih mencerna penggalan kejadian
yang baru saja dialaminya. Gak salaman dengan laki-laki? Pertanyaan
itu terus terlontar dari benaknya.
***
“Gitu
Dok! Kalo cuma Honda Jazz aja, kita bisa penuhi kok!” Rangga menutup
penawarannya dengan iming-iming city car yang harganya cukup mahal itu.
Sementara Aliya hanya mengerucutkan bibirnya sambil menatap Rangga dingin.
Aliya sudah mendengar penawaran yang sama berulang kali.
“Saya
maunya Alphard...” Aliya setengah bergumam menanggapi tawaran sang medrep.
“Apa?
Alphard?” Rangga sedikit tersentak. Ia tak menyangka akan mendapat respon
seperti itu.
“Hahaha
saya bercanda!” Aliya tertawa gelak melihat ekspresi sang medrep.
“Dengar!
Saya mendapat beasiswa untuk kuliah kedokteran. Jadi, rasanya saya tak harus
kejar setoran untuk mengembalikan modal kuliah. Lagipula, saya tidak gila
harta. So, saya tidak tertarik dengan suap yang anda tawarkan!” Tempo suara
Aliya lambat namun tegas. Dengan penekanan intonasi di beberapa tempat.
Rangga
mengerutkan dahi. Baru kali ini ia berhadapan dengan dokter aneh seperti ini.
Terlalu berani. Terlalu berterus terang.
“Ini
bukan suap, ini...”
“Sudahlah...
Saya rasa jadwal kunjungan anda pastinya padat. Jangan membuang waktu anda
untuk membujuk saya.” Aliya memotong kalimat medrep di hadapannya. Sudah tak
ada gunanya lagi meneruskan pembicaraan. Aliya menyerahkan kembali
brosur-brosur yang tadi disodorkan padanya.
“Oh,
baiklah. Kalau begitu, saya pamit! Terima kasih atas waktunya Dok!” Rangga
mencoba menyunggingkan senyum. Sejumput kekesalan tersemat di hatinya. Bagi
Rangga, pernyataan Aliya terdengar terlalu arogan, sok suci, dan sok idealis.
Toh dokter senior saja menyambut dengan senang hati paket liburan ke luar
negeri yang disodorkan olehnya.
“Sama-sama!”
Aliya mempersilahkan tamunya sambil melemparkan sesungging senyum.
No comments:
Post a Comment