Tuesday, January 7, 2014
Sinetron oh Sinetron
Bije, seorang murid baru di sebuah Sekolah Dasar elit, sedang asyik membaca buku di selasar kelas. Tanpa disadarinya, tiga orang teman wanita menghampiri Bije. Salah seorang dari mereka menarik paksa buku yang ada dalam genggaman Bije. Bije sangat terkejut mendapat sambutan yang tidak disangka-sangka dari teman barunya itu.
Si perebut buku dengan judesnya menatap Bije sambil mengancam Bije agar ia tidak sok jagoan. Kemudian temannya menimpali bahwa di sekolah tersebut tidak ada yang berani melawan mereka.
Demi melihat kelakuan teman yang baru ditemuinya itu, Bije hanya terdiam sambil membelalakkan mata. Bahkan ketika buku tersebut dilemparkan ke atas begitu saja, Bije hanya bisa ternganga.
Menu wajib sinetron Indonesia
Tindakan ketiga anak tersebut memang hanya terdapat dalam sinetron yang diputar di salah satu stasiun televisi. Adegan senada memang selalu ada hampir di setiap sinetron kejar tayang. “Pelakunya” tidak hanya orang dewasa, tapi bocah ingusan pun sudah disetting sedemikian rupa melakukan adegan seperti yang diperagakan oleh Bije CS. Tidak hanya kekerasan verbal seperti ejek mengejek bahkan ancam mengancam, kegiatan yang lebih kejam pun sering disuguhkan. Mulai dari memukul, menjambak, sampai menabrak si korban atau tindakan kekerasan lain yang bisa membahayakan jiwa. Semua tindakan itu jelas-jelas tidak terpuji dan tidak patut ditiru.
Bila yang menonton sinetron tersebut adalah orang dewasa–yang bisa berpikir dengan jernih, mungkin adegan tersebut hanya dianggap sebuah hiburan belaka. Tapi bila yang menonton adalah anak kecil yang belum bisa membedakan mana baik dan buruk, bukan hal yang tidak mungkin adegan kekerasan tersebut dapat ditiru oleh mereka.
Celakanya, seringkali anak-anak menonton televisi tidak didampingi oleh orang tuanya. Atau, walaupun didampingi orang tuanya, orang tua malah sibuk sendiri menikmati adegan demi adegan dalam sinetron tanpa mencoba menjelaskan hal yang baik dan buruk dalam tayangan tersebut.
Di Indonesia, ada beberapa stasiun televisi yang memasukkan sinetron sebagai tayangan wajib. Durasi yang disediakan untuk tayangan sinetron sangatlah panjang. Dalam sehari bisa ditayangkan beberapa judul sinetron untuk setiap stasiun televisi.
Jadi bisa dibayangkan bila anak-anak begitu rajin duduk manis di depan televisi sambil menonton sinetron tanpa pengawasan orang tua, apa yang tertanam di alam bawah sadar anak-anak yang polos itu?
Layak tayang?
Adalah perlu meninjau kembali kelayakan sinetron sebagai hiburan bila tayangan kekerasan masih selalu dijadikan bumbu di dalamnya. Masih banyak hal lain yang bisa digali dalam seni peran tersebut. Tentunya hal positif yang bisa ditiru oleh penontonnya. Terutama oleh generasi muda bangsa ini.
Memang dibutuhkan peran orang tua agar bisa selektif dalam memberikan hiburan yang baik bagi buah hati mereka. Tapi peran vital yang sangat diperlukan adalah keseriusan pemerintah agar dapat terciptanya tayangan bermutu yang layak edar. Karena pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan hal tersebut. Pemerintah bisa memberi arahan sekaligus peringatan bahkan sanksi kepada para pekerja yang terlibat dalam pembuatan program televisi.
Namun kenyataan yang terjadi sekarang adalah, pemerintah yang diwakili oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), seolah tidak memiliki kontrol sama sekali atas seleksi penyiaran di televisi. KPI seolah hanya membubuhkan stempel “lulus sensor” pada setiap tayangan tanpa melihat terlebih dahulu isi tayangan tersebut. Bila hal ini terus dipertahankan, mau dibawa ke mana generasi muda bangsa ini?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment